“Van, ini terlalu berisiko.”“Kamu pasti paham kan, Han, yang namanya high risk high return?” balas Evan.Siang itu, Hana mengantarkan proposal yang dibuat oleh Tim II yang ada di Divisi Pengembangan Usaha. Hana telah menyusun pro kontra dari proposal itu untuk diperiksa Evan. Ia tidak akan melakukannya kalau proposal yang diberikan dari beberapa Tim yang ada di bawah Evan cukup rasional.“Tapi ini bukannya high risk high return lagi, Van. Ini tuh too good to be true.”“Ya udah, nanti saya pelajari lagi. Tapi setelah nanti saya bikin keputusan, itu final ya, nggak bisa diubah lagi.”Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. “Aku akan bilang ke Om Ares kalo proposal semacam ini kamu lolosin.”Evan berdiri dari duduknya. Ia melangkah ringan ke arah Hana yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Ia lantas menunduk, kedua tangannya meraih pinggiran kursi dan memutar kursi yang diduduki Hana agar menghadapnya.“Kenapa? Kamu takut aku berhasil menunjukkan kemampuanku?”Wajah Evan yan
Tangan Evan menutup cepat aplikasi yang akhirnya selesai di-install-nya. Evan berusaha menguasai diri, mencari jawaban terbaik yang tidak akan membuat Hana curiga. “Sorry, aku numpang ngirim e-mail.”Hana mendelik kesal. “Ya kan bisa izin dulu, Van.”“Aku udah izin, kamu aja yang nggak denger, keasikan mandi ya.”“Mana ada? Aku nggak denger kamu izin ke aku.”Evan bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Hana, merapikan anak rambutnya yang masih basah dan berantakan. “Kamu nggak denger, Han.” Bukan pertanyaan yang disampaikan Evan, melainkan pernyataan, untuk meyakinkan Hana kalau ia lah yang tidak mendengar saat Evan meminta izin menggunakan laptopnya.“Kalo nggak percaya, kamu tanya Ribka besok. Tadi aku e-mail ke dia revisi laporan yang dia bikin waktu kamu sakit.”Hana terdiam, baginya masih ada yang mengganjal. “Kan bisa besok, harus banget jam segini ngirimnya?”“Ya kan mumpung aku inget, padahal ini udah mau kukirim dari tadi pagi, malah lupa. Makanya aku ngirim sekarang mum
Evan membuka laptopnya, menunggu e-mail masuk dari Ndaru yang akan mengirimkan file apk yang harus di-install-nya untuk bisa mengakses data di laptop milik Hana.E-mail dari Ndaru datang tidak lama kemudian. Ia menginstall file apk itu dengan langkah-langkah yang sudah disertakan Ndaru dalam e-mail-nya.Finished.Evan bernapas lega setelah mengklik sebuah kotak bertuliskan 'finished' yang menandakan aplikasinya siap ia gunakan. Ia hanya perlu menunggu Hana untuk menyalakan laptopnya.Ia berdiam diri di depan layar laptopnya selama sepuluh menit. Karena sepertinya Hana belum juga menyalakan laptopnya, Evan memilih mandi untuk menyegarkan badannya.Evan tidak bisa menikmati prosesi mandinya. Ia terlalu penasaran dengan apa yang akan ia temukan di dalam data yang ada di laptop Hana. Karena itu, dalam waktu sepuluh menit, ia sudah kembali mematung di depan layar laptopnya.-Access opened-Evan hampir saja berteriak saat mendapatkan notifikasi itu di layar laptopnya.Segera ia membuka fold
Hana berjalan keluar dari kamarnya sambil mengusap mata saat bel apartemennya berbunyi nyaring. Dengan malas ia membuka pintu apartemennya, bahkan lupa bertanya siapa yang ada di depan pintu dan mengusik tidurnya.“Baru bangun?”Hana membelalakkan mata saat menatap Evan yang sudah rapi berdiri santai di depan pintu unit apartemennya. Oh, ralat, apartemen Ares, ayahnya Evan sendiri.“Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?”“Disuruh Mama nganterin sarapan buat kamu sekalian sarapan bareng.”Hana masih berbicara dengan Evan dari sela pintu, belum memberikan akses lebih agar Evan bisa masuk. “Jangan ngada-ngada ah.”Evan lantas mengangkat tote bag berisi beberapa kotak makan yang memang tadi disiapkan mamanya. “Telepon Mama aja kalo nggak percaya.”Melihat raut wajah Evan yang sepertinya tidak berbohong, Hana membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang agar Evan bisa masuk ke dalam apartemen.Hana tidak mengacuhkan keberadaan Evan dan memilih duduk di sofa. Sepertinya nyawanya belum benar-benar
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan
"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan."Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk."Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!""Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya."Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
Hana berjalan keluar dari kamarnya sambil mengusap mata saat bel apartemennya berbunyi nyaring. Dengan malas ia membuka pintu apartemennya, bahkan lupa bertanya siapa yang ada di depan pintu dan mengusik tidurnya.“Baru bangun?”Hana membelalakkan mata saat menatap Evan yang sudah rapi berdiri santai di depan pintu unit apartemennya. Oh, ralat, apartemen Ares, ayahnya Evan sendiri.“Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?”“Disuruh Mama nganterin sarapan buat kamu sekalian sarapan bareng.”Hana masih berbicara dengan Evan dari sela pintu, belum memberikan akses lebih agar Evan bisa masuk. “Jangan ngada-ngada ah.”Evan lantas mengangkat tote bag berisi beberapa kotak makan yang memang tadi disiapkan mamanya. “Telepon Mama aja kalo nggak percaya.”Melihat raut wajah Evan yang sepertinya tidak berbohong, Hana membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang agar Evan bisa masuk ke dalam apartemen.Hana tidak mengacuhkan keberadaan Evan dan memilih duduk di sofa. Sepertinya nyawanya belum benar-benar
Evan membuka laptopnya, menunggu e-mail masuk dari Ndaru yang akan mengirimkan file apk yang harus di-install-nya untuk bisa mengakses data di laptop milik Hana.E-mail dari Ndaru datang tidak lama kemudian. Ia menginstall file apk itu dengan langkah-langkah yang sudah disertakan Ndaru dalam e-mail-nya.Finished.Evan bernapas lega setelah mengklik sebuah kotak bertuliskan 'finished' yang menandakan aplikasinya siap ia gunakan. Ia hanya perlu menunggu Hana untuk menyalakan laptopnya.Ia berdiam diri di depan layar laptopnya selama sepuluh menit. Karena sepertinya Hana belum juga menyalakan laptopnya, Evan memilih mandi untuk menyegarkan badannya.Evan tidak bisa menikmati prosesi mandinya. Ia terlalu penasaran dengan apa yang akan ia temukan di dalam data yang ada di laptop Hana. Karena itu, dalam waktu sepuluh menit, ia sudah kembali mematung di depan layar laptopnya.-Access opened-Evan hampir saja berteriak saat mendapatkan notifikasi itu di layar laptopnya.Segera ia membuka fold
Tangan Evan menutup cepat aplikasi yang akhirnya selesai di-install-nya. Evan berusaha menguasai diri, mencari jawaban terbaik yang tidak akan membuat Hana curiga. “Sorry, aku numpang ngirim e-mail.”Hana mendelik kesal. “Ya kan bisa izin dulu, Van.”“Aku udah izin, kamu aja yang nggak denger, keasikan mandi ya.”“Mana ada? Aku nggak denger kamu izin ke aku.”Evan bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Hana, merapikan anak rambutnya yang masih basah dan berantakan. “Kamu nggak denger, Han.” Bukan pertanyaan yang disampaikan Evan, melainkan pernyataan, untuk meyakinkan Hana kalau ia lah yang tidak mendengar saat Evan meminta izin menggunakan laptopnya.“Kalo nggak percaya, kamu tanya Ribka besok. Tadi aku e-mail ke dia revisi laporan yang dia bikin waktu kamu sakit.”Hana terdiam, baginya masih ada yang mengganjal. “Kan bisa besok, harus banget jam segini ngirimnya?”“Ya kan mumpung aku inget, padahal ini udah mau kukirim dari tadi pagi, malah lupa. Makanya aku ngirim sekarang mum
“Van, ini terlalu berisiko.”“Kamu pasti paham kan, Han, yang namanya high risk high return?” balas Evan.Siang itu, Hana mengantarkan proposal yang dibuat oleh Tim II yang ada di Divisi Pengembangan Usaha. Hana telah menyusun pro kontra dari proposal itu untuk diperiksa Evan. Ia tidak akan melakukannya kalau proposal yang diberikan dari beberapa Tim yang ada di bawah Evan cukup rasional.“Tapi ini bukannya high risk high return lagi, Van. Ini tuh too good to be true.”“Ya udah, nanti saya pelajari lagi. Tapi setelah nanti saya bikin keputusan, itu final ya, nggak bisa diubah lagi.”Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. “Aku akan bilang ke Om Ares kalo proposal semacam ini kamu lolosin.”Evan berdiri dari duduknya. Ia melangkah ringan ke arah Hana yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Ia lantas menunduk, kedua tangannya meraih pinggiran kursi dan memutar kursi yang diduduki Hana agar menghadapnya.“Kenapa? Kamu takut aku berhasil menunjukkan kemampuanku?”Wajah Evan yan
“Sore, Yah,” ucap Evan setelah membuka pintu ruang kerja ayahnya.“Masuk, Van. Eh, Hana ikut juga.”“Evan yang minta ikut, Om. Aku balik aja nggak apa-apa sih, masih banyak yang mesti kukerjain.”“Di sini aja, Om cuma mau ngobrol yang enteng-enteng aja kok.”Evan mendelik kesal ke arah Hana.Hana membalas tatapan Evan dengan bingung. “Kenapa?”“Katamu kalau sama Ayah di kantor kamu tetep pake panggilan resmi meskipun cuma berdua.”Hana terdiam. Toh sudah ketahuan kalau ia bohong.Ares terkekeh. “Mana ada. Kalo lagi nggak ada orang lain, ya manggil biasa aja kayak di rumah.” Ia kemudian mengajak Evan dan Hana duduk di sofa yang ada di tengah ruangannya. “Gimana kerjaan, Van?”“Yah, so far sih masih bisa handle, Yah. Lagian Hana ngebantuin banget kok.” Evan melirik ke arah Hana yang terlihat menegang setelah ia mengucapkannya.“Hana memang nggak perlu diragukan lagi kerjanya, Van. Itu lah dulu yang bikin Ayah sama ayahnya Hana bisa handle perusahaan ini. Ayahnya Hana itu cerdas dan bert
Mata Hana masih membuka sempurna, terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Evan. ia mendorong Evan sekuat tenaganya dan untungnya berhasil.Setelah Evan mundur, sekilas Hana melihat Evan yang mengangkat salah satu sudut bibirnya seakan tersenyum.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Evan. Tidak terlalu keras memang, karena Hana mengontrol tenaganya. Andai yang melakukannya orang lain, mungkin Hana akan mengerahkan semua tenaganya.Tanpa berkata apa-apa lagi, Hana melangkah keluar dari ruangan Evan.Hana memejamkan mata sambil mengatur napasnya sesaat setelah ia menutup pintu ruangan Evan.Tina—cleaning service—yang mengamati tingkah Hana mengernyitkan dahi karena bingung. “Mbak Hana kenapa? Kok mukanya merah banget?”“Nggak apa-apa, agak gerah aja.” Menyadari keberadaan Tina yang tak jauh darinya, membuat Hana melenggang anggun menuju mejanya, seakan-akan tidak ada yang terjadi.“AC ruangan Pak Evan kurang dingin ya, Mbak? Apa perlu minta orang AC buat dateng Mbak?”“Nggak usah. Pak
Ibra: Han, aku udah di parkiran ya.Hana: Ok, aku turun Bang.Hana melirik pintu ruangan Evan yang belum terbuka lagi sejak Evan membantingnya. ‘Ah udah lah, udah gede ini, bisa cari makan sendiri,’ batinnya.“Sorry, Bang. Lama ya nunggunya? Liftnya suka rame kalo jam istirahat,” ucapnya begitu memasuki mobil yang dikendarai Ibra.“Nggak kok. Ready? Mau makan di mana?”Hana melirik Ibra takut-takut. “Junk food boleh nggak?”Ibra balas melirik Hana sambil mulai menekan pedal gasnya. “Kamu beneran pengen junk food? Nggak bisa diganggu gugat?”“Sebenernya aku pengen waffle ice cream-nya.”“Ya udah kalo gitu. Yang penting sarapan sama makan malammu makanan sehat kan?” Ibra memastikan sekali lagi, walaupun sebenarnya masa pemulihan Hana ini tidak ada hubungannya dengan kondisi fisik, karena yang harus dipulihkannya adalah kondisi mentalnya.“Jelas makan sehat lah, Bang. Kan di rumah Tante Letta.”“Oh iya bener. Kamu kapan balik ke apartemen?”“Belum nanya lagi bolehnya kapan. Sebenernya ak
Hana berdiri dengan resah saat akan berangkat ke kantor. Di dekatnya, Evan dan ayahnya sama-sama sedang bersiap. Tapi Hana tahu kalau masing-masing dari mereka akan membawa mobil sendiri untuk mempermudah mobilitas. Lalu ia harus ikut siapa? Sementara mobilnya sendiri ada di apartemen.Dulu, saat ia menjadi asisten Ares, jelas ia akan ikut mobil Ares. Tapi kini ia adalah asisten Evan. Dan yang lebih mengesalkan baginya, ia tidak punya keberanian untuk meminta tumpangan kepada Evan. ‘Apa pesen taksi online aja ya? Atau naik KRL aja?’ batinnya bingung.“Yah, ini kopinya.” Letta muncul dari pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah dengan membawa tumbler berisi kopi kesukaan suaminya.Ares mengucapkan terima kasih kemudian mengecup singkat puncak kepala istrinya sebelum ia melangkah ke dalam mobil.“Hana, sana, kok kamu masih bengong,” ucap Letta.Belum sempat Hana menjawab, Ares menimpali ucapan istrinya. “Hana kan sekarang asistennya Evan. Ya Hana sama Evan lah, Ma.”“Oh iya
Evan mendengkus kesal. Kenapa tidak ada satu pun orang yang mempercayainya? Saat menatap ayahnya yang sedang menyesap kopi di depannya, barulah ia ingat sesuatu yang pernah ingin disampaikannya, namun kesempatannya selalu tidak tepat.“Yah, Ayah kan paling anti sama perjodohan. Kenapa sekarang Ayah kesannya kayak ngebiarin Mama jodohin aku sama Hana? Ayah nggak bisa bantu aku buat ngubah keputusan Mama?”Ares menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ya, ia memang menentang yang namanya perjodohah. Karena itu, ia tidak pernah berniat untuk mencarikan anak-anaknya jodoh apalagi demi urusan bisnis.“Ayah sama Mama bukan lagi jodohin kamu, Van. Ayah sama Mama lagi ngajarin kamu arti kata tanggung jawab. Kamu udah tidur sama Hana, apa nggak ada keinginan dari kamu buat bertanggung jawab? Apa ini hasil yang Ayah sama Mama ajarkan ke kamu?”Evan terdiam, ia belum pernah melihat raut kekecewaan dari ayahnya selama ini. Pun saat ia memilih menjalankan bisnis kecil-kecilannya sendiri,