Sore itu, tak seperti biasanya, sepulang sekolah Nicky mendatangi Shoujin di Rhein’s, sesuai permintaan Shoujin. Di counter, di sebuah kursi yang bersebelahan dengan sebuah meja, Nicky menunggu temannya, yang menurutnya sudah seperti kakak baginya. Dengan seenaknya ia mengklaim orang sebagai kakaknya.
"Tunggulah sebentar! Ada pesanan yang harus kuselesaikan dulu."
"Oke, tidak masalah."
Selang sepuluh menit setelah Shoujin kembali ke dapur, seorang karyawan Shoujin datang membawa nampan dengan segelas es teh lengkap dengan sedotan. Mengalihkan perhatian Nicky yang sedang tertunduk fokus pada permainan di ponselnya.
"Silahkan tehnya, Nick."
"Terima kasih, Karina," jawab Nicky dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperlebar luka di bibirnya. Lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Nick, boleh aku duduk di situ?" tunjuk wanita berambut merah menyala dan berkacamata pada sebuah kursi kosong di sisi lain meja.
Nicky mendongak sebentar, melihat wanita cantik yang memanggil namanya, menoleh pada kursi yang ditunjuk wanita itu, lalu mengangguk.
"Ya ampun, Nick. Bibirmu kenapa?" Karina terkejut melihat bibir Nicky yang lukanya belum benar-benar sembuh. Diangkatnya dagu si pirang untuk melihat lebih jelas luka itu. "Dan ini pelipismu kenapa dijahit?"
"Tidak apa-apa, habis berkelahi." Nicky merapikan kembali poninya.
"Kau suka berkelahi, ya?"
"Tidak. Waktu itu terpaksa."
"Ini perbuatan Shoujin?"
Nicky mengernyitkan dahi. "Bukan. Malah dia yang menolongku."
"Benarkah?" tampak raut kekhawatiran di wajah Karina.
"Hum."
"Apa ini sakit?"
"Sedikit. Jadi, ada apa?"
Karina duduk di kursi yang tadi ditunjuknya, sambil memeluk nampan yang ia gunakan untuk menyuguhkan teh. "Aku ingin bertanya sesuatu." Kini wajah Karina terlihat serius.
"Ya."
"Bagaimana bisa kau berteman dengan Shoujin? Dia itu 'kan semacam umm ..." Kepalanya menoleh ke arah pintu menuju dapur, lalu kembali melihat Nicky, “... anti sosial.”
"Benarkah dia seperti itu?"
“Uhum. Enam tahun aku mengenal Shoujin, aku tidak pernah melihat dia punya teman, baik laki-laki maupun perempuan. Hubungan Shoujin denganku, Satoru, dan Jamal hanyalah sebatas bos dan karyawan. Meskipun sebenarnya, aku ingin kami semua bisa berteman. Dan dia selalu bersikap seenaknya sendiri, tak peduli pada apa pun selain dirinya sendiri. Dia juga tak peduli jika perbuatannya bisa saja melukai orang lain."
"Benarkah?"
"Dia benar" Satoru menimpali, menghentikan pekerjaannya menata roti-roti yang masih hangat di atas rak kaca, lalu bergabung dalam obrolan Karina dengan Nicky. "Kami sudah lama mengenalnya. Tampang datarnya itu kadang membuatku mual. Belum lagi sikapnya yang cenderung mengintimidasi. Entahlah, kadang baru melihatnya saja, tanpa dia mengucapkan sepatah kata pun, rasanya seperti umm ... bertemu Medusa. Ya ... begitulah.”
"Satoru, jangan bicara tidak-tidak!" Karina memperingatkan.
"Memang itu benar. Kau selalu membelanya. Kau suka padanya, ya?"
"Bicara apa kau, Satoru ...?!" wajah Karina memerah, kesal. "Lebih baik kau selesaikan pekerjaanmu!"
"Baiklah," gerutu Satoru sambil berjalan ke arah belakang toko.
Karina kemudian kembali berbicara pada Nicky, "Tapi sejak dia mengenalmu, dia jadi bisa sedikit tersenyum."
"Sedikit?" Sebelah mata Nicky menyipit.
"Ya, hanya sedikit. Dan sikapnya sedikit melunak."
"Aneh. Setahuku dia bisa tertawa bahkan sampai terbahak-bahak. Dan dia tidak pernah bersikap kasar padaku."
"Umh ... benarkah? Kauapakan dia?" Karina membetulkan letak kaca matanya.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya berteman seperti aku berteman dengan teman-temanku yang lain."
"Dan apa kau tahu? Sebelumnya Shoujin hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Dia lebih suka tidur di sini saat malam. Tapi sekarang dia rela pulang-pergi setiap hari. Demi kau."
"Benarkah?" Nicky melihat serius pada Karina, mencari sedikit kebohongan dari ucapan Karina, tetapi ia tak menemukannya.
"Uhum. Tapi bagaimana pun aku senang. Kami jadi merasa lebih nyaman bekerja kalau dia seperti itu. Nicky, teruslah berteman dengannya. Mungkin nanti dia benar-benar bisa tertawa seperti yang kau katakan."
"Tentu saja." Nicky mempertemukan ujung ibu jari dengan telunjukkan, menyimbolkan 'OK'.
“Tapi, kau tetap harus berhati-hati. Aku khawatir dia akan menyakitimu.”
“Tenang saja!"
Terdengar suara lonceng berdenting, menarik atensi Karina.
"Selamat datang," sambut Karina seraya bangkit dari duduknya, pada seorang pelanggan yang baru saja memasuki toko. Si rambut merah berjalan ke arah Nicky. "Kucing manis ... kesayangan Shoujin." Karina gemas dan mencubit pipi Nicky.
"Awh ... sakit." Nicky mengelus pipinya. "Sakit, Karina." keluhnya sambil dongkol dalam hati, "Kucing manis, huh ... kesayangan Shoujin? Mabok soda kue, sepertinya." Nicky menggerutu.
Sudah lama Karina ingin mencubit pipi si rambut pirang. Dan sore itu keinginannya terkabul.
"Nick, sedang apa di sini?" pelanggan itu ternyata adalah Sharon. Matanya tertuju pada segelas es teh di meja di samping Nicky.
"Kenapa? Aku 'kan juga pelanggan di sini."
Sharon mengambil nampan lalu mulai memilih pastry. "Bukan itu maksudku. Kau terlihat seperti tamu saja."
"Ya …," Nicky tersenyum miring, "... aku pelanggan istimewa, asal kau tahu itu."
"Benarkah? Setahuku kau ke sini hanya untuk membeli baguette."
"Aku tidak harus melaporkan belanjaanku padamu."
Bibir Sharon mencebik dengan lirikan meremehkan pada orang yang baru saja diputuskannya sebagai teman.
"Nick, aku sudah selesai. Kita berangkat sekarang."
Mendengar suara itu, Sharon menoleh ke arah pemiliknya. Bukannya apa, ia hanya baru tahu jika ternyata Nicky berteman dengan seseorang yang bekerja di toko roti itu.
Gawat! Keberadaan Shoujin sudah diketahui oleh Sharon. Haruskah Nicky menyatakan perang dengan Sharon? Apa Nicky mulai menyimpan perasaan tertentu pada Shoujin, seperti ... suka? Tidak, tentu saja tidak. Lalu sikapnya itu apa hanya karena persaingan dalam hal popularitas? Mungkin saja.
Sharon menyeringai pada Nicky. Seringai penuh kemenangan. Shoujin yang mendapati Sharon dengan seringaian anehnya, melemparkan tatapan dingin menusuk pada gadis itu. Namun, bukannya mengkeret, gadis itu malah tersenyum pada Shoujin. Jelek, itulah yang terlihat di mata Shoujin.
_______
Nicky terus berjalan mengekori Shoujin sejak dari lower ground hingga ke lantai 5 mall di mana mereka akan menonton film. Berkali-kali ia mendengus kesal melihat Shoujin terus menjadi objek rasa penasaran para kaum hawa. Ini baru menjadi temannya, bagaimana nanti jika menjadi pacarnya? Tidak! Tidak! Mana mau Nicky berpacaran dengan Shoujin yang ..., apa ya ...? Apa kekurangan orang itu selain angkuh? Ansos seperti yang Karina katakan?Ah, sudahlah!
"Jangan hanya berjalan di belakangku, Nicky!" tiba-tiba Shoujin menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Nicky.
"Ap ... eesh ..." Nicky mengerang kesakitan ketika merasakan sakit di pelipisnya. Ia menabrak dada Shoujin. "Kenapa tiba-tiba berhenti?"
"Ayo." Tanpa menunggu jawaban Nicky, Shoujin menarik pergelangan tangan Nicky.
"Lepas!" berontak Nicky, tetapi Shoujin malah semakin mengeratkan genggamannya. "Aku tidak suka seperti ini. Mereka terus melihatmu."
"Siapa?"
"Kau tahu yang kumaksud."
"Harusnya aku yang merasa terganggu, tapi kenapa malah kau yang keberatan?"
Nicky berdecak kesal.
"Abaikan saja!"
"Lepaskan tanganku! Aku bukan pacarmu!"
"Memang, tapi kau sepupuku."
"Sepupu palsu."
Shoujin tertawa hambar.
Sejak dari situ Shoujin terus menggenggam erat tangan Nicky hingga mereka sampai di pintu masuk lobi teater. Dan shoujin melepas tangan itu tak lain untuk bisa merangkul pundak kucing manis kesayangannya. Nicky pun tak menolak, ia hanya tak ingin ribut saja.
Sesampainya di dalam lobi teater, Shoujin dan Nicky segera membeli tiket. Dua tiket sudah di tangan. Lalu mereka berjalan ke arah sebuah poster film yang terpajang di dinding lobi, di antara poster-poster yang lain.
"Sepertinya filmnya bagus." Perhatian Nicy tertuju pada sebuah poster yang didominasi warna biru denga figur seorang pria memegang sebuah senjata futuristik.
"Aku sudah melihat trailernya, sepertinya bagus."
"Shou, aku mau ke toilet dulu. Kau tunggu saja di sini!" Nicky berjalan menjauh.
"Aku ikut." Shoujin melangkah cepat mengejar kucingnya.
"Apa-apaan kau ini?"
"Waktu itu kau kutinggalkan sebentar dan saat aku kembali kau sedang berkelahi."
"Sudahlah!" Nicky mengabaikan Shoujin.
Namun, Shoujin tetap mengikuti.
"Apa kau akan mengikuti sampai ke bilik toilet wanita?"
"Bodoh."
Nicky mendengus kesal.
Nicky telah masuk ke dalam toilet wanita, sedangkan Shoujin menunggu di luar. Berdiri, menyandarkan punggungnya pada dinding koridor di depan toilet.
Saat sedang menikmati keterdiamannya, tiba-tiba Shoujin merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang. Brunette yang entah siapa namanya. Nicky saja tak sudi mengingat namanya, apalagi Shoujin.
"Hai, sepupunya Nick. Oh, maaf, kau punya nama, kalau tidak salah ... Shoujin? Apa aku benar?" sapa si brunette sok seksi.
"Hmm ... apa maumu?"
"Mauku? Ah, tidak. Aku hanya ingin menyapa sepupu dari temanku, itu saja. Apa kau sedang menunggu seseorang?" Dengan lancang perempuan itu menggenggam lengan Shoujin.
"Aku menunggu Nicky," jawab Shoujin datar dan abai pada gadis yang berusaha menggodanya.
"Ayolah, Shoujin, kau kaku sekali. Apa kau tidak ingin mengobrol sebentar selagi menunggu sepupumu?"
"Sebaiknya kau menjauh dariku. Aku tidak mau dekat-dekat dengan orang yang tidak kuinginkan."
"Apa kau baru saja mengatakan bahwa kau tidak menginginkanku? Belum, Shoujin, belum. Aku tahu suatu saat kau akan berubah pikiran."
Kesal dengan wanita yang mengganggu, Shoujin dengan keras mendorong lengannya yang dipegangi oleh si brunette, hingga gadis itu terpelanting dan nyaris membentur dinding kalau saja seseorang tak menangkapnya.
Beberapa orang yang lewat di koridor yang tak seberapa ramai itu cukup terkejut dengan kejadian di depan mata mereka.
"Apa yang kau lakukan?!" Seorang gadis pink yang menolong brunette membentak Shoujin.
"Jadi kau temannya?" Shoujin ingat dengan pinky yang ia lihat di tokonya tadi sore. "Bukan urusanmu."
"Aku tidak menyangka, ternyata kau ..."
"Shou, hentikan!" Nicky berlari tergopoh menghampiri Shoujin, lalu menatap tajam pada Sharon dan brunette.
"Sekarang kalian sudah tahu. Jadi lebih baik kalian menjauh!" ancam Shoujin.
"Shou, sudah! Ayo pergi!" Nicky menarik lengan Shoujin dan berjalan menjauh dari koridor.
Orang-orang masih menatap pada Shoujin yang menjauh dan si brunette yang tampak sangat terkejut. Pun mereka tak berbuat apa-apa kecuali berbisik.
.
.
"Ada apa denganmu, Shou?!" Nicky menginterogasi Shoujin di koridor, di depan salah satu pintu masuk teater.
Keduanya berdiri berhadapan, menyandarkan sebelah pundak masing-masing pada dinding koridor.
"Aku tidak suka dengan temanmu itu."
"Kenapa?"
"Mengganggu."
"Memangnya apa yang dia lakukan? Memperkosamu, huh?!" lagi-lagi mulut Nicky pedasnya kelewat batas.
Shoujin hanya diam, mengarahkan pandangannya entah ke mana. Di balik keangkuhannya, ia tak sanggup menatap mata Nicky untuk sekedar mengatakan satu kebenaran tersembunyi tentang dirinya.
"Shou, jawab!"
"Bodoh."
Nicky mendengus kesal. "Shou, mereka perempuan. Lemah. Tak seharusnya kau bersikap kasar pada mereka. Jangan jadi pengecut dengan menyakiti perempuan!"
PENGECUT? Shoujin tertohok oleh kata yang terlontar dari mulut Nicky. Seburuk itukah dirinya?
"Kau perempuan, tapi kau tidak lemah. Kau ..."
"Berbeda? Ya, kau benar."
"Dan karena itulah aku ..."
Tak kunjung mendengar kelanjutan kalimat Shoujin, Nicky pun mendesak, "Apa? Lanjutkan!"
"Menyukaimu."
"Ch ... omong kosong," cibir Nicky. "Baru kutinggalkan sebentar dan kau sudah hampir melukai seorang perempuan."
"Sekarang kita punya alasan untuk terus dekat satu sama lain. Benar 'kan?"
Nicky memutar bola matanya malas.
Tak ingin melanjutkan perdebatan, keduanya pun terdiam. Menyandarkan punggung mereka pada dinding koridor. Membisu dengan pemikiran masing-masing. Nicky kembali teringat pada perkataan Karina, ia ingin menyangkal bahwa Shoujin adalah seorang anti sosial. Namun apa yang baru saja ia lihat, seolah membenarkan perkataan Karina. Sedangkan Shoujin merutuki nasibnya yang dikatakan 'pengecut' oleh gadis yang telah mencuri hatinya. Dan ia menyesali dirinya yang mengungkapkan perasaannya dengan cara yang sangat buruk dan dianggap omong kosong. Seharusnya tak seperti itu.
Getar ponsel membuyarkan lamuanan Nicky. Nicky mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya.
"Ya, Kenny. Ada apa?"
"..."
"Ya baiklah, kalau belum tutup."
"..."
"Baiklah."
"..."
"S**t the f*** up!" pungkas Nicky lalu memasukkan ponsel ke saku hoodienya.
"Perempuan satu ini, mulutnya seperti tempat sampah. Kakak sendiri disumpah serapahi." Shoujin menoleh ke arah Nicky, memandangi wajah Nicky, tetapi tak mendapat respon dari sang objek.
"Kau sudah tahu aku berbeda, seharusnya kau tak terkejut. Dan kau suka 'kan?"
"Kau sendiri yang bilang itu omong kosong. Tapi memang benar, aku suka sesuatu yang berbeda."
"Menyebalkan!"
"Ada apa Kenneth menelepon? Menyuruhmu pulang?"
"Mana berani?! Yang ada malah aku akan kabur. Dia minta dibelikan baguette. Rhein's tutup jam berapa?"
"Jam sepuluh. Tapi jangan khawatir! Aku pegang kuncinya."
"Baguslah."
"Kenapa kau mengabaikanku?"
"Huh?"
"Selama kau tidak masuk sekolah kau tidak mengangkat teleponku, tidak juga membalas pesanku."
Shoujin tak tahu bahwa bukan hanya dirinya saja yang diabaikan oleh Nicky waktu itu, tetapi juga Kevin, Shawn, dan Charlie
"Aku hanya ingin benar-benar menikmati liburanku. Itu saja." Nicky mengalihkan pandangannya pada Shoujin.
"Kau membuatku khawatir."
"Kau berlebihan. Hei, jangan melihatku seperti itu! Itu sangat mengganggu."
Shoujin hanya tersenyum kecil. Ia senang ternyata Nicky menyadarinya. Namun, ia tetap saja menatap intens pada Nicky, nyaris tanpa berkedip. Sepertinya ia takut, sekali kedip saja si tomboi kucing manis akan lenyap entah ke mana.
"Apa kakakmu memarahimu karena kejadian itu?"
"Tidak. Aku berbohong mendapat kecelakaan."
"Mereka percaya?
"Entahlah." Nicky mengedikkan kepala. "Yang penting Aaron tidak mengomeliku."
_______
Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya. Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye. Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target. Target Kenneth tersungkur. Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutu
"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan. "Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel. "Kau serius mengikuti kompetisi itu?" "Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?" "Eer ... menyerahkan desain saja." "Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah. "Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Kevin dan Shawn melanjutkan bahasan tentang penculikan Sharon. Kevin duduk di belakang kemudi.“Kau ingat Jum’at sore ketika Caleb dan Lynn mem-bully Nick?” Kevin memutar ulang kejadian pem-bully-an di depan sekolah.“Ya.” Shawn merespons datar. “Malam harinya, Nick membawa kabur Fair Lady.”“Tepat. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Hari Minggu setelah itu, Kenneth menemuiku dengan membawa ponsel Caleb. Dia memintaku meretas e-mail Sharon, menukar identitas pemilik ponsel Caleb dengan identitas Kenneth, dan memasang pelacak pada ponsel Nick. Aku yakin dia ada di balik penculikan Sharon. Kenneth ingin membalas mereka.”“Gosip beredar Kenneth yang menyerang Caleb dan Lynn. Aku tidak akan terkejut, kita tahu dia orang seperti apa.”“Benar. Hei, tapi tidakkah menurutmu aneh? Kenneth cukup sering melakukan kejahatan, tapi dia masih saja bebas berkeliaran. Dan menurutmu apa alasan Kenneth memasang pelacak di ponsel Nick? Apa dia ....”Shawn diam menunggu asumsi Kevin.“Penguntit? Bersikap
Hari terakhir di sekolah sebelum liburan musim panas adalah hari di mana para penghuni sekolah disibukkan dengan urusan administratif dan tak banyak kegiatan di dalam kelas. Sebagaimana kebiasaan mereka, kawanan Shawn menghabiskan waktu di tempat teduh di pinggiran lapangan baseball. Dan seperti biasa Shawn akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk tidur, tanpa peduli di mana pun berada, termasuk saat ini. Mengingat ia harus bekerja sampingan di bengkel Dong-woo atau menjadi pengemudi taksi online di malam hari, pasti melelahkan. Selagi Nick dan Kevin mengobrol ke sana kemari, mengabaikan Charlie yang sibuk sendiri dengan ponselnya, datanglah pasangan Sam-Irina.“Apa kau sudah mendapatkan teman Hispanic?” Irina memancing topik baru seraya duduk dan bergabung.“Belum,” jawab yang lain bersahutan.“Aku punya beberapa teman Hispanic.”Sam menyusul duduk di samping Irina.“Apa dia hot?” selorohnya.“Sam!” Irina mendengus mendengar pertanyaan tak penting Sam.“Ayolah, kau tak harus marah.
Nicky tertegun menyaksikan perkelahian di lapangan baseball, yang melibatkan dua orang siswi yang sejak awal semester ini terlihat dekat. Si pinky dan si brunette saling menjambak rambut. Caleb dan anak-anak tim baseball mencoba melerai perkelahian itu. Tak ingin terlibat, Nicky dan kawan-kawan berandalnya memilih menikmati adegan itu dari pinggir lapangan. Sementara itu Charlie tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam adegan itu menggunakan ponselnya. “Tidakkah menunutmu aneh, Sam?” selidik Irina, tatapannya masih tertuju pada adegan perkelahian. “Tidak. Memangnya kau lupa anak-anak seperti mereka selalu bermuka dua? Di satu waktu mereka akan terlihat sebagai seseorang yang selalu berpihak padamu dan mendukungmu. Tapi saat kau memalingkan punggungmu pada mereka, saat itu mereka akan bersiap menusukmu dari belakang,” jawab Sam santai. Tak lama kemudian, datanglah para guru pria melerai perkelahian itu. Sempat terlihat adanya perdebatan di antara guru-guru itu dengan para
Fair Lady Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota St. Anglo yang mulai lengang menuju West Coast tanpa ada mobil patroli yang mengejar. Mendekati perbatasan dengan West Coast, Nicky terlihat gamang. "Apa akan aman melintasi perbatasan seperti ini?" "Turunkan saja sedikit hingga di bawah 80 km/jam. Akan kuberitahu saat kau mendekati speed trap1." Setelah berhasil membawa mobil yang ia kemudikan melintasi speed trap tanpa gangguan, Nicky pun kembali meningkatkan akselerasi mesinnya. Dalam dua detik, mobil itu telah mencapai kecepatan 150 km/jam. Tak lama kemudian Fair Lady bertemu dengan area yang jalanannya berkelok dan dipenuhi semak di kiri dan kanan. Ia telah sampai di perbatasan. Mobil itu pun kemudian memulai aksinya meliuk mengikuti alur jalan yang menghubungkan kedua county. Malam sudah sangat larut. Rasi Bintang Pari mendekati posisi tegak lurus dari horizon ketika Fair Lady menepi di salah satu surfing spot di Palmline Beach. Tempat ini sedikit jauh dari tempat diadak
Sambil menahan surfboard Nicky, Pandangan Kenneth tak lepas dari setiap interaksi yang terjadi antara si bocah pirang dengan teman-temannya. Ia saat ini berdiri bersebelahan dengan Aaron dan Shoujin, sedikit jauh dari tempat teman-teman Nicky berkumpul. Wajah bocah tomboi itu tak henti mengumbar senyum dan tawa riang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kenneth, Aaron, dan Shoujin, kawanan Shawn dan pasangan Sam-Irina datang untuk memberikan dukungan pada Nicky dalam penyisihan kompetisi surfing hari ini. Satu per satu, mereka beradu kepalan tangan dengan Nicky. Teman-teman sekolah Nicky juga tak henti memuji aksi bocah itu di atas ombak. Bahkan Charlie merekam aksi si pirang. Sepintas Kenneth menoleh pada Shoujin. Pemuda pelit ekspresi itu bahkan terlihat tersenyum, meski tipis tetap terlihat. Begitu besarkah pengaruh Nicky pada laki-laki gunung es itu? Setelah melambaikan tangan pada teman-temannya yang beranjak meningg
Nicky sedang membereskan peralatan makan kotor bekas sarapan semua penghuni rumah. "Dulu Aaron melarangku selalu menumpang pada Shoujin. Katanya aku tidak boleh bergantung pada orang lain. Tapi lihat yang dilakukannya sekarang." Protes itu Nicky ajukan karena melilhat kebiasaan Freak Brother #2 berangkat selalu dijemput oleh Zac. "Kenapa tidak kaukatakan saja padanya?" sahut Kenneth yang sedang mengutak atik ponsel B sambil duduk menghadap meja makan. "Tentu saja akan kukatakan kalau aku sudah punya waktu bicara padanya. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali ketika sedang sarapan. Apa perlu aku membahasnya ketika sarapan? Tidak. Itu bisa merusak mood-ku." "Baiklah. Lalu apa saja yang akan kaulakan hari ini?" "Mulai hari ini aku bekerja paruh waktu di Rhein's. Lalu nanti siang aku ke Palmline Beach. Aku hanya akan membahas dengan Emmery dan yang lain tentang persiapan untuk kontes besok." Nicky sudah selesai mencuci peralatan makan, lalu ia duduk kembali di sa
[Nick, maaf hari ini aku tidak bisa menemai latihan surfing hari ini, adikku memaksaku mengantaranya ke ulang tahun temannya. Bagaimana kalau besok?] bunyi pesan yang Nicky terima dari kontak Emmery. [F*** you. Oke. Jangan kaubatalkan lagi.], balas Nicky. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke dasbor. Ia menoleh pada Kenneth dengan bibir cemberut. "Emmery membatalkan rencana hari ini." Saat itu Nicky menyadari ada yang tak beres dengan kakaknya. Pria beruban itu tersenyum-senyum seperti sedang berhalusinasi. Namun, setelah diperhatikan lagi, sebenarnya Kenenth sedang tersenyum padanya. Anehnya, itu membuat Nicky salah tingkah. "Eer ... Kenny, apa yang terjadi padamu?" Nicky tergagap. "Kau cantik," puji Kenneth masih dengan mempertahankan senyum. "Ah, sial." Buru-buru Nicky menarik selembar tisu dari kotak tisu di dasbor. "Pasti karena ini. Karina sialan. Dan gara-gara kau datang tanpa aba-aba, aku jadi terburu-buru dan
Dari rumah Sarah, Kenneth mengebut menuju Forklore, ke apartemennya. Ada PR yang harus ia selesaikan, yaitu berkas dari SAPD. Ia harus sudah siap ketika bertemu kembali dengan Yuri. Tak sampai dua jam Kenneth sudah selesai melahap semua informasi pada berkas itu. Beberapa menit kemudian Yuri datang. Pria berambut platinum grey dan pria berambut biru elektrik duduk berhadapan, masing-masing duduk pada kursi kerja dengan melipat kedua tangan. "Kau sudah mempelajari berkas dari SAPD?" buka Yuri. Pria bernama sandi 'Blue' itu menggaruk pipinya. "Sudah," jawab Kenneth datar dan tegas. "Bagus. Sekarang aku ingin mendengar lebih detail tentang pesta di Morsey." Kenneth mulai memaparkan, "Di Morsey aku bertemu dengan Emilia, dia adalah orang kepercayaan bos Underzone. Emilia tidak menyebutkan nama bosnya, tapi besar kemungkinan itu adalah Mario Cortez. Si bos tidak ada di pesta saat itu, dia sedang berlibur dengan wanita lain. Emilia juga tidak menyebutkan di mana bosnya berada. Dan ada s
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan