Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting.
Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
<Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Setelah berhasil melumpuhkan Owen, sekarang saatnya untuk mengorek sedikit informasi dari pria androgini itu sebelum menghabisi nyawanya. Setelah itu ia akan memulangkan Gloria pada majikannya, karena sepertinya Gloria tak akan bisa atau tak mau pulang sendiri. Namun, kesadaran Owen perlahan kembali saat merasakan dua tangan menyelusup dari belakang ke bawah ketiaknya dan mengangkatnya tanpa sedikit pun kehati-hatian. Dan saat kedua tangan itu hendak menyeretnya, Owen sigap menghunus pisau dari sarungnya yang terkait ke ikat pinggangnya, lalu menghujamkan ke kaki orang itu. "Aargh!" pekik lawan Owen. Pisau Owen menancap menembus sneakerlawannya. Ya, itu adalah sneaker orang yang duduk di dekat meja resepsionis di lobi hotel. Orang itu memekik dengan suara tertahan ketika menarik paksa pisau dari kakinya. Darah merembes menembus sneaker-nya. Setelahnya ia menyerang Owen dengan pisau di tangannya. Namun, serangan tak ter
"Tidak, dia tidak tahu. Aku tidak mengatakannya." "Ya, tentu saja. Nanti kutelepon lagi." Bocah pirang menutup sambungannya ketika Shoujin duduk di sebelahnya. "Aku harap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama." "Aku sama sekali tidak menunggumu. Apa itu?" mata Nicky tertuju pada kemasan berlogo Bigg's Taco. "Untukmu ..." "Kau tetap membelinya? Aku tidak mau!" tolak Nicky ketus. "Kita lihat saja," tukas Shoujin sambil membawa taco yang dibelinya ke dapur. Sementara Nicky hanya memandang tak mengerti. Lima menit kemudian Shoujin kembali dengan sepiring makanan. Diletakkannya piring itu di atas meja. Lalu sebelum duduk, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Baru setelah itu ia duduk di sofa yang sama dengan Nicky. "Apa ini? Tidak terlihat seperti taco." Makanan di atas meja itu tersaji dengan tak semestinya—tersaji di atas piring, tortilla
Kenneth dan Yuri mengunjungi penjara tempat Blake menjalani hukuman. Setelah melalui pemeriksaan dan dinyatakan 'bersih', keduanya diperbolehkan memasuki ruang kunjungan. Setelah beberapa menit menunggu, muncullah sesosok pria berbadan kira-kira setinggi Kenneth, dengan lengan berotot. Kenneth memberikan tatapan ambigu padanya. Pria itu lalu duduk berhadapan dengan Kenneth dan Yuri, di balik kaca transparan yang menjadi pemisah antara narapidana dengan pengunjung. Pria itu adalah Blake. Yuri mengangkat gagang telepon. Kemudian Blake pun melakukan hal yang sama, dengan kedua siku bertumpu pada meja. Ketiga orang di tempat itu berhadapan dengan wajah tanpa ekspresi. "Bagaimana keadaanmu?" Yuri membuka dialog. "Kupikir kau ke sini bukan untuk menanyakan keadaanku." "Ya ..., kau benar. Dan sejujurnya aku juga tidak begitu peduli." "Dan aku juga tak butuh itu. Lalu siapa orang ini?" "Dia Kenneth, rekanku di divisi yang berbeda," han
Karina baru saja pulang dari Rhein's. Ia melemparkan ponsel dan tas selempangnya ke ranjang. Waktu terus berjalan. Ia sedikit gugup sekaligus bersemangat. Ia bergegas membersihkan dirinya dari peluh dan rasa lelah setelah bekerja. Ia harus tampil sempurna. Saat ini dengan mengenakan kimono mandi, Karina sedang berdiri menghadap ke lemari pakaiannya. Matanya menelisik ke setiap tumpukan dan deretan pakaian yang tergantung dalam lemarinya. Ia mendesah, tak tahu harus memakai apa untuk kencan pertamanya setelah sekian tahun. Pendengarannya menangkap suara dering ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Seseorang menelepon. Sederet angka tanpa nama tertera di layar ponsel, tetapi ia yakin mengenali nomor itu. "Halo, I* ..." "Aku baru saja memikirkannya. Aku ingin kau memakai kado yang kuberikan tahun lalu. Bisa?" singkat dan jelas, arahan yang diberikan seseorang di seberang. "Hum, baiklah." Sambungan telepon terputus. Kenapa tak terpikirkan sebelumnya? Outfit itu sepertinya ide yang
Setelah mengunci pintu kamarnya, Nicky perlahan membuka pintu kamar Aaron sedikti. Melongok ke dalam kamar itu, memastikan penghuninya sudah tidur. Pelan-pelan Nicky menutup kembali pintu kamar itu. Akhirnya ia bisa keluar dari rumah dengan tenang. YES! Ini Jum'at malam, weekend telah datang, waktunya bersenang-senang. Malam belum begitu larut, masih ada dua jam sebelum tengah malam tiba. Nicky berjalan meninggalkan rumahnya dengan mengenakan hoodie berwarna hitam dengan kombinasi oranye. Wajahnya tersembunyi di balik tudung. Ia berjalan sambil menopang lengan kirinya yang masih terasa nyeri. Di ujung blok ia berhenti. Di sana sebuah Wrangler Jeep telah menunggu. Shawn berada di belakang kemudi, Charlie di sampingnya, dan Kevin di bangku belakang. Nicky masuk ke dalam dan duduk di sebelah Kevin. Shawn melajukan mobil yang dikendarainya. St. Angelo di malam hari masih ramai. Di malam hari St. Angelo menampakkan sisi lain wajahnya—penuh warna d
Kevin dan Shawn melanjutkan bahasan tentang penculikan Sharon. Kevin duduk di belakang kemudi.“Kau ingat Jum’at sore ketika Caleb dan Lynn mem-bully Nick?” Kevin memutar ulang kejadian pem-bully-an di depan sekolah.“Ya.” Shawn merespons datar. “Malam harinya, Nick membawa kabur Fair Lady.”“Tepat. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Hari Minggu setelah itu, Kenneth menemuiku dengan membawa ponsel Caleb. Dia memintaku meretas e-mail Sharon, menukar identitas pemilik ponsel Caleb dengan identitas Kenneth, dan memasang pelacak pada ponsel Nick. Aku yakin dia ada di balik penculikan Sharon. Kenneth ingin membalas mereka.”“Gosip beredar Kenneth yang menyerang Caleb dan Lynn. Aku tidak akan terkejut, kita tahu dia orang seperti apa.”“Benar. Hei, tapi tidakkah menurutmu aneh? Kenneth cukup sering melakukan kejahatan, tapi dia masih saja bebas berkeliaran. Dan menurutmu apa alasan Kenneth memasang pelacak di ponsel Nick? Apa dia ....”Shawn diam menunggu asumsi Kevin.“Penguntit? Bersikap
Hari terakhir di sekolah sebelum liburan musim panas adalah hari di mana para penghuni sekolah disibukkan dengan urusan administratif dan tak banyak kegiatan di dalam kelas. Sebagaimana kebiasaan mereka, kawanan Shawn menghabiskan waktu di tempat teduh di pinggiran lapangan baseball. Dan seperti biasa Shawn akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk tidur, tanpa peduli di mana pun berada, termasuk saat ini. Mengingat ia harus bekerja sampingan di bengkel Dong-woo atau menjadi pengemudi taksi online di malam hari, pasti melelahkan. Selagi Nick dan Kevin mengobrol ke sana kemari, mengabaikan Charlie yang sibuk sendiri dengan ponselnya, datanglah pasangan Sam-Irina.“Apa kau sudah mendapatkan teman Hispanic?” Irina memancing topik baru seraya duduk dan bergabung.“Belum,” jawab yang lain bersahutan.“Aku punya beberapa teman Hispanic.”Sam menyusul duduk di samping Irina.“Apa dia hot?” selorohnya.“Sam!” Irina mendengus mendengar pertanyaan tak penting Sam.“Ayolah, kau tak harus marah.
Nicky tertegun menyaksikan perkelahian di lapangan baseball, yang melibatkan dua orang siswi yang sejak awal semester ini terlihat dekat. Si pinky dan si brunette saling menjambak rambut. Caleb dan anak-anak tim baseball mencoba melerai perkelahian itu. Tak ingin terlibat, Nicky dan kawan-kawan berandalnya memilih menikmati adegan itu dari pinggir lapangan. Sementara itu Charlie tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam adegan itu menggunakan ponselnya. “Tidakkah menunutmu aneh, Sam?” selidik Irina, tatapannya masih tertuju pada adegan perkelahian. “Tidak. Memangnya kau lupa anak-anak seperti mereka selalu bermuka dua? Di satu waktu mereka akan terlihat sebagai seseorang yang selalu berpihak padamu dan mendukungmu. Tapi saat kau memalingkan punggungmu pada mereka, saat itu mereka akan bersiap menusukmu dari belakang,” jawab Sam santai. Tak lama kemudian, datanglah para guru pria melerai perkelahian itu. Sempat terlihat adanya perdebatan di antara guru-guru itu dengan para
Fair Lady Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota St. Anglo yang mulai lengang menuju West Coast tanpa ada mobil patroli yang mengejar. Mendekati perbatasan dengan West Coast, Nicky terlihat gamang. "Apa akan aman melintasi perbatasan seperti ini?" "Turunkan saja sedikit hingga di bawah 80 km/jam. Akan kuberitahu saat kau mendekati speed trap1." Setelah berhasil membawa mobil yang ia kemudikan melintasi speed trap tanpa gangguan, Nicky pun kembali meningkatkan akselerasi mesinnya. Dalam dua detik, mobil itu telah mencapai kecepatan 150 km/jam. Tak lama kemudian Fair Lady bertemu dengan area yang jalanannya berkelok dan dipenuhi semak di kiri dan kanan. Ia telah sampai di perbatasan. Mobil itu pun kemudian memulai aksinya meliuk mengikuti alur jalan yang menghubungkan kedua county. Malam sudah sangat larut. Rasi Bintang Pari mendekati posisi tegak lurus dari horizon ketika Fair Lady menepi di salah satu surfing spot di Palmline Beach. Tempat ini sedikit jauh dari tempat diadak
Sambil menahan surfboard Nicky, Pandangan Kenneth tak lepas dari setiap interaksi yang terjadi antara si bocah pirang dengan teman-temannya. Ia saat ini berdiri bersebelahan dengan Aaron dan Shoujin, sedikit jauh dari tempat teman-teman Nicky berkumpul. Wajah bocah tomboi itu tak henti mengumbar senyum dan tawa riang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kenneth, Aaron, dan Shoujin, kawanan Shawn dan pasangan Sam-Irina datang untuk memberikan dukungan pada Nicky dalam penyisihan kompetisi surfing hari ini. Satu per satu, mereka beradu kepalan tangan dengan Nicky. Teman-teman sekolah Nicky juga tak henti memuji aksi bocah itu di atas ombak. Bahkan Charlie merekam aksi si pirang. Sepintas Kenneth menoleh pada Shoujin. Pemuda pelit ekspresi itu bahkan terlihat tersenyum, meski tipis tetap terlihat. Begitu besarkah pengaruh Nicky pada laki-laki gunung es itu? Setelah melambaikan tangan pada teman-temannya yang beranjak meningg
Nicky sedang membereskan peralatan makan kotor bekas sarapan semua penghuni rumah. "Dulu Aaron melarangku selalu menumpang pada Shoujin. Katanya aku tidak boleh bergantung pada orang lain. Tapi lihat yang dilakukannya sekarang." Protes itu Nicky ajukan karena melilhat kebiasaan Freak Brother #2 berangkat selalu dijemput oleh Zac. "Kenapa tidak kaukatakan saja padanya?" sahut Kenneth yang sedang mengutak atik ponsel B sambil duduk menghadap meja makan. "Tentu saja akan kukatakan kalau aku sudah punya waktu bicara padanya. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali ketika sedang sarapan. Apa perlu aku membahasnya ketika sarapan? Tidak. Itu bisa merusak mood-ku." "Baiklah. Lalu apa saja yang akan kaulakan hari ini?" "Mulai hari ini aku bekerja paruh waktu di Rhein's. Lalu nanti siang aku ke Palmline Beach. Aku hanya akan membahas dengan Emmery dan yang lain tentang persiapan untuk kontes besok." Nicky sudah selesai mencuci peralatan makan, lalu ia duduk kembali di sa
[Nick, maaf hari ini aku tidak bisa menemai latihan surfing hari ini, adikku memaksaku mengantaranya ke ulang tahun temannya. Bagaimana kalau besok?] bunyi pesan yang Nicky terima dari kontak Emmery. [F*** you. Oke. Jangan kaubatalkan lagi.], balas Nicky. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke dasbor. Ia menoleh pada Kenneth dengan bibir cemberut. "Emmery membatalkan rencana hari ini." Saat itu Nicky menyadari ada yang tak beres dengan kakaknya. Pria beruban itu tersenyum-senyum seperti sedang berhalusinasi. Namun, setelah diperhatikan lagi, sebenarnya Kenenth sedang tersenyum padanya. Anehnya, itu membuat Nicky salah tingkah. "Eer ... Kenny, apa yang terjadi padamu?" Nicky tergagap. "Kau cantik," puji Kenneth masih dengan mempertahankan senyum. "Ah, sial." Buru-buru Nicky menarik selembar tisu dari kotak tisu di dasbor. "Pasti karena ini. Karina sialan. Dan gara-gara kau datang tanpa aba-aba, aku jadi terburu-buru dan
Dari rumah Sarah, Kenneth mengebut menuju Forklore, ke apartemennya. Ada PR yang harus ia selesaikan, yaitu berkas dari SAPD. Ia harus sudah siap ketika bertemu kembali dengan Yuri. Tak sampai dua jam Kenneth sudah selesai melahap semua informasi pada berkas itu. Beberapa menit kemudian Yuri datang. Pria berambut platinum grey dan pria berambut biru elektrik duduk berhadapan, masing-masing duduk pada kursi kerja dengan melipat kedua tangan. "Kau sudah mempelajari berkas dari SAPD?" buka Yuri. Pria bernama sandi 'Blue' itu menggaruk pipinya. "Sudah," jawab Kenneth datar dan tegas. "Bagus. Sekarang aku ingin mendengar lebih detail tentang pesta di Morsey." Kenneth mulai memaparkan, "Di Morsey aku bertemu dengan Emilia, dia adalah orang kepercayaan bos Underzone. Emilia tidak menyebutkan nama bosnya, tapi besar kemungkinan itu adalah Mario Cortez. Si bos tidak ada di pesta saat itu, dia sedang berlibur dengan wanita lain. Emilia juga tidak menyebutkan di mana bosnya berada. Dan ada s
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan