Seketika aku menciut mendengar ucapan Adhiatama Alderald. Begitu juga Jasmine. Wanita itu itu sama sekali tidak percaya dengan pendengarannya.
"Apa? Hamil?!" Mulut kecilnya itu memekik tajam saat mengucapkan beberapa kata keterkejutannya.
"Begitu murahnya, kah kamu Gayatri, hingga kamu rela dihamili orang kota?"
Oh Tuhan--! Pedas sekali mulut si Jasmine ini, rasanya ingin kurobek-robek.
"Jasmine, jaga mulutmu!" ucapku tajam seraya menatapnya tidak suka.
"Bukan mulutku yang harus dijaga, Gayatri. Tapi harga dirimu, tubuhmu! Kenapa begitu murah kamu berikan pada orang kota. Dan, bukannya ini namanya kamu mengkhianati kakakku?"
Hah! Mengkhianati? Ngigau kali, ini orang, ya? Siapa yang mengkhianati? Ada hubungan juga nggak dengan kakaknya.
Aku menggelengkan kepala pelan. Sudah capek menghadapi dua orang kakak-beradik ini. Entah bagaimana lagi menghadapi mereka.
Keyko yang sedari tadi lebih suka jadi penonton, tiba-giba merangkul pu
"Kamu yakin mau pulang sekarang?" Entah mengapa pertanyaan Keyko seolah menghantam dinding ulu hatiku. Memang kenapa kalau dia mau kembali ke kota sekarang? Salah? Huft! Aku mendenguskan napasku tanda tak suka dengan pertanyaannya. "Kenapa sich, kok kamu uring-uringan begini? Lagi datang tamu, ya?" Auto mataku membulat mendengar pertanyaannya bahkan sekarang melotot tajam. "Ihh! Serem ah!" katanya sambil mengacak rambutku. "Ihh! Rusak tahu! Diacak-acak gini!" gerutuku sambil memperbaiki tatanan surai hitamku. Aku kembali mendenguskan napas beratku sambil membenahi batang yang akan ku bawa ke kota. Sebenarnya aku masih berat meninggalkan tempat ini, namun tuntutan dari Jasmine dan saudaranya. Belum nanti gosip yang akan menerpaku gara-gara kemarin Keyko menyebar rumor yang benar-benar membuatku frustasi. "Kakak hamil? Sama siapa? Semenjak kapan?" Tuhkan, heboh! Ariana memperlihatkan ekspresi yang benar-benar membuatku stres. Man
Cari wanita itu sampai dapat! Dia membawa baby Azurra!" teriakan itu menggema di sepanjang gedung pusat perbelanjaan. Aku ngos-ngosan meredakan napasku yang tinggal satu-satu. Ya ampun! Apa yang sedang aku lakukan ini? Kenapa aku malah nyari masalah begini. Kalau kayak gini caranya aku bisa di tuduh menculik bayi dong? Haduhhh ...! Kenapa sich aku ini? Ceroboh sekali. Aku memaki dan merutuki diriku sendiri sambil sesekali menengok ke arah luar kalau-kalau pria dan anak buahnya itu masih di luar sana. Sedang bayi 2 atau 3 tahun ini dengan tanpa berdosa tidur nyenyak sekali di dalam dekapanku. Ya ampun, maafin aku ya Baby Azurra, karena aku, kamu harus sengsara begini," batinku terus saja berkata-kata. Terus saja aku perhatiin beberapa anak buah laki-laki itu. Aku binging harus bagaimana. Kenapa bisa aku kabur dengan masih menggendong bayi ini? Dalam kebingunganku yang seperti itu aku tercengang dan bahkan untuk menelan salivaku pun aku harus mati-matian.
"Kamu!" Bersamaan kami saling menunjuk. Aku tergeragap menyadari siapa tamu Cafe yang sedang aku layani. Mukaku pasti sudah seperti kepiting rebus. Metah padam. Antara malu dan grogi. "Kamu kerja di sini?" tanyanya setelah kegugupan kami lewat. "Iya," jawabku pendek lalu mengambil nampsn besarku setelah menaruh semua makanan di meja. Sekilas aku lirik Babu Azurra yang sedang tertidur pulas di boksnya. Kasihan kemana-mana harus di bawa. Di tidurin di boks. "Selamat menimati," ucapan terakhirku padanya sebelum aku beranjak pergi untuk melanjutkan pekerjaanku. "Tunggu!" serunya buru-buru ketika melihat badanku hampir tenggelam di bali tirai. Aku berhenti lalu membalikkan badan. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku dengan sopan. Beda dengan moment kemarin. "Bisakah kamu menemaniku makan siang?" pintanya juga sopan membuatku nggak enak hati. "Daiva Gayatri Maheswari!" Sungguh panggilan itu meresahkan. Tapi karena itulah
"Apa yang teerjadi dengan Azurra?" tanya Keyko dengan terengah dan mendapati Damian sedang duduk lesu di ruang tunggu. "Kena radang pencernaan,"jawabnya lesu. Keyko mendekati sepupunya lalu ikut menghenyakkan tubuhnya di sisi Damian yang masih menelungkupkan mukanya dengan kedua tangannya. "Dam, pilirkanlah dengan baik apa yang akan aku katakan padamu. Menikahlah lagi. Cari ppengganti Zahra." Damian menatap sekilas ke arah Keyko lalu mentap ke depan. Luru ke arah ruang perawan putranya. "Aku belum menemukan pengganti Zahra," jawabnya dengan enggan lalu menyandarkan kepalanya ke punggung kursi tunggu. "Kamu cari! Kalau kamu diam saja bagaimana dapat penggantinya Zahra!" Dengan sarkas Keyko menyerang Damian dengan kata-kata kerasnya. "Besok ikut denganku, akan aku kenalkan kamu dengan perempuan teman-temanku." "Teman-teman club malammu yang sudah pernah kamu cicipi." Keyko memberi kan toyoran keras ke arah kepala Damian.
Aku melihat Maya meringis sambil memegangi pipinya. Ada kemarahan di sinar coklat matanya. "Kamu siapa? Kok nampar saya?" tanyanya protes pada sosok pria tampan itu "Karena kamu pantas ditampar, Nona! Lihat kelakuan ksmu, semena-mena sama teman kerja!" Luapan emosi Keyko memuncak mana kala Maya semakin berani melawannya. "Heh! Itu bukan urusan Anda, ya! Jadi jangan sok jadi pahlawan. Dan kamu beraninya nampar cewek. Kamu ini siapanya Daiva, yang suka beli dia, ya. Aku pernah lihat dia keluar dari hotel sama seorang pria. Apa itu kamu?" "Plakkk-plakk!" Duh! Tamparan itu mendarat lagi di pipinya. Membuat Mbak Mika dan Mbak Dina keluar dari ruangannya. "Kamu saya ingatkan! Mulut pedas kamu itu jangan sampai saya jahit sendiri nanti!" Ya ampun! Keyko benar-benar sudah marah. "Key, sudah," ucapku lirih sambil memegangi lengannya. Keyko seketika luluh dan merangkulku mambuatku malu lalu aku berusaha untuk mrlepaslan diri dari
"Ma-mau apa, pa-pak Damaian?" Duh! Ya Alloh, Aku gugup dengan sikapnya yang tiba-tiba begitu dekat dan dia menundukkan wajahnya ke wajahku. Aku bisa lagi mengelak sampai tiba-tiba__ "Kak Iva sudah pulang?" Ariana dari dalam rumah memburuku keluar. Ya Alloh, selemet!" batinku lega. "Kakak pulang sama siapa?" tanyanya setelah sampai di dekatku. "Oh ini, teman Kakak," jawabku masih gugup. Ariana tampak mengangguk-angguk dan aku mengkode supaya Damian segera pergi. Pria itu pun mengerti dan segera kembali ke mobilnya. Agak lama diam di mobil akhirnya dia pun pergi meninggalkam halaman rumahku. Huft! Aku menarik napas lega. Sesaat kurasa badanku lemes rasa mual itu kembali menyerangku. Dengan tertatih aku berjalan ke dalam rumah dan kulihat Ariana sedang di kamarnya mungkin belajar. Karena kurakan pusing juga akhirnya aku berbaring. Saat begini jadi ingat Kalingga, manusia satu itu paling perhatian kalau masalah makananku. Tapi semenjak aku
Aku berjingkat dengancepatnya turun dari tempat tidurku, menyadari ada sesuatu di bawah selimutku. Pikiranku kacau. Itu apa yang ada di bawah selimut orang atau binatang atau jangan-jangan sosokyang nggak keliatan "Ihhhh!" Aku bergidik. Tanganku gemetaran ketika mencoba menyibak selimut yang menutupi tubuhku tadi. Kenapa horir begini sich pafahal masih siang. Jantung dan tanganku teryata satu frekuensi. Jantungku berdebar, tanganku bergetar. Tapi aku memang harus tahu apa yang ada di dalam sana? Dengan mata terpejam aku menyibakkan selimut itu. Hening! Nggak ada suara apapun. Pelan-pelan kubuka mataku. Dan___ "Aaaaaaaa ...!" Aku berteriak sekencang-kencangnya melihat sosok itu telanjang. Maksudku cuma pake boxer. Dan karena teriakanku yang melebihi meledaknya bom molotif itu akhirnya dia bangun. Menatapku dengan mata nanar sambil bangkit tak mengerti kenapa tiba-tiba aku teriak keras sekali. "Sayang! Ada apa sich? Teriakannya udah oers
Damian masih mengatur napasnya yang tersengal lebih tepatnya ngos-ngosan. Bukan karena marathon tapi karena menahan emosi yang sangat kuat. Saking kesalnya dia memutar arah menuju kantornya. Dan menancap gas mobilnya kuat-kuat. Di sepanjang jalan hatinya merutuk dan mencaci. Entah kenapa setiap mengingat itu rasanya ingin Damian mencabik-cabik wajah gadis itu. "Pak, Bu Claudia sudah menunggu di ruangan Bapak," dengan tergesa Vena sekertaris Damian menjajari jalan bosnya yang sepertinya sedang murka. "Saya tahu, Ve. Tolong jangan biarkan orang masuk sebelum urusan saya dengan Bu Claudia selesai!" tegas Damian. "Baik, Pak." Vena mengangguk hormat. Dia paham saat ini bosnya sedang murka di pucak kemarahannya. Sebelum Damian masuk ke ruangannya, terlebih dahulu dia mengirim pesan pada Keyko. [Key, cepet datang ke kantorku! Dia sudah kembali. Claudia!] Secepat mungkin pesan itu langsung dikirim ke ponsel Keyko. Setelah itu baru dia