"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu."
Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya.
"Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan.
"Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti."
Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya.
“Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.”
Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Nicky hanya menatap pada Kenneth, seolah bicara melalui tatapan itu, 'Jangan tinggalkan aku! Aku takut.'
Kenneth menghela nafas. "Baiklah." Lalu berbalik memunggungi Nicky, mengalihkan pandangannya ke arah lain di kamar itu saat Nicky mengganti pakaiannya.
Nicky bukan lagi anak kecil. Apalagi dengan kenyataan bahwa gadis yang sedang beranjak dewasa itu bukanlah adik biologisnya maupun adik yang diperoleh melalui ikatan pernikahan orang tua mereka, perlahan membuat Kenneth sedikit menjaga jarak, meski kadang ia tak dapat menahan diri. Entah sejak kapan ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda antara dirinya dengan Nicky. Dan playboy itu tak keberatan meski tak ada wanita di sisinya selama setahun belakangan. Mungkin Nicky menjadi salah satu alasannya.
Kenneth pun kembali duduk di samping Nicky, lalu menyandarkan kepala Nicky di bahunya. Dipeluknya bocah itu sambil menciumi rambutnya yang masih sedikit basah.
_______
Malam hari Aaron baru pulang dari tugasnya. Ia yang mendapat kabar dari Kenneth tentang kejadian yang dialami Nicky di sekolah, segera menuju ke kamar Nicky begitu ia sampai di rumah. Hanya saja, melihat Kenneth tersandar di headboard ranjang Nicky dan sedang tidur, sementara Nicky bersandar di dada temannya itu, juga dalam keadaan tidur ..., lalu ...lalu ... Kenneth bertelanjang dada, Aaron meradang.
"Hey! apa-apaan kalian ini?" geram Aaron.
"Mmn ... Ken ... ny?" gumam Nicky sambil mengusakkan kepalanya di dada Kenny.
"Kenneth, cepat pindah ke kamarmu!"
"Mmmh ... aaphaa ...?"
Adegan yang tersaji di depan Aaron itu sungguh memalukan.
Kenneth membuka matanya, melihat malas pada Aaron.
"Nicky bang ... un ...." Aaron tercengang saat menyentuh lengan Nicky yang dingin dan lembab oleh keringat.
"Aku sudah memberi tahumu, 'kan?” Perlahan Kenneth mengangkat pundak dan kepala Nicky lalu menumpuk dua buah bantal di belakang punggung Nicky untuk dijadikan sandaran, kemudian menyandarkan tubuh dan kepala Nicky pada bantal itu. "Nanti kujelaskan. Sekarang biarkan aku menemaninya sampai tidur, percayalah padaku!"
Aaron mengangguk.
"Dan tolong selimutnya." pinta Kenneth sambil kembali mengelus rambut Nicky.
Aaron kemudian menyelimuti tubuh Nicky.
.
.
Kenneth telah duduk bersebelahan dengan Aaron di sofa panjang di ruang keluarga.
"Kaupikir, apa yang akan kulakukan pada Nicky?" Kenneth melirik malas pada Aaron.
"Maaf, aku seharusnya lebih paham pada situasi kalian." Aaron menyandarkan punggung pada sandaran sofa, dan kembali berbicara, "Aku baru saja menangani kasus pelecehan seksual terhadap seorang remaja yang dilakukan oleh ayah tirinya. Ya ..."
"Dan itu membuatmu berpikiran macam-macam. Aku masih waras, Aaron." Keneth mendengus sebal.
"Ya ..., aku sudah minta maaf. Aku hanya khawatir."
"Sama seperti sewaktu masih kecil dulu. Setiap kali mengalami mimpi buruk, dia tidak akan mau melepasku." Kenneth menumpukan ledua siku pada kedua lututnya.
"Aku tidak tahu traumanya seburuk itu. Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku?"
"Aku hanya tidak ingin membuatmu terus mengkhawatirkannya."
"Dan memilih menanggung semuanya sendiri? Bukankah aku ini sahabatmu?" Aaron mengalkan badan dan menepuk pundak sahabatnya untuk menguatkan.
"Lagipula kau berada di Springfield, apa yang akan kaulakukan?"
"Aku bisa mengajukan permintaan mutasi."
"Kupikir ia sudah sembuh dari traumanya. Empat tahun terakhir, ia terlihat baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda trauma yang muncul. Sampai akhirnya tadi siang aku mendapat telepon dari sekolah Nicky, mengatakan kalau Nicky pingsan. Lalu aku menelepon Shoujin dan meminta tolong padanya untuk menjemput Nicky. Karena aku sedang di lab forensik untuk menangani kasus."
Kenneth mendesah. "Dalam minggu ini, setelah investigasi kasus penyelundupan yang terakhir selesai, aku akan ke Springfield. Kemarin Yuri menelepon, ada temuan baru tentang kasus Marc. Aku akan membawa Nicky ke psikiaternya besok. Dan aku akan meminta Shoujin untuk menjaganya, antisipasi kalau sewaktu-waktu kau patroli malam."
"Apa kau percaya pada Shoujin?"
“Apa kau punya pilihan yang lebih baik?”
“....”
“Aku tidak begitu suka dengan Shoujin. Tapi, untuk saat ini, aku rasa hanya dia yang bisa kuandalkan. Tempat kerjanya dekat dengan sekolah Nicky, rumahnya juga dekat dengan kita. Dan yang terpenting dia memprioritaskan Nicky. Aku takut sewaktu-waktu Nicky kambuh, jadi aku butuh seseorang yang benar-benar bisa menjaganya. Kalau kau bisa, tidak masalah.”
“Kau benar, Kenneth. Aku tidak bisa selalu ada untuk menjaganya.”
“Jadi kau sependapat denganku?”
“Ya. Tapi kau tahu 'kan, Shoujin menyukai Nicky?”
“Ya.”
“Kau tidak keberatan soal itu?”
“Keselamatan Nicky lebih penting. Aku tidak bisa egois.”
_______
Minggu pagi, tiba saatnya Kenneth pergi ke Springfield. Sebenarnya ia tak ingin cepat-cepat berpisah dari gadis tomboi pirang kesayangannya. Apalagi setelah mimpi buruk yang dialami bocah itu beberapa hari yang lalu. Namun, ia harus segera menyelesaikan sebuah kasus yang harus diungkap kembali setelah tujuh tahun lalu dinyatakan ditutup."Berapa lama kau berada di Springfield?" tanya Nicky manja pada Kenneth.
Nicky bergelayut manja, mengalungkan kedua tangannya pada leher kakaknya. Dan Kenneth sendiri asik memainkan rambut Nicky. Mesra. Seperti itulah yang terlihat dari dua manusia yang tengah duduk berdempetan di sebuah kafe di bandara itu.
Sedangkan Aaron memilih memainkan ponsel demi mengalihkan perhatian dari pemandangan yang bisa membuat matanya iritasi sekaligus iri. Namun, telinganya tetap saja bisa menangkap obrolan dua manusia freak di depannya.
"Mmm ... seminggu ... sebulan ...."
"Lama sekali!" protes Nicky.
"Hahah ... tidak, Sayang. Aku hanya bercanda. Aku belum tahu. Segera setelah proyek di sana selesai, aku langsung pulang."
"Menyebalkan." Nicky mencebik.
"Kenapa?"
"Kau selalu memanggilku seperti itu."
"Aku memang menyayangimu, apa itu salah?"
"Tentu saja tidak. Hanya saja ..."
"Lalu apa kau bisa berhenti bersikap manja padaku?"
Nicky menyipitkan matanya.
"Bisa kau lepaskan tanganmu? Lihatlah, Aaron mulai kesal. Aaron, tidakkah kau merasa heran ketika ada gadis tomboi yang manjanya kelewatan?"
Nicky menoleh pada Aaron.
Aaron hanya berdecak dan menggeleng.
"Kalau begitu, aku akan tetap memanggilmu seperti itu."
"Iisshh ... kau menyebalkan," protes Nicky sambil mengeratkan pelukannya.
"Nicky, hentikan itu! Orang-orang menatap aneh pada kalian."
"Siapa peduli?"
"Kalian itu terlihat seperti sepasang kekasih. Lebih tepatnya pasangan gay."
Sekilas memang penampilan Nicky terlihat seperti laki-laki. Dan dengan sikap manjanya pada Kenneth, wajar jika orang yang melihat, berpikir mereka adalah sepasang gay. Sedangkan di St. Angelo hubungan sesama jenis masih menjadi kontroversi. Beberapa kelompok mengupayakan legalitas atas hubungan itu atas nama hak asasi manusia. Sedangkan kelompok yang lain berusaha membendungnya agar tak merebak, dengan alasan medis, psikologis dan norma-norma tertentu.
Meskipun St. Angelo secara administratif berada di negara bebas, nyatanya perubahan tak bisa dengan cepat diterima begitu saja oleh warganya, terutama para orang tua konservatif.
"Kau gila, Aaron. Fantasimu saja yang ke mana-mana."
"Astaga." Aaron mengusap-usap kasar dahinya. "Kenneth, ini karena kau terlalu memanjakannya."
"Hehehe ...." yang diprotes hanya nyengir.
Kenneth menoleh pada jam di pergelangan tangannya.
"Nicky, aku harus pergi sekarang."
Dengan berat hati Nicky melepaskan tangannya dari leher Kenneth lalu melipat kedua lengannya.
Kenneth berdiri, diikuti kedua orang yang mengantarnya.
"Jaga dirimu selagi aku tidak ada."
"Kenny, tunggu!"
Untuk terakhir kalinya sebelum kepergian Kenneth, Nicky memeluk erat tubuh jangkung kakaknya. Lalu setelah ia melepaskannya, ia pun berjinjit mengecup sebelah pipi kakaknya. Lalu ...
"Cukup, Nicky! Jangan berlebihan! Memalukan, kau sudah besar." Aaron menyeret Nicky menjauhi Kenneth.
"Memangnya siapa yang peduli? Kau berlebihan. Pulang saja ke tempat asalmu!" Nicky kesal.
Kenneth melambaikan tangannya ke arah Nicky. Dibalas lambaian yang tidak ikhlas dari anak itu.
.
.
Nicky menyandarkan punggungnya dengan kesal di kursi penumpang mobil kakaknya.
"Nicky. Mulai sekarang kau harus menghentikan kebiasaanmu itu. Berhentilah bersikap manja. Meskipun perempuan, tak seharusnya semanja itu. Terlebih kau sudah melabeli dirimu sebagai gadis tomboi. Ironis.”
“....”
Aaron memutar kunci mobil dan menyalakan mesinnya.”
"Aaron ...." lirih Nicky.
"Apa tidak boleh aku merasakan kasih sayang?"
Aaron tersentak.
"Aku tidak ingat sedikit pun tentang masa kecilku. Seperti apa wajah orang tuaku, apa mereka pernah memanjakanku."
"Maaf, Nicky. Kita bicarakan ini lain kali. Tapi ingatlah baik-baik, aku tidak bisa memperlakukanmu seperti Kenneth memperlakukanmu. Aku akan bersikap tegas."
Nicky diam tertunduk.
Aaron menginjak pedal gas dan melajukan mobil meninggalkan parkiran bandara.
_______
Saat ini Nicky sedang sibuk, sangat sibuk, sibuk memikirkan hari-harinya tanpa Kenneth sambil berbaring di kasur single di kamarnya sepulangnya dari sekolah. Tiba-tiba saja perasaan Nicky berubah sendu. Ke mana dia akan bermanja? Aaron? Jangan harap! Belum apa-apa kakak rambut cepak itu sudah mengatakan akan bersikap tegas. Huft, hidupnya akan berat mulai sekarang."Mulai sekarang kau bawa mobil sendiri ke sekolah." Tiba-tiba saja Aaron muncul dari balik pintu kamar Nicky lalu bersandar di pinggiran pintu dengan kedua tangan terlipat di dada.
Mendengar ucapan kakak keduanya itu, seketika Nicky terlonjak dari kegiatan berbaringnya. "Benarkah? Kau serius? Kenny tak pernah membiarkan aku berada di belakang kemudi, meskipun dia tahu aku bisa mengemudi dengan sangat baik."
"Tentu saja."
"Tapi kenapa?"
"Jangan manja, jangan merepotkan orang lain!"
"Jadi itu alasannya, karena kau tidak mau mengantarku?" Nicky kembali menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
"Huft ..." Aaron menepuk dahinya yang tak pusing. "Memangnya kapan terakhir kali aku mengantarmu? Itu sudah lama. Maksudku Shoujin, berhentilah menempelinya. Kalau Kenneth seperti kekasihmu, Shoujin terlihat seperti selingkuhanmu."
"Ayolah, bukan aku yang selalu menempelinya, tapi dia yang menempeliku terus."
"Dan kau mau saja ditempeli."
"Selama itu memberiku keuntungan, kenapa tidak?"
"Jadi kau tidak mau?"
"Tentu saja aku mau!"
Lihatlah wajah Nicky yang mulai senyum-senyum tak jelas, membayangkan betapa keren dirinya. Memarkirkan mobil di halaman parkir sekolah, lalu keluar dari mobil sambil menyibak rambut pendeknya. Dirinya akan bersinar sedari sekarang. Ditambah bekal popularitas sebagai tukang onar yang sudah dimilikinya sejak awal menghuni sekolah.
"Apa Kenny mengijinkan?"
"Tidak usah kaupikirkan. Sekarang juga kuantar kau mendapatkan izin mengemudi, supaya kau bisa secepatnya membawa mobil sendiri."
"Lalu kau sendiri bagaimana?"
"Apanya?"
"Bagaimana kau berangkat bekerja??"
"Aku bisa naik taksi atau .... Tak usah kau pikirkan, kau tenang saja!"
"Oke! Kita berangkat!" dalam sekali hentak Nicky bangkit dari ranjangnya.
_______
Semua kepala menoleh ke arah suara deru knalpot sebuah mobil. Dan semua mata tertuju pada sedan modifikasian berwarna hitam-putih. Mobil yang sudah lama tak menampakkan diri itu kini muncul kembali, memasuki halaman parkir dan berhenti di sana.
Mengundang tanya di benak semua orang yang sebagian di antara mereka berharap bisa melihat si tampan pemilik mobil itu sering-sering.
_______
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Setelah berhasil melumpuhkan Owen, sekarang saatnya untuk mengorek sedikit informasi dari pria androgini itu sebelum menghabisi nyawanya. Setelah itu ia akan memulangkan Gloria pada majikannya, karena sepertinya Gloria tak akan bisa atau tak mau pulang sendiri. Namun, kesadaran Owen perlahan kembali saat merasakan dua tangan menyelusup dari belakang ke bawah ketiaknya dan mengangkatnya tanpa sedikit pun kehati-hatian. Dan saat kedua tangan itu hendak menyeretnya, Owen sigap menghunus pisau dari sarungnya yang terkait ke ikat pinggangnya, lalu menghujamkan ke kaki orang itu. "Aargh!" pekik lawan Owen. Pisau Owen menancap menembus sneakerlawannya. Ya, itu adalah sneaker orang yang duduk di dekat meja resepsionis di lobi hotel. Orang itu memekik dengan suara tertahan ketika menarik paksa pisau dari kakinya. Darah merembes menembus sneaker-nya. Setelahnya ia menyerang Owen dengan pisau di tangannya. Namun, serangan tak ter
"Tidak, dia tidak tahu. Aku tidak mengatakannya." "Ya, tentu saja. Nanti kutelepon lagi." Bocah pirang menutup sambungannya ketika Shoujin duduk di sebelahnya. "Aku harap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama." "Aku sama sekali tidak menunggumu. Apa itu?" mata Nicky tertuju pada kemasan berlogo Bigg's Taco. "Untukmu ..." "Kau tetap membelinya? Aku tidak mau!" tolak Nicky ketus. "Kita lihat saja," tukas Shoujin sambil membawa taco yang dibelinya ke dapur. Sementara Nicky hanya memandang tak mengerti. Lima menit kemudian Shoujin kembali dengan sepiring makanan. Diletakkannya piring itu di atas meja. Lalu sebelum duduk, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Baru setelah itu ia duduk di sofa yang sama dengan Nicky. "Apa ini? Tidak terlihat seperti taco." Makanan di atas meja itu tersaji dengan tak semestinya—tersaji di atas piring, tortilla
Kevin dan Shawn melanjutkan bahasan tentang penculikan Sharon. Kevin duduk di belakang kemudi.“Kau ingat Jum’at sore ketika Caleb dan Lynn mem-bully Nick?” Kevin memutar ulang kejadian pem-bully-an di depan sekolah.“Ya.” Shawn merespons datar. “Malam harinya, Nick membawa kabur Fair Lady.”“Tepat. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Hari Minggu setelah itu, Kenneth menemuiku dengan membawa ponsel Caleb. Dia memintaku meretas e-mail Sharon, menukar identitas pemilik ponsel Caleb dengan identitas Kenneth, dan memasang pelacak pada ponsel Nick. Aku yakin dia ada di balik penculikan Sharon. Kenneth ingin membalas mereka.”“Gosip beredar Kenneth yang menyerang Caleb dan Lynn. Aku tidak akan terkejut, kita tahu dia orang seperti apa.”“Benar. Hei, tapi tidakkah menurutmu aneh? Kenneth cukup sering melakukan kejahatan, tapi dia masih saja bebas berkeliaran. Dan menurutmu apa alasan Kenneth memasang pelacak di ponsel Nick? Apa dia ....”Shawn diam menunggu asumsi Kevin.“Penguntit? Bersikap
Hari terakhir di sekolah sebelum liburan musim panas adalah hari di mana para penghuni sekolah disibukkan dengan urusan administratif dan tak banyak kegiatan di dalam kelas. Sebagaimana kebiasaan mereka, kawanan Shawn menghabiskan waktu di tempat teduh di pinggiran lapangan baseball. Dan seperti biasa Shawn akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk tidur, tanpa peduli di mana pun berada, termasuk saat ini. Mengingat ia harus bekerja sampingan di bengkel Dong-woo atau menjadi pengemudi taksi online di malam hari, pasti melelahkan. Selagi Nick dan Kevin mengobrol ke sana kemari, mengabaikan Charlie yang sibuk sendiri dengan ponselnya, datanglah pasangan Sam-Irina.“Apa kau sudah mendapatkan teman Hispanic?” Irina memancing topik baru seraya duduk dan bergabung.“Belum,” jawab yang lain bersahutan.“Aku punya beberapa teman Hispanic.”Sam menyusul duduk di samping Irina.“Apa dia hot?” selorohnya.“Sam!” Irina mendengus mendengar pertanyaan tak penting Sam.“Ayolah, kau tak harus marah.
Nicky tertegun menyaksikan perkelahian di lapangan baseball, yang melibatkan dua orang siswi yang sejak awal semester ini terlihat dekat. Si pinky dan si brunette saling menjambak rambut. Caleb dan anak-anak tim baseball mencoba melerai perkelahian itu. Tak ingin terlibat, Nicky dan kawan-kawan berandalnya memilih menikmati adegan itu dari pinggir lapangan. Sementara itu Charlie tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam adegan itu menggunakan ponselnya. “Tidakkah menunutmu aneh, Sam?” selidik Irina, tatapannya masih tertuju pada adegan perkelahian. “Tidak. Memangnya kau lupa anak-anak seperti mereka selalu bermuka dua? Di satu waktu mereka akan terlihat sebagai seseorang yang selalu berpihak padamu dan mendukungmu. Tapi saat kau memalingkan punggungmu pada mereka, saat itu mereka akan bersiap menusukmu dari belakang,” jawab Sam santai. Tak lama kemudian, datanglah para guru pria melerai perkelahian itu. Sempat terlihat adanya perdebatan di antara guru-guru itu dengan para
Fair Lady Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota St. Anglo yang mulai lengang menuju West Coast tanpa ada mobil patroli yang mengejar. Mendekati perbatasan dengan West Coast, Nicky terlihat gamang. "Apa akan aman melintasi perbatasan seperti ini?" "Turunkan saja sedikit hingga di bawah 80 km/jam. Akan kuberitahu saat kau mendekati speed trap1." Setelah berhasil membawa mobil yang ia kemudikan melintasi speed trap tanpa gangguan, Nicky pun kembali meningkatkan akselerasi mesinnya. Dalam dua detik, mobil itu telah mencapai kecepatan 150 km/jam. Tak lama kemudian Fair Lady bertemu dengan area yang jalanannya berkelok dan dipenuhi semak di kiri dan kanan. Ia telah sampai di perbatasan. Mobil itu pun kemudian memulai aksinya meliuk mengikuti alur jalan yang menghubungkan kedua county. Malam sudah sangat larut. Rasi Bintang Pari mendekati posisi tegak lurus dari horizon ketika Fair Lady menepi di salah satu surfing spot di Palmline Beach. Tempat ini sedikit jauh dari tempat diadak
Sambil menahan surfboard Nicky, Pandangan Kenneth tak lepas dari setiap interaksi yang terjadi antara si bocah pirang dengan teman-temannya. Ia saat ini berdiri bersebelahan dengan Aaron dan Shoujin, sedikit jauh dari tempat teman-teman Nicky berkumpul. Wajah bocah tomboi itu tak henti mengumbar senyum dan tawa riang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kenneth, Aaron, dan Shoujin, kawanan Shawn dan pasangan Sam-Irina datang untuk memberikan dukungan pada Nicky dalam penyisihan kompetisi surfing hari ini. Satu per satu, mereka beradu kepalan tangan dengan Nicky. Teman-teman sekolah Nicky juga tak henti memuji aksi bocah itu di atas ombak. Bahkan Charlie merekam aksi si pirang. Sepintas Kenneth menoleh pada Shoujin. Pemuda pelit ekspresi itu bahkan terlihat tersenyum, meski tipis tetap terlihat. Begitu besarkah pengaruh Nicky pada laki-laki gunung es itu? Setelah melambaikan tangan pada teman-temannya yang beranjak meningg
Nicky sedang membereskan peralatan makan kotor bekas sarapan semua penghuni rumah. "Dulu Aaron melarangku selalu menumpang pada Shoujin. Katanya aku tidak boleh bergantung pada orang lain. Tapi lihat yang dilakukannya sekarang." Protes itu Nicky ajukan karena melilhat kebiasaan Freak Brother #2 berangkat selalu dijemput oleh Zac. "Kenapa tidak kaukatakan saja padanya?" sahut Kenneth yang sedang mengutak atik ponsel B sambil duduk menghadap meja makan. "Tentu saja akan kukatakan kalau aku sudah punya waktu bicara padanya. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali ketika sedang sarapan. Apa perlu aku membahasnya ketika sarapan? Tidak. Itu bisa merusak mood-ku." "Baiklah. Lalu apa saja yang akan kaulakan hari ini?" "Mulai hari ini aku bekerja paruh waktu di Rhein's. Lalu nanti siang aku ke Palmline Beach. Aku hanya akan membahas dengan Emmery dan yang lain tentang persiapan untuk kontes besok." Nicky sudah selesai mencuci peralatan makan, lalu ia duduk kembali di sa
[Nick, maaf hari ini aku tidak bisa menemai latihan surfing hari ini, adikku memaksaku mengantaranya ke ulang tahun temannya. Bagaimana kalau besok?] bunyi pesan yang Nicky terima dari kontak Emmery. [F*** you. Oke. Jangan kaubatalkan lagi.], balas Nicky. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke dasbor. Ia menoleh pada Kenneth dengan bibir cemberut. "Emmery membatalkan rencana hari ini." Saat itu Nicky menyadari ada yang tak beres dengan kakaknya. Pria beruban itu tersenyum-senyum seperti sedang berhalusinasi. Namun, setelah diperhatikan lagi, sebenarnya Kenenth sedang tersenyum padanya. Anehnya, itu membuat Nicky salah tingkah. "Eer ... Kenny, apa yang terjadi padamu?" Nicky tergagap. "Kau cantik," puji Kenneth masih dengan mempertahankan senyum. "Ah, sial." Buru-buru Nicky menarik selembar tisu dari kotak tisu di dasbor. "Pasti karena ini. Karina sialan. Dan gara-gara kau datang tanpa aba-aba, aku jadi terburu-buru dan
Dari rumah Sarah, Kenneth mengebut menuju Forklore, ke apartemennya. Ada PR yang harus ia selesaikan, yaitu berkas dari SAPD. Ia harus sudah siap ketika bertemu kembali dengan Yuri. Tak sampai dua jam Kenneth sudah selesai melahap semua informasi pada berkas itu. Beberapa menit kemudian Yuri datang. Pria berambut platinum grey dan pria berambut biru elektrik duduk berhadapan, masing-masing duduk pada kursi kerja dengan melipat kedua tangan. "Kau sudah mempelajari berkas dari SAPD?" buka Yuri. Pria bernama sandi 'Blue' itu menggaruk pipinya. "Sudah," jawab Kenneth datar dan tegas. "Bagus. Sekarang aku ingin mendengar lebih detail tentang pesta di Morsey." Kenneth mulai memaparkan, "Di Morsey aku bertemu dengan Emilia, dia adalah orang kepercayaan bos Underzone. Emilia tidak menyebutkan nama bosnya, tapi besar kemungkinan itu adalah Mario Cortez. Si bos tidak ada di pesta saat itu, dia sedang berlibur dengan wanita lain. Emilia juga tidak menyebutkan di mana bosnya berada. Dan ada s
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan