Nicky pulang ke rumah dengan menumpang taksi, sementara Shoujin dengan sepeda motornya mengikuti di belakang. Hari sudah malam.
Setelah membayar ongkos taksi, Nicky keluar dan berjalan dengan langkah berat menuju pintu rumahnya. Tak mempedulikan Shoujin yang mengkhawatirkannya.
"Nicky!" panggil Shoujin seraya berlari.
"Huhh ...?"
"Aku yang membawamu keluar dari rumah ini, itu artinya aku juga harus mengantarmu pulang."
"Kau sudah wengantarku, aku sudah sawai di ruwah. Wulanglah!" jawab Nicky sambil terus berjalan tanpa menoleh pada Shoujin.
.
.
Sementara itu dari jendela kamarnya di lantai dua, Kenneth mengawasi tingkah laku adiknya dan temannya.
"Kenneth ..." Aaron memasuki kamar Kenneth tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sudah kebiasaan.
"Sstt ...." Kenneth menoleh sekilas pada Aaron sembari memberikan isyarat untuk tak bersuara.
Aaron bergabung dengan Kenneth. Mendadak mereka menjadi stalker. Keduanya mengamati tingkah laku Nicky dan Shoujin.
Sesekali terlihat Shoujin berusaha menyentuh wajah Nicky—membelai pipinya, mengangkat dagunya, menyematkan rambutnya—, tetapi Nicky selalu 'mengamankan' wajahnya dan terus tertunduk. Ia bahkan sempat menepis tangan Shoujin. Sampai akhirnya Shoujin menepuk-nepuk pundak Nicky sebelum Nicky meninggalkannya di luar. Dan setelah Nicky menutup pintu, Shoujin pun pergi.
"Ada yang tidak beres." Aaron menyimpulkan. "Nicky terlihat kacau."
"Kau juga menyadarinya?" sahut Kenneth.
.
.
"Kenapa kau terus menunduk?" sambut Kenneth dingin pada Nicky di lorong di depan kamar mereka. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Uuh ..."
"Lihat aku!"
Nicky mendongak.
"Astaga, Nicky!" Kenneth menghambur pada Nicky dan hampir saja mendekap tubuh adiknya itu, kalau saja Nicky tak menghentikannya.
"Jangan! Wadanku sakit sewua."
Aaron hanya bisa melongo melihat perubahan Kenneth yang semula dingin seolah siap meneggelamkan Nicky ke dasar Palung Mariana¹, tiba-tiba saja menjadi panik.
"Apa yang terjadi padamu? Mana, mana yang sakit? Wajahmu ... astaga ini ...." mata Kenneth melotot melihat jahitan di pelipis kanan Nicky. "Cepat masuk, istirahatlah!"
Kenneth membukakan pintu kamar untuk Nicky lalu menuntunnya masuk dan duduk di ranjang.
"Kuambilkan minum." Aaron meninggalkan Nicky dan Kenneth.
"Kenny, tidak usah drawa!"
"...."
"Aku lawar. Awa ada roti? Tadi aku weli taco, tapi karena tidak wisa kuwakan jadi kutinggalkan." Nicky tak tahu Shoujin membawanya pulang.
"Ada, biar ..."
"Ini minumlah!" Aaron meletakkan segelas air di nakas.
Nicky mendongak sambil menunjuk bibir bawahnya yang sedikit robek.
"Ah ya, benar, kau butuh sedotan. Baiklah, kucarikan." Aaron kembali meninggalkan kamar.
"Aaron ... roti ... aku lawar ..." pinta Nicky sebelum Aaron menghilang.
"Oke."
"Aku kecelakaan ... eer ... tawrak lari. Jangan winta penjelasan lagi!"
"Tidak, tidak akan," setuju Kenneth.
Aaron kembali dengan dua potong roti tawar, sekotak susu lengkap dengan sedotan dan sebatang sedotan untuk air minum. "Cepat habiskan dan tidurlah!"
Nicky memakan rotinya dengan mencuwilnya sedikit demi sedikit dan menyuapkan ke mulutnya. Untuk membantu menelan makanannya, sesekali ia meminum air putih dengan sedotan yang diposisikan di sudut bibirnya. Ia memakan makan malamnya dengan tenang dengan ditemani kedua saudaranya. Tanpa suara.
Setelah Nicky menghabiskan makan malam dan meminum obat, Kenneth dan Aaron membereskan nakas Nicky lalu meninggalkan bocah itu agar bisa beristirahat. Setelah mengganti pakaiannya, Nicky pun menelungkupkan tubuhnya di atas ranjang senyaman mungkin. Dengan memar-memar di punggungnya, ini posisi terbaik. Hanya saja luka di wajahnya sedikit menyulitkan.
Kenneth mengintip adiknya yang telah terlelap. Ia mendesah.
"Apa kau lelah menghadapinya?" Aaron bersimpati.
"Tidak. Tentu saja tidak. Aku hanya tidak tahu bagaimana 'menjinakkannya'. Sejak dia di high school, sikapnya menjadi ... liar, kurasa. Dan sejujurnya aku tidak percaya dia mengalami kecelakaan."
"Apa maksudmu?"
"Aku curiga dia berkelahi."
_______
Seperti sudah wajib bagi Shoujin untuk mengantar dan menjemput Nicky, dan itu sudah berlangsung selama dua bulan. Di sore hari saat Shoujin menjemput Nicky, itu menjadi penyegar bagi mata para siswi di sekolah Nicky yang sudah lelah memelototi papan tulis seharian. Bagaimana tidak? Melihat sesosok pria tampan dengan pembawaan yang tenang cenderung angkuh, membuatnya terlihat manly. Lalu sosok itu bertengger di atas sepeda motor sport 1000 cc berwarna hitam, sewarna dengan jaket kulit yang pas di badannya. Bukankah itu paket komplit? Komplit freak-nya, menurut Nicky.Setia mengantar-jemput adiknya—begitulah yang dipikirkan orang-orang—, mengesankan sisi protektif terhadap orang yang disayangi. Memang tak ada yang tahu identitas Shoujin. Nicky pun tak pernah berterus terang. Sepupu, hanya itu yang Nicky katakan atas permintaan Shoujin. Misterius, semakin memancing rasa penasaran. Paket komplit plus plus. Bayangkan jika dirimu mendapat perlakuan istimewa seperti itu. Senang? Pastinya bukan kepalang.
Tak jarang Nicky diminta oleh teman-teman perempuan di sekolahnya untuk mengenalkan mereka dengan Shoujin, atau berpura-pura baik pada Nicky untuk mendekati Shoujin. Sharon—si pinky teman sekelas Nicky—salah satunya. Sudah pasti itu menyebalkan. Dan ini bukan kali pertama Nicky mengalami hal seperti itu. Kita sudah tahu siapa yang sebelumnya. Ya, kakak freak—Kenneth.
Nicky tak habis pikir, mengapa orang freak seperti Kenneth dan Shoujin justru dikagumi gadis-gadis? Ada banyak cowok keren dari klub basket dan baseball, mengapa harus Kenneth dan Shoujin? Apa standar 'keren' di sekolahnya sudah berubah?
_______
Shoujin dan Nicky baru saja sampai di sekolah Nicky. Tak biasanya Shoujin melepas helmnya, tetapi kali ini ada yang ingin ia katakan pada Nicky. Langsung saja, beberapa pasang mata yang melintas mencuri pandang pada sosok mempesona itu. Menyadari hal itu, Nicky dongkol.Nicky melepas helmnya lalu menyodorkan pada Shoujin.
"Hai, Nick. Apa kau sudah mengerjakan PR Biologi?"
"Baru setengah. Kenapa?"
"Kau bisa menyalin punyaku, kalau kau mau." Gadis itu kemudian mencuri pandang pada Shoujin. "Hai, sepupunya Nick," sapanya.
"Tidak perlu. Aku biasa meminjam pekerjaan Shawn." Nicky melirik sinis pada temannya itu.
"Oke." Gadis yang ternyata teman sekelas Nicky itu pergi. "Bye, sepupunya Nick."
Shoujin tak peduli. "Nicky, aku mau mengajakmu nonton malam ini, kau mau?"
"Hai, Nick," sapa teman sekolah Nicky yang lain lagi. "Klub cheerleader sedang membutuhkan tambahan anggota. Aku menawarimu untuk bergabung. Apa kau tertarik?"
"Sial!" gerutu Shoujin.
Astaga. Brunette² yang sebenarnya adalah senior itu sungguh tak tahu malu. Memamerkan gestur seperti cacing kepanasan sambil memilin-milin rambut bergelombangnya di depan Nicky dan sepupu palsunya. Dan jelas sekali tak mendapat tanggapan dari sang target.
"Hei! Kau 'kan yang mempermalukanku di depan teman-teman klubmu yang ..., haah ... entahlah aku bahkan tidak tahu harus menyematkan label apa pada klub yang sama sekali tidak bermutu itu. Atraksi badut sirkus masih jauh lebih baik dari kalian."
"Eer ..., bisa kita lupakan hal itu?"
"Tentu saja. Aku bersyukur tidak jadi bagian dari klub payah itu!" Nicky memandang remeh pada seniornya.
"Astaga, Nick, kata-katamu pedas sekali," ucap brunette dengan suara serak basah mendayu-dayu. Menjijikkan.
"Aku mengerti ...." Nicky melipat kedua tangannya di di dada sambil melirik pada Shoujin, "Shou, kau punya penggemar," satire Nicky ketus.
"Wow ... benarkah? Aku merasa tersanjung." Shoujin merespon dingin dan datar.
Brunette tersenyum genit.
"Tapi maaf, aku tidak tertarik. Aku sudah punya pacar."
"Lebih baik kau urus saja pacarmu yang arogan itu." Nicky menimpali.
Brunette mengedikkan bahu lalu meninggalkan Nicky dan Shoujin. Beberapa langkah kemudian ia menoleh kepada Nicky dengen melempar tatapan permusuhan.
Nicky meengabaikan saja auran permusuhan yang ditebar oleh brunette itu.
"Nicky, sudahlah! Bagaimana?"
"Aku tidak tahu kau punya pacar," delik Nicky dengan sebelah alis terangkat.
"Kau percaya ucapanku yang baru saja?"
Nicky masih diam dengan tatapan menyelidik.
"Ayolah, aku hanya ingin brunette itu pergi secepatnya. Aku belum punya pacar."
"Tak masalah kalau memang kau punya pacar. Justru aneh kalau laki-laki sepertimu belum punya pacar. Karena seharusnya kau mudah mendapatkannya. Tinggal tunjuk saja salah satu dari mereka."
"Menggelikan. Mereka bukan tipeku. Sudahlah, suasana hatiku sedang bagus. Jangan kaurusak! Oke?"
"Oke. Apa ada film bagus?"
"Tentu saja. Kau suka film action 'kan?"
"Um ... ya ..." Nicky mengedikkan bahu dan bibirnya mencebik. "... tapi tidak semuanya. Kalau filmnya berat, aku tidak mau. Aku malas kalau harus berpikir keras. Kepalaku bisa sakit."
"Kalau begitu, nanti sepulang sekolah datanglah ke toko."
"Ya, baiklah," setuju Nicky. Lalu ia memanggil nama sepupu palsunya saat pemuda itu hendak memakai helmya. "Shou ...."
"Ya?" respon Shoujin sambil memasang helm ke kepalanya.
"Lain kali kau tidak usah menjemputku, biar aku saja yang ke tempatmu."
"Kenapa?"
Nicky menggumam ragu dan menggaruk sudut bibirnya yang terluka. Bagian itu terasa gatal, sebagai reaksi proses penyembuhan.
"Biar kutebak, kau cemburu."
Nicky berdecak. "Bukan ..., mana ada?" terlihat jelas dongkolnya Nicky.
Shoujin hanya menatap penuh rindu pada Nicky. Rindu? Ya. Setelah perkelahian waktu itu, Nicky terpaksa tidak masuk sekolah selama tiga hari. Shoujin pun kehilangan banyak kesempatan bersama kucing manisnya. Sedangkan ia sendiri sedang banyak pesanan pastry.
"Sudahlah, turuti saja permintaanku!"
"Ya, baiklah."
"Satu lagi. Jangan lagi melepas helmmu ketika kau di sekolah, sewaktu mengantarku!"
"Kau lucu sekali. Baiklah, aku turuti kemauanmu, Kucing Manis."
"Aaawh ... Sakit!" pekik Nicky saat Shoujin mencubit gemas hidungnya. “Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Menjijikkan!” bentaknya kemudian.
Teriakan itu cukup untuk mengundang perhatian orang-orang di sekitar mereka.
“Pelankan suaramu!” Shoujin tersenyum garing, mencoba menenangkan si pirang yang masih dongkol. "Oh ya, bibirmu apa sudah sembuh?" dengan ujung jarinya yang tak tertutup riding glove Shoujin menyentuh bibir Nicky. Sengaja mencari kesempatan sepertinya. Luka robeknya mulai menutup.
"Singkirkan tanganmu!” Nicky menepis tangan Shoujin.
Shoujin terkekeh jahil, menutupi kekecewaannya.
“Sudah lebih baik. Setidaknya aku sudah bisa mengucapkan ‘mmm’, tapi aku masih hanya bisa makan roti dan salad, belum bisa makan sup dan taco. Minum pun harus dengan sedotan. Menyebalkan. Dan ... hei ...!" Nicky mendelik makin lebar. "Pelipisku lebih parah, tapi kau malah menanyakan bibirku."
Shoujin sedikit gelagapan, mendengar pertanyaan yang menohok itu. "Eh, pelipismu ... tertutup rambut ..." Shoujin tak berbohong saat mengucapkannya.
"Sudah, aku mau masuk, bye." Nicky berlalu sambil menggeleng kepala kesal.
Senyum Shoujin lenyap seketika setelah Nicky berbalik memunggunginya, berubah menjadi muka datar dengan tatapan membunuh.
Si rambut hitam melajukan sepeda motornya, lalu menghilang di belokan memasuki sebuah jalan kecil tak jauh dari tokonya.
.
.
Nicky berjalan dengan gaya seperti laki-laki. Menuju geromban teman-temannya—tiga orang siswa laki-laki—di depan pintu bangunan utama sekolah.
"Hei, lihat siapa yang telah kembali!" sambut Kevin sekaligus mencemooh pada si pirang serupa anak middle school. "Ke mana saja kau tiga hari ini? Tidak ada kabar, ditelepon tidak dijawab, di-chat tidak dibalas. Kupikir kau sudah mati," kelakarnya yang sedang duduk-duduk bersama gang-nya di anak tangga.
"Kenapa kau tidak datang melayat?"
"Aku menunggu kabar pemakamanmu, tapi ternyata kau kembali," timpal laki-laki yang secara fisik terlihat lebih dewasa dari usianya itu. Ia menggaruk dagunya yang ditumbuhi rambut yang terlihat tumbuh sekitar 3 mm setelah dicukur. Selain dagu, pipinya juga ditumbuhi rambut.
"Hai, Nick," sahut Shawn, teman Nincky yang rambuut panjang bergelombangnya selalu dicepol tinggi.
"Hei, Nick. Kau sudah lihat ini?" sambung teman Nicky yang berbadan gempal dan berciri fisik Asia Timur, bernama Charlie.
"Ada yang viral?"
"Hum, lihat saja!"
"Apa? Sini!" Nicky menyambar ponsel Charlie "Huh ...?" Ia nyaris tak percaya dengan yang dilihatnya. Ia terperangah.
Video di sebuah kanal Youtube itu memperlihatkan rekaman CCTV di sebuah sudut Palmline. Tampak seorang remaja sedang melawan berandalan. Nicky tak asing dengan adegan itu.
Caption video itu, "FIERCE : 1 BOCAHMIDDLE SCHOOL VS. 3 BERANDALAN DI PALMLINE ...."
"Wow ...." hanya sebuah tanggapan datar yang keluar dari mulut Nicky, sementara ia mengembalikan ponsel Charlie, lalu duduk di samping mereka.
"Tidakkah bocah itu hebat? Dia berani sekali melawan berandalan-berandalan itu seorang diri," ujar Charlie kagum.
"Tapi apa kau yakin dia anak middle school? Dia kuat sekali." bantah Shawn ragu. "Satu lagi, dia terlihat seperti ... perempuan."
"Bicara apa kau, Shawn?" tukas Kevin.
"Coba kau lihat ini, Kev." Shawn menyambar ponsel Cahrlie dan menghentikan video pada menit di mana salah seorang berandal mencengkeram leher si bocah yang diduga middle school. "Lihat dadanya."
"Hei ..., kau benar. Dia punya buah dada!" seru Kevin.
Nicky hanya diam. Ia sibuk memikirkan nasibnya jika Aaron sampai tahu ia berbohong. Ia bisa habis diomeli oleh sang kakak palsu.
"Kau diam saja, Nick?" Kevin yang tepat bersebelahan dengan Nicky menyelidik pada wajah Nicky. "Bibirmu ... dan itu pelipismu ..."
"Sudahlah." Sambil membetulkan poni untuk menutupi pelipisnya, Nicky meninggalkan teman-temannya yang masih menerka-nerka identitas si bocah middle school.
_______
1. Palung Mariana : palung terdalam di dunia2. brunette : orang dengan warna rambut cokelat
Sore itu, tak seperti biasanya, sepulang sekolah Nicky mendatangi Shoujin di Rhein’s, sesuai permintaan Shoujin. Di counter, di sebuah kursi yang bersebelahan dengan sebuah meja, Nicky menunggu temannya, yang menurutnya sudah seperti kakak baginya. Dengan seenaknya ia mengklaim orang sebagai kakaknya. "Tunggulah sebentar! Ada pesanan yang harus kuselesaikan dulu." "Oke, tidak masalah." Selang sepuluh menit setelah Shoujin kembali ke dapur, seorang karyawan Shoujin datang membawa nampan dengan segelas es teh lengkap dengan sedotan. Mengalihkan perhatian Nicky yang sedang tertunduk fokus pada permainan di ponselnya. "Silahkan tehnya, Nick." "Terima kasih, Karina," jawab Nicky dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperlebar luka di bibirnya. Lalu kembali fokus pada ponselnya. "Nick, boleh aku duduk di situ?" tunjuk wanita berambut merah menyala dan berkacamata pada sebuah kursi kosong di sisi lain meja. Nicky mendongak sebentar, melihat wanita cantik yang memanggil namanya, menoleh p
Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya. Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye. Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target. Target Kenneth tersungkur. Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutu
"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan. "Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel. "Kau serius mengikuti kompetisi itu?" "Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?" "Eer ... menyerahkan desain saja." "Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah. "Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Kevin dan Shawn melanjutkan bahasan tentang penculikan Sharon. Kevin duduk di belakang kemudi.“Kau ingat Jum’at sore ketika Caleb dan Lynn mem-bully Nick?” Kevin memutar ulang kejadian pem-bully-an di depan sekolah.“Ya.” Shawn merespons datar. “Malam harinya, Nick membawa kabur Fair Lady.”“Tepat. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Hari Minggu setelah itu, Kenneth menemuiku dengan membawa ponsel Caleb. Dia memintaku meretas e-mail Sharon, menukar identitas pemilik ponsel Caleb dengan identitas Kenneth, dan memasang pelacak pada ponsel Nick. Aku yakin dia ada di balik penculikan Sharon. Kenneth ingin membalas mereka.”“Gosip beredar Kenneth yang menyerang Caleb dan Lynn. Aku tidak akan terkejut, kita tahu dia orang seperti apa.”“Benar. Hei, tapi tidakkah menurutmu aneh? Kenneth cukup sering melakukan kejahatan, tapi dia masih saja bebas berkeliaran. Dan menurutmu apa alasan Kenneth memasang pelacak di ponsel Nick? Apa dia ....”Shawn diam menunggu asumsi Kevin.“Penguntit? Bersikap
Hari terakhir di sekolah sebelum liburan musim panas adalah hari di mana para penghuni sekolah disibukkan dengan urusan administratif dan tak banyak kegiatan di dalam kelas. Sebagaimana kebiasaan mereka, kawanan Shawn menghabiskan waktu di tempat teduh di pinggiran lapangan baseball. Dan seperti biasa Shawn akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk tidur, tanpa peduli di mana pun berada, termasuk saat ini. Mengingat ia harus bekerja sampingan di bengkel Dong-woo atau menjadi pengemudi taksi online di malam hari, pasti melelahkan. Selagi Nick dan Kevin mengobrol ke sana kemari, mengabaikan Charlie yang sibuk sendiri dengan ponselnya, datanglah pasangan Sam-Irina.“Apa kau sudah mendapatkan teman Hispanic?” Irina memancing topik baru seraya duduk dan bergabung.“Belum,” jawab yang lain bersahutan.“Aku punya beberapa teman Hispanic.”Sam menyusul duduk di samping Irina.“Apa dia hot?” selorohnya.“Sam!” Irina mendengus mendengar pertanyaan tak penting Sam.“Ayolah, kau tak harus marah.
Nicky tertegun menyaksikan perkelahian di lapangan baseball, yang melibatkan dua orang siswi yang sejak awal semester ini terlihat dekat. Si pinky dan si brunette saling menjambak rambut. Caleb dan anak-anak tim baseball mencoba melerai perkelahian itu. Tak ingin terlibat, Nicky dan kawan-kawan berandalnya memilih menikmati adegan itu dari pinggir lapangan. Sementara itu Charlie tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam adegan itu menggunakan ponselnya. “Tidakkah menunutmu aneh, Sam?” selidik Irina, tatapannya masih tertuju pada adegan perkelahian. “Tidak. Memangnya kau lupa anak-anak seperti mereka selalu bermuka dua? Di satu waktu mereka akan terlihat sebagai seseorang yang selalu berpihak padamu dan mendukungmu. Tapi saat kau memalingkan punggungmu pada mereka, saat itu mereka akan bersiap menusukmu dari belakang,” jawab Sam santai. Tak lama kemudian, datanglah para guru pria melerai perkelahian itu. Sempat terlihat adanya perdebatan di antara guru-guru itu dengan para
Fair Lady Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota St. Anglo yang mulai lengang menuju West Coast tanpa ada mobil patroli yang mengejar. Mendekati perbatasan dengan West Coast, Nicky terlihat gamang. "Apa akan aman melintasi perbatasan seperti ini?" "Turunkan saja sedikit hingga di bawah 80 km/jam. Akan kuberitahu saat kau mendekati speed trap1." Setelah berhasil membawa mobil yang ia kemudikan melintasi speed trap tanpa gangguan, Nicky pun kembali meningkatkan akselerasi mesinnya. Dalam dua detik, mobil itu telah mencapai kecepatan 150 km/jam. Tak lama kemudian Fair Lady bertemu dengan area yang jalanannya berkelok dan dipenuhi semak di kiri dan kanan. Ia telah sampai di perbatasan. Mobil itu pun kemudian memulai aksinya meliuk mengikuti alur jalan yang menghubungkan kedua county. Malam sudah sangat larut. Rasi Bintang Pari mendekati posisi tegak lurus dari horizon ketika Fair Lady menepi di salah satu surfing spot di Palmline Beach. Tempat ini sedikit jauh dari tempat diadak
Sambil menahan surfboard Nicky, Pandangan Kenneth tak lepas dari setiap interaksi yang terjadi antara si bocah pirang dengan teman-temannya. Ia saat ini berdiri bersebelahan dengan Aaron dan Shoujin, sedikit jauh dari tempat teman-teman Nicky berkumpul. Wajah bocah tomboi itu tak henti mengumbar senyum dan tawa riang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kenneth, Aaron, dan Shoujin, kawanan Shawn dan pasangan Sam-Irina datang untuk memberikan dukungan pada Nicky dalam penyisihan kompetisi surfing hari ini. Satu per satu, mereka beradu kepalan tangan dengan Nicky. Teman-teman sekolah Nicky juga tak henti memuji aksi bocah itu di atas ombak. Bahkan Charlie merekam aksi si pirang. Sepintas Kenneth menoleh pada Shoujin. Pemuda pelit ekspresi itu bahkan terlihat tersenyum, meski tipis tetap terlihat. Begitu besarkah pengaruh Nicky pada laki-laki gunung es itu? Setelah melambaikan tangan pada teman-temannya yang beranjak meningg
Nicky sedang membereskan peralatan makan kotor bekas sarapan semua penghuni rumah. "Dulu Aaron melarangku selalu menumpang pada Shoujin. Katanya aku tidak boleh bergantung pada orang lain. Tapi lihat yang dilakukannya sekarang." Protes itu Nicky ajukan karena melilhat kebiasaan Freak Brother #2 berangkat selalu dijemput oleh Zac. "Kenapa tidak kaukatakan saja padanya?" sahut Kenneth yang sedang mengutak atik ponsel B sambil duduk menghadap meja makan. "Tentu saja akan kukatakan kalau aku sudah punya waktu bicara padanya. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali ketika sedang sarapan. Apa perlu aku membahasnya ketika sarapan? Tidak. Itu bisa merusak mood-ku." "Baiklah. Lalu apa saja yang akan kaulakan hari ini?" "Mulai hari ini aku bekerja paruh waktu di Rhein's. Lalu nanti siang aku ke Palmline Beach. Aku hanya akan membahas dengan Emmery dan yang lain tentang persiapan untuk kontes besok." Nicky sudah selesai mencuci peralatan makan, lalu ia duduk kembali di sa
[Nick, maaf hari ini aku tidak bisa menemai latihan surfing hari ini, adikku memaksaku mengantaranya ke ulang tahun temannya. Bagaimana kalau besok?] bunyi pesan yang Nicky terima dari kontak Emmery. [F*** you. Oke. Jangan kaubatalkan lagi.], balas Nicky. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke dasbor. Ia menoleh pada Kenneth dengan bibir cemberut. "Emmery membatalkan rencana hari ini." Saat itu Nicky menyadari ada yang tak beres dengan kakaknya. Pria beruban itu tersenyum-senyum seperti sedang berhalusinasi. Namun, setelah diperhatikan lagi, sebenarnya Kenenth sedang tersenyum padanya. Anehnya, itu membuat Nicky salah tingkah. "Eer ... Kenny, apa yang terjadi padamu?" Nicky tergagap. "Kau cantik," puji Kenneth masih dengan mempertahankan senyum. "Ah, sial." Buru-buru Nicky menarik selembar tisu dari kotak tisu di dasbor. "Pasti karena ini. Karina sialan. Dan gara-gara kau datang tanpa aba-aba, aku jadi terburu-buru dan
Dari rumah Sarah, Kenneth mengebut menuju Forklore, ke apartemennya. Ada PR yang harus ia selesaikan, yaitu berkas dari SAPD. Ia harus sudah siap ketika bertemu kembali dengan Yuri. Tak sampai dua jam Kenneth sudah selesai melahap semua informasi pada berkas itu. Beberapa menit kemudian Yuri datang. Pria berambut platinum grey dan pria berambut biru elektrik duduk berhadapan, masing-masing duduk pada kursi kerja dengan melipat kedua tangan. "Kau sudah mempelajari berkas dari SAPD?" buka Yuri. Pria bernama sandi 'Blue' itu menggaruk pipinya. "Sudah," jawab Kenneth datar dan tegas. "Bagus. Sekarang aku ingin mendengar lebih detail tentang pesta di Morsey." Kenneth mulai memaparkan, "Di Morsey aku bertemu dengan Emilia, dia adalah orang kepercayaan bos Underzone. Emilia tidak menyebutkan nama bosnya, tapi besar kemungkinan itu adalah Mario Cortez. Si bos tidak ada di pesta saat itu, dia sedang berlibur dengan wanita lain. Emilia juga tidak menyebutkan di mana bosnya berada. Dan ada s
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan