Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya.
Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye.
Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target.
Target Kenneth tersungkur.
Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutut Kenneth menindih dada si target dan sebelah tangan mencengkeram pundaknya, sementara tangan yang lain menodongkan pistol. Moncong dingin pistol Kenneth menempel ke hidung laki-laki yang wajah lebamnya terlihat seusia Shawn dan teman-temannya itu.
"Jangan paksa aku membuat lubang yang lebih besar di hidungmu!" gertak Kenneth. "Ikut aku!" Kenneth menarik targetnya hingga berdiri, lalu menyeret laki-laki itu memasuki Evo.
Kenneth lalu membawa mobilnya meninggalkan parkiran di depan club.
Mobil Kenneth melaju kencang. Sambil mengemudi, dengan sebelah tangan melintang di depan wajah, Kenneth terus menodongkan pistol ke kepala target yang sudah menjadi sandera. Sebelah tangan sudah cukup bagi Kenneth untuk mengemudi.
.
.
Tak perlu waktu lama untuk Kenneth menjangkau sebuah area sepi yang hanya ditumbuhi semak-semak di sisi kiri dan kanan jalannya. Kenneth menepikan mobil.
"Keluar!"
"Apa ... kau ..." Sandera Kenneth terbata.
"Dan jangan coba lari! Kau tak akan bisa lolos, kecuali aku melepasmu." Kenneth kembali memberikan gertakan.
Sandera Kenneth berusaha bergegas keluar, tetapi ia sempat kesulitan ketika membuka pintu mobil yang sebenarnya sudah tak terkunci. Gerakannya tak kerkontrol, gusar. Setelah keluar, ia tanpa sadar membanting pintu mobil.
Kenneth menyusul keluar dan kembali menodongkan pistol seraya berjalan menghampiri sanderanya.
Sandera Kenneth mengangkat kedua tangan, isyarat tak ada perlawanan. "Jangan ... kumohon ..., jangan bunuh aku, kumohon."
Jarak antara Kenneth dan sanderanya kini hanya sepanjang lengan Kenneth, ditambah laras pistol yang mengarah ke dada target, dan sekepal tangan.
"Kau masih ingat dengan siapa kau berkelahi di Palmline Beach? Di gang itu." Kenneth menekan dengan suara rendah. Mengintimidasi dengan tatapan mata yang menyipit. Wajahnya dingin, datar, tanpa eksprasi. Ia menelisik pada setiap memar di wajah sanderanya, lalu tersenyum miring. Senyum itu sebuah hinaan.
"Uh ...." Sandera Kenneth berusaha mengingat. "Y ... ya ...," jawabnya kemudian.
"Dan kau pasti ingin tahu siapa aku."
"Ap ..." Wajar jika sandera Keneth merasa terancam saat ini. Meskipun tak tahu siapa orang yang menyanderanya, melihat ketenangan dan caranya mengemudi, ia bisa menerka bahwa pria yang menyanderanya ini bukanlah orang sembarangan, seperti sudah biasa berurusan dengan kriminal. Orang itu memegang sepucuk pistol, sedangkan ia sendiri tak bersenjata.
"Jadi kau ingin ini ..." Kenneth mengarahkan pistol ke mulut sandera. "... atau ini?" Lalu ia menggeser todongan pistolnya ke arah selangkangan si sandera.
"Tidak, kumohon." Bibir sandera Kenneth bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. "Aku berjanji tidak akan mendekatinya."
Kalau saja tak memiliki kemampuan untuk menahan ekspresinya, Kenneth sudah pasti terbahak-bahak saat ini. Wajah sanderanya itu sungguh menggelikan. "Bagus."
Lalu terdengar sebuah tembakan.
"Arrgh ...!" pekik sandera Kenneth. Ia tersungkur dan memegangi lututnya yang terbungkus celana denim yang kini berlumuran darah.
"Kali ini kau kuampuni. Ingat itu setiap kali kau mencoba mendekati pacarku!"
Kenneth masuk ke mobil dan melamparkan pistol ke dalam dasbor. Ia lalu membawa mobilnya meninggalkan berandal pelaku percobaan pelecehan seksual di Palmlline Beach itu.
_______
"Halo, guys."
"Hai, Nicky," sambut Kenneth dan Aaron di ruang santai, mereka sedang menonton televisi.
"Kau tidak lupa roti pesananku 'kan?" tanya Kenneth. Tenang, ia bersikap seolah tak terjadi apa pun anatara dirinya dengan seseorang di luar sana.
"Tenang saja! Aku bahkan membawakanmu pastry juga. Banyak." Nicky menunujukkan dua kantong plastik berlogo Rhein’s lalu meletakkannya di meja di depan mereka. "Aku mampir di Rhein's setelah nonton."
Nicky melepas jaket lalu mendudukkan dirinya di antara Kenneth dan Aaron. Kenneth menyandarkan lengannya di sandaran kursi di belakang kepala Nicky. Lalu tangannya mulai beraksi mengelus rambut Nicky. Sudah kebiasaan, kapan pun bocah pirang itu ada dalam jangkauannya, ia akan memainkan entah rambut, pipi atau jari-jari si pirang itu. Aaron memelototi Kenneth.
"Dapat uang dari mana?"
"Untuk apa membayar, kalau kau bisa dapat gratis? Aku berteman baik dengan pemilik tokonya ..."
"Wow ... benarkah? Sejak kapan?" Tiba-tiba saja Aaron menjadi antusias dengan ucapan Nicky. "Apa dia cantik? Masih lajang? Berapa usianya? Bisa kenalkan aku dengannya?" berondong Aaron.
"Aaron ...." Nicky menatap malas pada si rambut cepak. "Dia tidak cantik, dia tampan, tapi seringnya menyebalkan. Usianya dua puluhan, menurut perkiraanku, dia ..."
"Sudah, tidak perlu diteruskan, aku tidak minat," potong Aaron.
Nicky mendengus. "Dia Shoujin!"
"Benarkah? Shoujin tukang antar-jemput itu? Kalau begitu bersikap baiklah padanya, barangkali nanti dia akan memberi kita lebih banyak pastry yang lezat," ujar Kenneth.
"Ya ampun ...."
Untuk sesaat ketiganya terdiam. Nicky mengeluarkan sebuah kotak dari salah satu kantong plastik Rhein’s lalu mengambil sebongkah coffee bun. Digigitnya roti dengan filling krim kopi itu, lalu menyuapkan bongkahan di tangannya itu pada Kenneth. Sementara mata keduanya tak lepas dari televisi. Kenneth menggigit bongkahan itu dan kembali memainkan rambut Nicky.
Aaron memutar matanya malas saat melihat interaksi keduanya. Dan ia sedikit terkejut saat mendapati bongkahan roti sudah menempel di bibirnya.
"Mau, tidak?"
"Tidak, aku ambil yang lain saja," tolak Aaron sambil menyingkirkan roti dari mukanya.
“Ya sudah.” Nicky menggigit lagi rotinya, mengunyah nikmat, lalu menelannya. "Dan jangan menyebutnya tukang antar-jemput! Kalian sudah mengenalnya, 'kan?"
"Dia pelit bicara."
Nicky menoleh pada Kenneth.
"Bagaimana kau bisa berteman dengan orang aneh seperti itu?"
Nicky kemudian menoleh pada Aaron. "Bagaimana kau bisa berteman dengan orang aneh seperti Kenny?" Serangan balik Nicky tepat sasaran.
"Aku tidak aneh." Kenneth membela diri.
"Tentu saja aneh. Di usia kalian yang setua ini ..."
"Kami masih dua puluh tujuh, belum tua," tukas Aaron.
Nicky memutar malas bola matanya. "Ya ... ya ..., terserah. Kalian tidak terlihat punya hubungan serius dengan wanita mana pun. Kau, Kenny, seringkali kau pulang membawa wanita yang berbeda. Tapi hubunganmu dengan wanita tidak pernah bertahan lebih dari dua bulan. Dan itu sudah lama.
Lalu sekarang ..., sudah setahun kau tidak terlihat pulang membawa wanita. Dari yang awalnya playboy yang tidak bisa hidup tanpa wanita di sisinya, lalu tiba-tiba berubah hingga setahun. Perubahanmu mencurigakan. Lalu pekerjaanmu itu tidak jelas! Kaubilang desainer grafis, tapi bekerja untuk perusahaan mana, tidak ada yang tahu. Dan kau tidak pernah terlihat pergi bekerja. Kerjamu cuma keluyuran malam, balapan ..." cerocos Nicky tanpa henti.
"Aku freelancer, Sayang."
"Jangan memanggilku seperti itu!" Panggilan 'Sayang' terlalu sensitif di telinga Nicky.
"Pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja. Dan aku memang tidak punya hubungan apa pun dengan wanita-wanitu itu. Kecuali, ya ... hanya ... teman.”
“Teman macam apa yang selalu menempel, huh?! Teman kencan? Teman tidur? Membuat mataku iritasi setiap kali melihat kau dan mereka saling menempel. Sudah berapa banyak, Kenny?!"
"Aku tidak pernah meniduri siapa pun." Kenneth membela diri.
"Benarkah? Aku ragu."
"Apa kau pernah melihatku membiarkan mereka tidur di kamarku? Bersamaku?" Kenneth masih membela diri. Ia meladeni Nicky dengan serius kali ini.
"Bisa saja 'kan, sewaktu balapan, kau tidak langsung pulang, kau mampir ke rumah temanmu entah yang mana, lalu kau tidur dengan gadis-gadis itu di sana ..."
"Diam, kau, adik nakal!" geram Kenneth sambil memiting leher Nicky dan mengusak-usak kesal rambut pirang adiknya. "Hukuman lima puluh pull up!"
"Kenny, lepaskan!" Nicky memberontak hingga lepas dari pitingan kakaknya. "Fine, lima puluh pull up. Kau marah, itu artinya benar!"
"Tidak boleh dicicil! Terserah kalau kau tidak percaya! Kau menyebalkan!" Kenneth menoyor kepala adiknya. "Dan kau tahu? Hanya ada satu perempuan yang pernah tidur di kamarku, denganku ..." pungkas Kenny. Percuma berdebat dengan Nicky, hanya akan menyulut emosinya. Ia tak ingin image cool-nya rusak. Bibirnya menyeringai.
"Hei ...! Jelas itu tidak sama!" Nicky memelototi Kenneth, lalu merapikan poninya, "Kalau kau, Aaron, setidaknya punya pekerjaan yang jelas. Tapi kenapa juga belum punya pacar? Meskipun kau tidak setampan Kenny, tapi kau 'kan tidak jelek dan kau itu orang yang baik." Nicky menjeda sejenak untuk menggigit roti, mengunyah, lalu menelannya. "Ah ... ya, benar. Hanya orang aneh yang mau berteman dengan orang aneh." Nicky menatap pada kakak rambut cepak. Namun tatapannya itu diabaikan.
"Kau pikir kau normal? Usia tujuh belas, tapi terlihat seperti anak middle school. Perempuan tapi suka berkelahi, penampilannya seperti laki-laki. Mulutnya seperti septic tank. Pantas saja tidak ada laki-laki yang mau! Kau pikir kau tidak aneh, huh?! Dan hidupmu dikelilingi orang-orang aneh," cerca Aaron tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
"Kau juga tidak laku!" bantah Nicky.
Diam lagi. Sepertinya ketiganya pundung menyadari keanehan pada diri masing-masing. Menatap kosong pada televisi menyala yang sempat terabaikan.
Mungkin sewaktu hamil Nicky, ibunya mengidam cabe, jadilah sekarang Nicky bermulut pedas dan selalu berbuntut adu mulut dan saling ejek dengan siapa saja.
"Hei ..., Kenny, apa kau pengedar narkoba? Dan kau, Aaron, kau melindungi Kenny dengan profesimu sebagai polisi?"
"Tutup mulutmu, Nicky!" dengan kesal Aaron menyambar roti di tangan Nicky dan menyumpalkannya ke mulut cerewet itu. Membuat mulut Nicky belepotan oleh krim kopi.
"Bwuehh ...! Apa-apaan kau, Aaron? ini sakit, tahu? Masih belum sembuh!"
Secepat kilat, Kenneth mengecup sekilas bibir adik bawelnya. Ia lalu menjilat krim yang berpindah dari bibir Nicky ke bibirnya. "Masih sakit?" ia tersenyum.
“KENNY ...!!” histeris Nicky sambil menginjak kaki Kenneth sekuatnya, lalu berlari ke dapur.
"Aaawh ...." Kenneth mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya.
"Menjijikkan," sinis Aaron. “Dia itu 'kan adikmu, kau mau meracuninya, huh?”
“Bukan adik biologis. Apa masalahnya?”
“Tapi dia tidak tahu soal itu. Dia hanya tahu kau kakaknya." Aaron melirihkan suaranya, melongok ke arah dapur. “Kau suka padanya, huh? Setidaknya batalkan dulu surat adopsinya.”
"Bagaimana kencanmu?" tanya Kenneth kemudian sekembalinya Nicky dari dapur dengan mulut sudah bersih.
"Kencan apa? Hanya nonton. Itu saja, tidak lebih.” Nicky masih cemberut. "Beruntung sekali mempunyai wajah tampan. Mom..., kau jahat ...!!" Teriak Nicky frustrasi, "Kenapa kau tidak mewariskan wajah cantikmu padaku? Aku sebal dianggap anak kecil dan dibilang imut. Itu kutukan! Eesshh ..." Nicky mendesis karena luka di bibirnya kembali terbuka.
"Kau kenapa? Sulit mendapatkan pacar?” goda Kenneth.
Nicky mendesah.
"Perempuan seperti dia mana ada yang mau?" ledek Aaron.
"Kau sendiri, sudah tua tidak laku!" Nicky tak mau kalah.
“Sudahlah, Nicky. Harusnya kau senang memiliki wajah manis," hibur Kenneth, lalu menarik kepala Nicky untuk disandarkan pada pundaknya. Lalu mengusap lembut sambil sesekali mencium dan menghirup aroma rambut Nicky, aroma shampo yang sama dengan yang dipakainya.
Aaron melempar bantal sofa pada teman seprofesinya yang berada di divisi berbeda, sekaligus pemilik rumah yang ia tinggali. "Astaga ...." Lalu meninggalkan mereka dan menuju ke kamarnya di lantai dua.
"Aaron kenapa?" tanya Nicky sedikit penasaran.
"Entahlah. Tidak usah dipikirkan! Oh ya, Nicky, boleh aku menyimpan nomor ponsel Shoujin?"
"Untuk apa?"
"Mungkin suatu saat aku membutuhkanya."
.
.
Jujur saja, kakak freak Nicky itu memang tampan, membuatnya iri. Jika disandingkan dengan Shoujin, gadis mana pun akan rela membuka matanya lebar-lebar hingga kelilipan. Keduanya memiliki postur tubuh yang sama-sama jangkung dan pesona yang tak terbantahkan.
Sedangkan Nicky? Tak ada makhluk bernama laki-laki atau pejantan yang mau meliriknya. Jangankan terlihat cantik, ia bahkan tak dianggap selayaknya perempuan. Salahkan sikapnya yang tomboi dan kasar itu. Kecuali dua gelintir manusia aneh yang suka menempelinya—Kenneth dan Shoujin.
Namun, Nicky menyadari sesuatu. Kenneth cukup ramah menanggapi gadis-gadis yang mencoba mendekatinya. Ia tak pernah menolak terang-terangan, apalagi secara kasar. Paling-paling ia hanya akan memberikan harapan palsu yang berujung mengecewakan di kemudian hari. Sebaliknya, Shoujin tak sedikitpun menanggapi perempuan-perempuan itu. Jangankan sebuah tanggapan, yang ada hanya tatapan dingin menusuk ciri khasnya. Dan jangan coba berinteraksi dengan Shoujin! Kalau kau tak ingin mengalami kejadian seperti insiden brunette.
Nicky jadi teringat pada perkataan Karina. Dan mungkinkah selain anti sosial, dia juga memiliki semacam bipolar disorder? Payah, kenapa malah berpikir ke sana? Bukan tanpa alasan Nicky mengira Shoujin memiliki kelainan itu, meskipun sejujurnya itu prematur dan sedikit mengada-ada.
Nicky mencoba membuktikannya. Sejak saat itu, selama beberapa minggu, setiap kali sedang bersama Shoujin, ia memperhatikan setiap gerak-gerik dan ekspresi Shoujin. Ia membandingkan ketika Shoujin bersamanya, para karyawannya dan orang lain. Memang benar yang dikatakan Karina.
Hanya saja, semakin Nicky memperhatikan Shoujin, kadang ia merasa pernah mengenal pemuda itu. Tapi di mana? Kapan? Dan setiap kali Nicky memaksakan ingatannya, kepalanya selau terasa sakit. Akhirnya ia pun menyerah.
_______
"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan. "Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel. "Kau serius mengikuti kompetisi itu?" "Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?" "Eer ... menyerahkan desain saja." "Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah. "Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Kevin dan Shawn melanjutkan bahasan tentang penculikan Sharon. Kevin duduk di belakang kemudi.“Kau ingat Jum’at sore ketika Caleb dan Lynn mem-bully Nick?” Kevin memutar ulang kejadian pem-bully-an di depan sekolah.“Ya.” Shawn merespons datar. “Malam harinya, Nick membawa kabur Fair Lady.”“Tepat. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Hari Minggu setelah itu, Kenneth menemuiku dengan membawa ponsel Caleb. Dia memintaku meretas e-mail Sharon, menukar identitas pemilik ponsel Caleb dengan identitas Kenneth, dan memasang pelacak pada ponsel Nick. Aku yakin dia ada di balik penculikan Sharon. Kenneth ingin membalas mereka.”“Gosip beredar Kenneth yang menyerang Caleb dan Lynn. Aku tidak akan terkejut, kita tahu dia orang seperti apa.”“Benar. Hei, tapi tidakkah menurutmu aneh? Kenneth cukup sering melakukan kejahatan, tapi dia masih saja bebas berkeliaran. Dan menurutmu apa alasan Kenneth memasang pelacak di ponsel Nick? Apa dia ....”Shawn diam menunggu asumsi Kevin.“Penguntit? Bersikap
Hari terakhir di sekolah sebelum liburan musim panas adalah hari di mana para penghuni sekolah disibukkan dengan urusan administratif dan tak banyak kegiatan di dalam kelas. Sebagaimana kebiasaan mereka, kawanan Shawn menghabiskan waktu di tempat teduh di pinggiran lapangan baseball. Dan seperti biasa Shawn akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk tidur, tanpa peduli di mana pun berada, termasuk saat ini. Mengingat ia harus bekerja sampingan di bengkel Dong-woo atau menjadi pengemudi taksi online di malam hari, pasti melelahkan. Selagi Nick dan Kevin mengobrol ke sana kemari, mengabaikan Charlie yang sibuk sendiri dengan ponselnya, datanglah pasangan Sam-Irina.“Apa kau sudah mendapatkan teman Hispanic?” Irina memancing topik baru seraya duduk dan bergabung.“Belum,” jawab yang lain bersahutan.“Aku punya beberapa teman Hispanic.”Sam menyusul duduk di samping Irina.“Apa dia hot?” selorohnya.“Sam!” Irina mendengus mendengar pertanyaan tak penting Sam.“Ayolah, kau tak harus marah.
Nicky tertegun menyaksikan perkelahian di lapangan baseball, yang melibatkan dua orang siswi yang sejak awal semester ini terlihat dekat. Si pinky dan si brunette saling menjambak rambut. Caleb dan anak-anak tim baseball mencoba melerai perkelahian itu. Tak ingin terlibat, Nicky dan kawan-kawan berandalnya memilih menikmati adegan itu dari pinggir lapangan. Sementara itu Charlie tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan merekam adegan itu menggunakan ponselnya. “Tidakkah menunutmu aneh, Sam?” selidik Irina, tatapannya masih tertuju pada adegan perkelahian. “Tidak. Memangnya kau lupa anak-anak seperti mereka selalu bermuka dua? Di satu waktu mereka akan terlihat sebagai seseorang yang selalu berpihak padamu dan mendukungmu. Tapi saat kau memalingkan punggungmu pada mereka, saat itu mereka akan bersiap menusukmu dari belakang,” jawab Sam santai. Tak lama kemudian, datanglah para guru pria melerai perkelahian itu. Sempat terlihat adanya perdebatan di antara guru-guru itu dengan para
Fair Lady Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota St. Anglo yang mulai lengang menuju West Coast tanpa ada mobil patroli yang mengejar. Mendekati perbatasan dengan West Coast, Nicky terlihat gamang. "Apa akan aman melintasi perbatasan seperti ini?" "Turunkan saja sedikit hingga di bawah 80 km/jam. Akan kuberitahu saat kau mendekati speed trap1." Setelah berhasil membawa mobil yang ia kemudikan melintasi speed trap tanpa gangguan, Nicky pun kembali meningkatkan akselerasi mesinnya. Dalam dua detik, mobil itu telah mencapai kecepatan 150 km/jam. Tak lama kemudian Fair Lady bertemu dengan area yang jalanannya berkelok dan dipenuhi semak di kiri dan kanan. Ia telah sampai di perbatasan. Mobil itu pun kemudian memulai aksinya meliuk mengikuti alur jalan yang menghubungkan kedua county. Malam sudah sangat larut. Rasi Bintang Pari mendekati posisi tegak lurus dari horizon ketika Fair Lady menepi di salah satu surfing spot di Palmline Beach. Tempat ini sedikit jauh dari tempat diadak
Sambil menahan surfboard Nicky, Pandangan Kenneth tak lepas dari setiap interaksi yang terjadi antara si bocah pirang dengan teman-temannya. Ia saat ini berdiri bersebelahan dengan Aaron dan Shoujin, sedikit jauh dari tempat teman-teman Nicky berkumpul. Wajah bocah tomboi itu tak henti mengumbar senyum dan tawa riang. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kenneth, Aaron, dan Shoujin, kawanan Shawn dan pasangan Sam-Irina datang untuk memberikan dukungan pada Nicky dalam penyisihan kompetisi surfing hari ini. Satu per satu, mereka beradu kepalan tangan dengan Nicky. Teman-teman sekolah Nicky juga tak henti memuji aksi bocah itu di atas ombak. Bahkan Charlie merekam aksi si pirang. Sepintas Kenneth menoleh pada Shoujin. Pemuda pelit ekspresi itu bahkan terlihat tersenyum, meski tipis tetap terlihat. Begitu besarkah pengaruh Nicky pada laki-laki gunung es itu? Setelah melambaikan tangan pada teman-temannya yang beranjak meningg
Nicky sedang membereskan peralatan makan kotor bekas sarapan semua penghuni rumah. "Dulu Aaron melarangku selalu menumpang pada Shoujin. Katanya aku tidak boleh bergantung pada orang lain. Tapi lihat yang dilakukannya sekarang." Protes itu Nicky ajukan karena melilhat kebiasaan Freak Brother #2 berangkat selalu dijemput oleh Zac. "Kenapa tidak kaukatakan saja padanya?" sahut Kenneth yang sedang mengutak atik ponsel B sambil duduk menghadap meja makan. "Tentu saja akan kukatakan kalau aku sudah punya waktu bicara padanya. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bertemu dengannya kecuali ketika sedang sarapan. Apa perlu aku membahasnya ketika sarapan? Tidak. Itu bisa merusak mood-ku." "Baiklah. Lalu apa saja yang akan kaulakan hari ini?" "Mulai hari ini aku bekerja paruh waktu di Rhein's. Lalu nanti siang aku ke Palmline Beach. Aku hanya akan membahas dengan Emmery dan yang lain tentang persiapan untuk kontes besok." Nicky sudah selesai mencuci peralatan makan, lalu ia duduk kembali di sa
[Nick, maaf hari ini aku tidak bisa menemai latihan surfing hari ini, adikku memaksaku mengantaranya ke ulang tahun temannya. Bagaimana kalau besok?] bunyi pesan yang Nicky terima dari kontak Emmery. [F*** you. Oke. Jangan kaubatalkan lagi.], balas Nicky. Ia mendengus kesal dan melempar ponselnya ke dasbor. Ia menoleh pada Kenneth dengan bibir cemberut. "Emmery membatalkan rencana hari ini." Saat itu Nicky menyadari ada yang tak beres dengan kakaknya. Pria beruban itu tersenyum-senyum seperti sedang berhalusinasi. Namun, setelah diperhatikan lagi, sebenarnya Kenenth sedang tersenyum padanya. Anehnya, itu membuat Nicky salah tingkah. "Eer ... Kenny, apa yang terjadi padamu?" Nicky tergagap. "Kau cantik," puji Kenneth masih dengan mempertahankan senyum. "Ah, sial." Buru-buru Nicky menarik selembar tisu dari kotak tisu di dasbor. "Pasti karena ini. Karina sialan. Dan gara-gara kau datang tanpa aba-aba, aku jadi terburu-buru dan
Dari rumah Sarah, Kenneth mengebut menuju Forklore, ke apartemennya. Ada PR yang harus ia selesaikan, yaitu berkas dari SAPD. Ia harus sudah siap ketika bertemu kembali dengan Yuri. Tak sampai dua jam Kenneth sudah selesai melahap semua informasi pada berkas itu. Beberapa menit kemudian Yuri datang. Pria berambut platinum grey dan pria berambut biru elektrik duduk berhadapan, masing-masing duduk pada kursi kerja dengan melipat kedua tangan. "Kau sudah mempelajari berkas dari SAPD?" buka Yuri. Pria bernama sandi 'Blue' itu menggaruk pipinya. "Sudah," jawab Kenneth datar dan tegas. "Bagus. Sekarang aku ingin mendengar lebih detail tentang pesta di Morsey." Kenneth mulai memaparkan, "Di Morsey aku bertemu dengan Emilia, dia adalah orang kepercayaan bos Underzone. Emilia tidak menyebutkan nama bosnya, tapi besar kemungkinan itu adalah Mario Cortez. Si bos tidak ada di pesta saat itu, dia sedang berlibur dengan wanita lain. Emilia juga tidak menyebutkan di mana bosnya berada. Dan ada s
Hari sudah beranjak siang ketika ia sampai di rumah Sarah. Saat ini Kenneth sedang berada di dapur untuk menunggu Kevin menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Ia duduk dengan menumpukan kedua siku pada meja makan, di samping salah satu sikunya tergeletak sebuah map. Seperti pada kunjungan terakhir Kenneth ke rumah ini, Sarah membuatkannya espresso, bedanya kali ini orang tua tunggal Kevin itu tak membuat teh chamomile, melainkan espresso juga untuk dirinya. "Apa ada hal penting yang akan kausampaikan padaku?" tanya orang tua tunggal Kevin pada Kenneth seraya meletakkan secangkir espresso di hadapan Kenneth. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kenneth. "Ya. Ini menyangkut Frank." Kenneth menghela nafas, menatap dingin pada kopi panas di depannya. Untuk pertama kalinya Kenneth tak berminat pada minuman yang mulanya dipopulerkan oleh orang Arab itu. Bukan karena rasa kopi itu yang tak enak, melainkan suasana hatinya yang mendadak buruk. "Hanya saja, ini bukan kabar bagus." "Ada apa?" Pan