Aku buru-buru masuk ke rumah setelah sampai di halaman. Kutinggalkan Keyko yang masih terpana melihat sikapku.
Tapi sesampainya aku di dalam rumah, dengan jalan mundur tubuhku seolah terdorong keluar, melihat ada sosok lain di rumahku duduk di kursi roda.
Berkali-kali aku menelan salivaku, mengetahui siapa orang yang datang. Bahkan aku hampir terjungkal ke belakang, saking aku terhipnotis dengan kedatangan orang itu.
Antara kaget dan ketakutan, melihat sosok itu dengan tenanya memutar kursi rodanya mendekatiku. Aku sudah tidak berkutik.
Saat seperti itu aku tidak mengharap pertolongan Keyko. Malah yang kuharapkan, sosok itu pergi dan jangan sampai melihat bahkan mendengar apapun tentang sosok yang sedang duduk di kursi roda itu.
"Apa kabar, Gayatri?" Suaranya tenang. Bahkan ekspresi mukanya, itu lho! Tak seperti orang yang sedang tersakiti.
Aku menelan salivaku dengan susah payah. Apalagi ketika sosok itu semakin mendekat ke arah
Seketika aku menciut mendengar ucapan Adhiatama Alderald. Begitu juga Jasmine. Wanita itu itu sama sekali tidak percaya dengan pendengarannya."Apa? Hamil?!" Mulut kecilnya itu memekik tajam saat mengucapkan beberapa kata keterkejutannya."Begitu murahnya, kah kamu Gayatri, hingga kamu rela dihamili orang kota?"Oh Tuhan--! Pedas sekali mulut si Jasmine ini, rasanya ingin kurobek-robek."Jasmine, jaga mulutmu!" ucapku tajam seraya menatapnya tidak suka."Bukan mulutku yang harus dijaga, Gayatri. Tapi harga dirimu, tubuhmu! Kenapa begitu murah kamu berikan pada orang kota. Dan, bukannya ini namanya kamu mengkhianati kakakku?"Hah! Mengkhianati? Ngigau kali, ini orang, ya? Siapa yang mengkhianati? Ada hubungan juga nggak dengan kakaknya.Aku menggelengkan kepala pelan. Sudah capek menghadapi dua orang kakak-beradik ini. Entah bagaimana lagi menghadapi mereka.Keyko yang sedari tadi lebih suka jadi penonton, tiba-giba merangkul pu
"Kamu yakin mau pulang sekarang?" Entah mengapa pertanyaan Keyko seolah menghantam dinding ulu hatiku. Memang kenapa kalau dia mau kembali ke kota sekarang? Salah? Huft! Aku mendenguskan napasku tanda tak suka dengan pertanyaannya. "Kenapa sich, kok kamu uring-uringan begini? Lagi datang tamu, ya?" Auto mataku membulat mendengar pertanyaannya bahkan sekarang melotot tajam. "Ihh! Serem ah!" katanya sambil mengacak rambutku. "Ihh! Rusak tahu! Diacak-acak gini!" gerutuku sambil memperbaiki tatanan surai hitamku. Aku kembali mendenguskan napas beratku sambil membenahi batang yang akan ku bawa ke kota. Sebenarnya aku masih berat meninggalkan tempat ini, namun tuntutan dari Jasmine dan saudaranya. Belum nanti gosip yang akan menerpaku gara-gara kemarin Keyko menyebar rumor yang benar-benar membuatku frustasi. "Kakak hamil? Sama siapa? Semenjak kapan?" Tuhkan, heboh! Ariana memperlihatkan ekspresi yang benar-benar membuatku stres. Man
Cari wanita itu sampai dapat! Dia membawa baby Azurra!" teriakan itu menggema di sepanjang gedung pusat perbelanjaan. Aku ngos-ngosan meredakan napasku yang tinggal satu-satu. Ya ampun! Apa yang sedang aku lakukan ini? Kenapa aku malah nyari masalah begini. Kalau kayak gini caranya aku bisa di tuduh menculik bayi dong? Haduhhh ...! Kenapa sich aku ini? Ceroboh sekali. Aku memaki dan merutuki diriku sendiri sambil sesekali menengok ke arah luar kalau-kalau pria dan anak buahnya itu masih di luar sana. Sedang bayi 2 atau 3 tahun ini dengan tanpa berdosa tidur nyenyak sekali di dalam dekapanku. Ya ampun, maafin aku ya Baby Azurra, karena aku, kamu harus sengsara begini," batinku terus saja berkata-kata. Terus saja aku perhatiin beberapa anak buah laki-laki itu. Aku binging harus bagaimana. Kenapa bisa aku kabur dengan masih menggendong bayi ini? Dalam kebingunganku yang seperti itu aku tercengang dan bahkan untuk menelan salivaku pun aku harus mati-matian.
"Kamu!" Bersamaan kami saling menunjuk. Aku tergeragap menyadari siapa tamu Cafe yang sedang aku layani. Mukaku pasti sudah seperti kepiting rebus. Metah padam. Antara malu dan grogi. "Kamu kerja di sini?" tanyanya setelah kegugupan kami lewat. "Iya," jawabku pendek lalu mengambil nampsn besarku setelah menaruh semua makanan di meja. Sekilas aku lirik Babu Azurra yang sedang tertidur pulas di boksnya. Kasihan kemana-mana harus di bawa. Di tidurin di boks. "Selamat menimati," ucapan terakhirku padanya sebelum aku beranjak pergi untuk melanjutkan pekerjaanku. "Tunggu!" serunya buru-buru ketika melihat badanku hampir tenggelam di bali tirai. Aku berhenti lalu membalikkan badan. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku dengan sopan. Beda dengan moment kemarin. "Bisakah kamu menemaniku makan siang?" pintanya juga sopan membuatku nggak enak hati. "Daiva Gayatri Maheswari!" Sungguh panggilan itu meresahkan. Tapi karena itulah
"Apa yang teerjadi dengan Azurra?" tanya Keyko dengan terengah dan mendapati Damian sedang duduk lesu di ruang tunggu. "Kena radang pencernaan,"jawabnya lesu. Keyko mendekati sepupunya lalu ikut menghenyakkan tubuhnya di sisi Damian yang masih menelungkupkan mukanya dengan kedua tangannya. "Dam, pilirkanlah dengan baik apa yang akan aku katakan padamu. Menikahlah lagi. Cari ppengganti Zahra." Damian menatap sekilas ke arah Keyko lalu mentap ke depan. Luru ke arah ruang perawan putranya. "Aku belum menemukan pengganti Zahra," jawabnya dengan enggan lalu menyandarkan kepalanya ke punggung kursi tunggu. "Kamu cari! Kalau kamu diam saja bagaimana dapat penggantinya Zahra!" Dengan sarkas Keyko menyerang Damian dengan kata-kata kerasnya. "Besok ikut denganku, akan aku kenalkan kamu dengan perempuan teman-temanku." "Teman-teman club malammu yang sudah pernah kamu cicipi." Keyko memberi kan toyoran keras ke arah kepala Damian.
Aku melihat Maya meringis sambil memegangi pipinya. Ada kemarahan di sinar coklat matanya. "Kamu siapa? Kok nampar saya?" tanyanya protes pada sosok pria tampan itu "Karena kamu pantas ditampar, Nona! Lihat kelakuan ksmu, semena-mena sama teman kerja!" Luapan emosi Keyko memuncak mana kala Maya semakin berani melawannya. "Heh! Itu bukan urusan Anda, ya! Jadi jangan sok jadi pahlawan. Dan kamu beraninya nampar cewek. Kamu ini siapanya Daiva, yang suka beli dia, ya. Aku pernah lihat dia keluar dari hotel sama seorang pria. Apa itu kamu?" "Plakkk-plakk!" Duh! Tamparan itu mendarat lagi di pipinya. Membuat Mbak Mika dan Mbak Dina keluar dari ruangannya. "Kamu saya ingatkan! Mulut pedas kamu itu jangan sampai saya jahit sendiri nanti!" Ya ampun! Keyko benar-benar sudah marah. "Key, sudah," ucapku lirih sambil memegangi lengannya. Keyko seketika luluh dan merangkulku mambuatku malu lalu aku berusaha untuk mrlepaslan diri dari
"Ma-mau apa, pa-pak Damaian?" Duh! Ya Alloh, Aku gugup dengan sikapnya yang tiba-tiba begitu dekat dan dia menundukkan wajahnya ke wajahku. Aku bisa lagi mengelak sampai tiba-tiba__ "Kak Iva sudah pulang?" Ariana dari dalam rumah memburuku keluar. Ya Alloh, selemet!" batinku lega. "Kakak pulang sama siapa?" tanyanya setelah sampai di dekatku. "Oh ini, teman Kakak," jawabku masih gugup. Ariana tampak mengangguk-angguk dan aku mengkode supaya Damian segera pergi. Pria itu pun mengerti dan segera kembali ke mobilnya. Agak lama diam di mobil akhirnya dia pun pergi meninggalkam halaman rumahku. Huft! Aku menarik napas lega. Sesaat kurasa badanku lemes rasa mual itu kembali menyerangku. Dengan tertatih aku berjalan ke dalam rumah dan kulihat Ariana sedang di kamarnya mungkin belajar. Karena kurakan pusing juga akhirnya aku berbaring. Saat begini jadi ingat Kalingga, manusia satu itu paling perhatian kalau masalah makananku. Tapi semenjak aku
Aku berjingkat dengancepatnya turun dari tempat tidurku, menyadari ada sesuatu di bawah selimutku. Pikiranku kacau. Itu apa yang ada di bawah selimut orang atau binatang atau jangan-jangan sosokyang nggak keliatan "Ihhhh!" Aku bergidik. Tanganku gemetaran ketika mencoba menyibak selimut yang menutupi tubuhku tadi. Kenapa horir begini sich pafahal masih siang. Jantung dan tanganku teryata satu frekuensi. Jantungku berdebar, tanganku bergetar. Tapi aku memang harus tahu apa yang ada di dalam sana? Dengan mata terpejam aku menyibakkan selimut itu. Hening! Nggak ada suara apapun. Pelan-pelan kubuka mataku. Dan___ "Aaaaaaaa ...!" Aku berteriak sekencang-kencangnya melihat sosok itu telanjang. Maksudku cuma pake boxer. Dan karena teriakanku yang melebihi meledaknya bom molotif itu akhirnya dia bangun. Menatapku dengan mata nanar sambil bangkit tak mengerti kenapa tiba-tiba aku teriak keras sekali. "Sayang! Ada apa sich? Teriakannya udah oers
"Key, ada yang datang," bisikku masih di bawah tubuhnya yang menindihku. Keyko tak pedul sama sekali. Dia terus melanjutkan aksinya memacu tubuhku dengan miliknya dan membuatku mendesah hebat padahal sudah berkali-kali aku mendapatkan pelepasan, Namun sepertinya iti belum cukup membuat pria itu untuk merasakan kepuasan dariku. "Sayang, akh!" ucapnya dengan erangan yang menggila dan diakhiri dengan desahan yang dahsyat. Aku semakin mengejang hingga kudapatkan kembali pelepasan itu. Saat kami mengakhiri percintaan kami ketukan itu sudah tak terdengar lagi. Aku terkulai lemas lalu akhirnya tertidur karena capeknya dan mengabaikan keberadaannya. Tampak Keyko mendekap tubuh Diva dan membiarkan tangannya digunakan sebagai bantalan olehnya. Lalu pria itu mengecup dengan lembut bibir yang selalu menjadi candunya dan membuatnya menagih terus tubuh gadis itu. Kali ini Keyko tak akan melepaskan gadis itu lagi. Rasanya sudah teralu jauh selama ini dia mencampakan dan mem
"Pak Kuntoro!" Pekik Sandra tertahan. Sedangkan Pengacara Kuntoronadi sendiri pun sangat terkejut melihat siapa yang tadi hampir saja bertabrakan dengan dirinya. "Nyonya Sandra," desisnya tak percaya. Bertahun-tahun perempuan ini diusir dari kediaman keluarga Gumelar dan kini tanpa sengaja bertemu di tepi jalan begini. "Apa yang Nyonta lakukan malam-malam begini? Nyonya, pulanglah. Nyonya besar membutuhkan Anda. Saat ini beliau sedang di lapas." Mendengar itu Sandra seperti disengat listrik. "Mama di penjara?" tanyanya sambil menutup mulut tak percaya setelah Kuntoro mengangguk dengan tegas. Sandra bersandar pada badan mobil merasakan sesuatu yang bergemuruh di dadannya. Sudah sekian tahun tapi dia belum bisa membuktikan apa-apa bagaimana mau pulang. "Nyonya, saya harap Anda bisa pulang dan menengok Nyonya tua. Sebentar lagi beliau akan bebas dari tuntutan. Tolong sempatkan untuk menengoknya." Sandra hanya menghela napas lalu m
Lagi-lagi aku menghela napas. Membalikkan badan dan menautkan kedua alisku saat melihat pria itu kembali lagi."Ada yang ketinggalan?" tanyaku dari kejauhan."Nggak sich tapi boleh nggak aku minta nomor telponmu. Atau kartu nama saja." Aku semakin mengernyitkan keningku."Buat apa?" tanyaku tak mengerti."Buat pesen bunga lagi." Aku kembali menghela napas. Daripada lama dan ribet langsung saja aku mendekat oada pria tampan itu. Kuraih tangannya yang membuat dia kaget setengah mati lalu aku buka telapak tangannya.Ds situ aku tulis nomor aku . Setelah selesai aku segera masuk tanpa menghiraukan dia yang masih tepana melihat telapak tangannya. Sesaat kemudian aku dengar ada suara melengking memanggil namanya.Sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu posesif akut. Aku hanya menghela napas lalu masuk ke dalam karena hari sudah siang.Sungguh tak dapat di percaya kalau gari ini toko bungaku akan sangat ramai kedatangan pengunj
Aku benar-benar kembali ke pinggiran kota yang jauh dari Jakarta. Sudah fix bahwa Key mencariku waktu itu hanya untuk memanfaatkanku.Sekarang ini aku ingin benar-benar meluoakan srmua yang sudah terjadi di Jakarta. Dan tak perlu lagi aku kembali ke sana. Melulakan sosok Key dan Damian juga seabrek masalah yang melibatkanku di masa lalu."Mbak Daiva, kok cuma sebentar du sana. Saya kira bakalan berbulan-bukan, Mbak. Secara yang ngajak Mbak itu ganteng. Bisa jadikan mau merekrut Mbak Daiva jadi karyawan, cicit Yayi polos. Sala satu temanku di kota terpencil ini."Nggak kok, aku cuma menolongnta aja. Perusahaannya butuh aku untuk presentasi buat memenangkan tender. Dan kemarin semya sudah clear.""Kenapa Mbak Daiva nggak minta kerjaan saja sama cowok itu?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan Yayi.Agak terkejut sedikit ketika kami mendengar suara mobil dengan halusnya parkir di depan warung."Permisi," sapa seorang cowok yang aku rasa usianya s
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Damian saat jabat tangan terakhir dengannya. Bahkan ekspresi wajahku datar dan dingin. Apalagi melihat wanita yang ada di sampingnya. Cih! Baru juga sebulan aku pergi dari kota ini, nyatanya dia sudah kembali pada mantannya. Pantes Key sibuk nyari aku. Ternyata hanya ingin saling manas-manasi. Rasanya aku ingin buru-buru pergi dari sini dan menuntaskan tugasku hari ini. Setelah itu aku pergi kembali ke pinggiran kota yang tenang dan damai. Dengan senyum sinis aku membalas tatapan mata Damian. Dan menarik jabat tangan itu. Berharap setelah itu Keyko mengajakku pergi. Namun nyatanya aku malah terjebak dengan dua pria tak bermoral itu menurutku. "Maaf, Kalau sudah selesai, saya undur diri." Dengan cepat aku melangkahkan kakiku dari tempat itu. Baguslah, nggak ada yang mengejarku. Baru sadar aku, ternnyata aku cuma dimanfaatkan. "Taksi!" seruku ketika melihat taksi lewat di depanku. "Kantor pol
Tubuhku membeku seketika melihat sosok yang ada di seberang tempatku berdiri Tak menyangka akan berada lagi dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku ingin berlari dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Aku memang sudah berniat untuk pergi lalu nggak keluar lagi. "Daiva!" Aku menghentikan langkahku seketika tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin sama sekali kembali melihatnya "Maaf, hari ini saya libur nggak jual bunga," ucapku datar dan tanpa menoleh lagi aku berjalan ke arah rumah berniat untuk masuk dan menutup yang pasti mengunci rumah. "Daiva, tunggu! Jangan menghindar dariku, please! Aku mohon!" Aku tiba-tiba bergeming melihat pria yang tak lain Keyko itu. Pria itu mendekatiku lalu tiba-tiba menubrukku dan mendekapku erat. Kaget dan tak dapat mengelak lagi, ketika dengan spontan pria tampan itu memberikan ciuman bertubi-tubi. "Key-Key! Tolong jangan seperti ini, please," ucapku tersengal karena nggak bisa napas dan jug
Aku tersentak menyadari itu hanya mimpi. Sempat kurasakan basah di milokku. Akh, sial! Apa saking aku merindukannya hingga aku bisa mimpi bersamanya seperti itu? Dengan malas aku bangkit pembaringanku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat jam di atas nakas sudah pukul sebelas malam. Rasanya baru tidur srbentar tadi. Beberapa jam yang lalu baru pulang mengantarkan pesanan bunga. Tak terasa aku di tempat ini sudah hampir satu bulam Tidak ada satu pun orang yang mengenalku. Kubeli rumah yang cukup seerhana ini dengan harga murah. Rumah pinggiran jauh dari perkotaan apalagi Jakarta. Tapi aku nyaman dan bahagia. Usahaku juga sudah mulai berkembang. Menjual tanaman hias seperti bunga hidup. Aku berharap Ariana akan senang kslsu sudah kembali nanti. Sengaja aku mengasingkan diri ke tempat terpencil karena aku sudah capek hidup dengan orang-orang yang selalu berpura-pura baik padaku. Bahkan semua akses kominikasi yang dulu tak lagi ada.
Damian mengerutkan dahinya mendengar laporan si Bibi. "Polisi? Apa mereka berhasil menemukan bukti itu?" tanya Damian dalam hati. Dengan bergegas duda tampan itu berjalan keluar dan menemui dua orang polisi yang sudah berdiri di haman rumahnya. "Selamat Siang, Pak Damian. Maaf mengganggu waktunya. Kami ingin bertemu dengan korban pembunuhan Daiva Gayatri Maheswari." Damian mengangguk hormat lalu mempersilakan masuk untuk menemui Iva. "Selamat Siang, Mbak Daiva. Semoga kedatangan kami tidak menggangu Mbak Daiva." Aku hanya tersenyum lantas menggeleng pelan. Setelah 15 menit betlalu, sezi tanya jawab itu akhirnya selesai. Aku menarik napas penuh kebahagiaan ketika polisi akan mengejar pelaku yang telah merencanakan pembunuhan buatku. Hari ini juga ada saksi kunci yang sudah datang memberikan bukti akurat. Wajahku menegang sesaat karena aku tahu siapa saksi kunci tersebut. "Dokter Melisa?" "Iya, Mbak Daiv
"Ja-jangan lakukan itu, Nek. Aku mohon!" teriakku ketakutan. Namun nenek itu terus melakukannya. Mencekikku dalam keadaan yang sangat menyakiti aku. Membuat napasku tersengal dengan jari-jarinya yang kokoh mencengkramku. "Nek," desisku mengucapkan nama itu. Namun semua sudah berubah. Rasanya gelap dan sakit. Aku meronta dalam cengkraman itu yang semakin membuatku berteriak dahsyat. "Jangann! Aku mohon, jangan lakukan ini, please ...," "Iva! Iva, bangun! Kamu mimpi buruk." Tepukan di pipi Daiva membuat gadis itu menarik napas panjang yang tersengal dan akhirnya aku terbatuk-batuk. Aku membuka mataku dengan napas tak karuan. Kucoba mengatur napasku yang tersengal tadi. Kulihat sosok Damian sudah ada di depanku. Setelan jas tuxedo melangkahkan kakinya di teras rumah yang sagat besar dan luas itu. Bahkan tanpa megetuk pintu pun pria tampan itu langsung menuju ke kamar Damian. "Daiva! Kamu kenapa?" tanyanya padak