“Sore, Yah,” ucap Evan setelah membuka pintu ruang kerja ayahnya.“Masuk, Van. Eh, Hana ikut juga.”“Evan yang minta ikut, Om. Aku balik aja nggak apa-apa sih, masih banyak yang mesti kukerjain.”“Di sini aja, Om cuma mau ngobrol yang enteng-enteng aja kok.”Evan mendelik kesal ke arah Hana.Hana membalas tatapan Evan dengan bingung. “Kenapa?”“Katamu kalau sama Ayah di kantor kamu tetep pake panggilan resmi meskipun cuma berdua.”Hana terdiam. Toh sudah ketahuan kalau ia bohong.Ares terkekeh. “Mana ada. Kalo lagi nggak ada orang lain, ya manggil biasa aja kayak di rumah.” Ia kemudian mengajak Evan dan Hana duduk di sofa yang ada di tengah ruangannya. “Gimana kerjaan, Van?”“Yah, so far sih masih bisa handle, Yah. Lagian Hana ngebantuin banget kok.” Evan melirik ke arah Hana yang terlihat menegang setelah ia mengucapkannya.“Hana memang nggak perlu diragukan lagi kerjanya, Van. Itu lah dulu yang bikin Ayah sama ayahnya Hana bisa handle perusahaan ini. Ayahnya Hana itu cerdas dan bert
“Van, ini terlalu berisiko.”“Kamu pasti paham kan, Han, yang namanya high risk high return?” balas Evan.Siang itu, Hana mengantarkan proposal yang dibuat oleh Tim II yang ada di Divisi Pengembangan Usaha. Hana telah menyusun pro kontra dari proposal itu untuk diperiksa Evan. Ia tidak akan melakukannya kalau proposal yang diberikan dari beberapa Tim yang ada di bawah Evan cukup rasional.“Tapi ini bukannya high risk high return lagi, Van. Ini tuh too good to be true.”“Ya udah, nanti saya pelajari lagi. Tapi setelah nanti saya bikin keputusan, itu final ya, nggak bisa diubah lagi.”Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. “Aku akan bilang ke Om Ares kalo proposal semacam ini kamu lolosin.”Evan berdiri dari duduknya. Ia melangkah ringan ke arah Hana yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Ia lantas menunduk, kedua tangannya meraih pinggiran kursi dan memutar kursi yang diduduki Hana agar menghadapnya.“Kenapa? Kamu takut aku berhasil menunjukkan kemampuanku?”Wajah Evan yan
Tangan Evan menutup cepat aplikasi yang akhirnya selesai di-install-nya. Evan berusaha menguasai diri, mencari jawaban terbaik yang tidak akan membuat Hana curiga. “Sorry, aku numpang ngirim e-mail.”Hana mendelik kesal. “Ya kan bisa izin dulu, Van.”“Aku udah izin, kamu aja yang nggak denger, keasikan mandi ya.”“Mana ada? Aku nggak denger kamu izin ke aku.”Evan bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Hana, merapikan anak rambutnya yang masih basah dan berantakan. “Kamu nggak denger, Han.” Bukan pertanyaan yang disampaikan Evan, melainkan pernyataan, untuk meyakinkan Hana kalau ia lah yang tidak mendengar saat Evan meminta izin menggunakan laptopnya.“Kalo nggak percaya, kamu tanya Ribka besok. Tadi aku e-mail ke dia revisi laporan yang dia bikin waktu kamu sakit.”Hana terdiam, baginya masih ada yang mengganjal. “Kan bisa besok, harus banget jam segini ngirimnya?”“Ya kan mumpung aku inget, padahal ini udah mau kukirim dari tadi pagi, malah lupa. Makanya aku ngirim sekarang mum
Evan membuka laptopnya, menunggu e-mail masuk dari Ndaru yang akan mengirimkan file apk yang harus di-install-nya untuk bisa mengakses data di laptop milik Hana.E-mail dari Ndaru datang tidak lama kemudian. Ia menginstall file apk itu dengan langkah-langkah yang sudah disertakan Ndaru dalam e-mail-nya.Finished.Evan bernapas lega setelah mengklik sebuah kotak bertuliskan 'finished' yang menandakan aplikasinya siap ia gunakan. Ia hanya perlu menunggu Hana untuk menyalakan laptopnya.Ia berdiam diri di depan layar laptopnya selama sepuluh menit. Karena sepertinya Hana belum juga menyalakan laptopnya, Evan memilih mandi untuk menyegarkan badannya.Evan tidak bisa menikmati prosesi mandinya. Ia terlalu penasaran dengan apa yang akan ia temukan di dalam data yang ada di laptop Hana. Karena itu, dalam waktu sepuluh menit, ia sudah kembali mematung di depan layar laptopnya.-Access opened-Evan hampir saja berteriak saat mendapatkan notifikasi itu di layar laptopnya.Segera ia membuka fold
Hana berjalan keluar dari kamarnya sambil mengusap mata saat bel apartemennya berbunyi nyaring. Dengan malas ia membuka pintu apartemennya, bahkan lupa bertanya siapa yang ada di depan pintu dan mengusik tidurnya.“Baru bangun?”Hana membelalakkan mata saat menatap Evan yang sudah rapi berdiri santai di depan pintu unit apartemennya. Oh, ralat, apartemen Ares, ayahnya Evan sendiri.“Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?”“Disuruh Mama nganterin sarapan buat kamu sekalian sarapan bareng.”Hana masih berbicara dengan Evan dari sela pintu, belum memberikan akses lebih agar Evan bisa masuk. “Jangan ngada-ngada ah.”Evan lantas mengangkat tote bag berisi beberapa kotak makan yang memang tadi disiapkan mamanya. “Telepon Mama aja kalo nggak percaya.”Melihat raut wajah Evan yang sepertinya tidak berbohong, Hana membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang agar Evan bisa masuk ke dalam apartemen.Hana tidak mengacuhkan keberadaan Evan dan memilih duduk di sofa. Sepertinya nyawanya belum benar-benar
“Han!” Tanpa pikir panjang, Evan membuka pintu kamar Hana yang tidak terkunci.Mata Evan membelalak saat melihat pecahan kaca dari beberapa botol yang berserakan di lantai, diiringi dengan aroma wangi yang menguar. Di dekat pecahan itu, Hana sedang berjongkok meringkuk memeluk lututnya.Melihat reaksi Hana, Evan bisa melihat kalau Hana sedang berjuang melawan PTSD-nya yang sedang muncul, walaupun tidak separah saat ia melihat kecelakaan dari dalam mobil. Evan berjalan sambil menghindari pecahan kaca di lantai, sampai ia bisa menjangkau Hana dan membawanya ke dalam pelukannya."Nggak apa-apa, Han. Nggak apa-apa," ucap Evan sambil mengusapi punggung Hana dengan pelan. "Ada aku, Han. Tenang ya."Berangsur, Evan merasakan tubuh Hana yang mulai melemas, tidak sekaku saat pertama ia memeluknya. Dengan berhati-hati ia menggendong Hana ke atas kasurnya yang hanya berjarak beberapa meter. "Aku bersihin dulu ya. Kamu di situ dulu." Evan kembali berjalan hati-hati keluar dari kamar Hana setelah
Evan masih berada di dalam ruangannya meski jarum jam sudah menunjuk angka enam. Hana sudah pulang sejak tadi. Sebenarnya ia merasa bersalah menolak ajakan Hana, tapi telepon dari Kevin benar-benar mengganggu pikirannya. Dan entah mengapa dia langsung berkata kepada Hana kalau ia memiliki janji. Padahal ia sendiri masih belum yakin untuk bertemu dengan Melinda.Pukul 19.15, Evan tidak lagi sanggup untuk membagi pikirannya antara Melinda yang sedang menunggunya, berkas yang menggunung di mejanya, dan proposal tempat wisata baru yang akan digarap oleh travel agent-nya.“Damn it!” Evan mengacak rambutnya, lalu mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di laci meja.Mungkin ia terlambat. Mungkin saja Melinda sudah pergi. Tapi dia kenal siapa Melinda. Wanita itu pasti masih menunggunya. Itu lah yang membuatnya resah. Melinda bisa saja tetap menunggunya sampai café itu tutup.“Ok, dengerin aja dulu dia mau ngomong apa. Ini yang terakhir kalinya,” gumamnya sambil melajukan mobilnya menuju caf
"Astagaaa!" Hana yang sedang membuat coklat panas di dapur, menggeram kesal saat bel apartemennya berbunyi nyaring.Walau tidak terlalu yakin, ia bisa mengerucutkan beberapa kemungkinan. Pertama, Vio. Kedua, siapa lagi kalau bukan Evan. Langkah malasnya menjadi tanda betapa dia enggan membukakan pintu untuk seseorang yang mengganggu pagi harinya dan memencet bel unitnya dengan ribut."Pagi, Han," sapa Evan tanpa merasa bersalah.Hana membiarkan pintunya agar Evan bisa masuk. "Bukannya udah kubilang kalo aku mau bawa mobil sendiri?""Tapi kan kamu nggak bilang kalo aku nggak boleh ke sini pagi-pagi."'Evan dan egonya,' batin Hana. Ia memijat pelipisnya, pening mendengar bantahan Evan di saat matahari baru saja terbit.Evan meletakkan paper bag yang tadi dibawakan mamanya di atas kabinet dapur. "Masakan Mama belum mateng tadi. Jadi Mama cuma bawain bahan-bahan buat bikin french toast di sini.""Ya ini memang masih kepagian, Van. Wajar lah kalo masakan Tante belum mateng. Jangan ngerepot
Ibra: Udah dapet apartemen Han?Hana: UdahIbra: Harus banget pindah apartemen juga?Hana: Apartemen ini kan punya Om AresHana: Nggak mungkin aku tinggal di sini, Evan bisa setiap saat ke siniIbra: Kapan pindah? Butuh bantuan?Hana: Dalam waktu dekat. Setelah aku ngomong ke EvanIbra: Belum ngomong juga?Hana:BelumIbra: Aku ke apartemenmu ya besok. Ada beberapa hal yang mesti aku omongin dan lusa aku ke luar kotaHana: OkSetelah bertukar pesan dengan Ibra, Hana yang semula berbaring di atas tempat tidurnya memilih keluar dari kamar. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut apartemen itu, apartemen yang telah ditinggalinya sejak ia mulai kuliah hingga kini dia bekerja di Cakrawangsa Group. Ares dan Letta sempat keberatan saat Hana mengutarakan ingin pindah dari kediaman mereka, tapi akhirnya mereka mengiakan dengan syarat Hana menempati salah satu apartemen milik Ares, agar mereka masih bisa memantau keadaan Hana.Hana menurut, walau sebenarnya ia ingin hidup di kost atau sewa rum
“Kamu yakin, Han? Ini nggak bakal gampang.”Hana terdiam. Malam sebelumnya ia sangat yakin mengambil langkah itu. Kini saat ia berada di hadapan Ibra, tiba-tiba keberaniannya menguap.Ibra menatap Hana dengan lekat. Bohong kalau dia bilang tidak mau memenuhi permintaan Hana. Bukan semata-mata karena ia ingin menolong Hana. Tapi ... perasaannya ternyata memang untuk Hana, dan bodohnya, ia baru menyadarinya setelah Hana dekat dengan Evan.Tepatnya ketika malam di mana ia makan bersama Hana dan Evan datang tiba-tiba.Ibra ingat bagaimana ia kebingungan usai Hana pergi dengan Evan kala itu.***-Malam saat Ibra akhirnya sadar dengan perasaannya-"Lah, Bang. Hana mana?" tanya Vio yang memang terlambat datang karena meeting-nya yang tidak selesai-selesai.Sedianya, mereka makan malam bertiga karena Hana merengek ingin lasagna. Tapi saat Vio tiba di cafe langganannya, hanya ada abangnya yang terlihat menatap risoto di depannya dengan tatapan kosong."Abang. Astaga! Adeknya nanya loh ini. Ma
Hana dan Ibra menatap Vio dengan penuh pertanyaan."Apa maksudmu, Vi?" tanya Ibra yang tidak tahan lagi menunggu adiknya berbicara."Abang lupa kalo nenek ninggalin warisan kita berupa saham Global Investama?"Hana membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri. Harapannya seketika muncul."Jangan ungkit itu, Vio. Kita nggak akan ngambil warisan itu. Kita nggak perlu. Apa yang dipunya keluarga Wasesa lebih dari cukup untuk masa depan kita."Vio menghela napas. Dalam hatinya, ia benar-benar ingin membantu Hana, sahabatnya itu, yang sudah beberapa minggu marah dan mendiamkannya. Tapi benar yang abangnya katakan. Mereka sudah punya kesepakatan untuk tidak mengambil bagian warisan yang ditinggalkan nenek mereka."Tunggu! Aku masih belum ngerti deh." Hana menatap Vio dengan tajam. "Apa hubungannya kata-kata Vio tadi sama warisan.""Warisan buat Bang Ibra sama gue, yang berupa saham di Global Investama itu baru bisa dikasih ke kami, kalau ... Bang Ibra sudah punya pasangan.""Hah?" Hana benar
Hana dengan gelisah menghubungi Evan yang sejak pagi belum menampakkan batang hidungnya di apartemen Hana, pun begitu dengan panggilan telepon Hana yang tak kunjung diangkatnya. "Kok belom nyampe sini ya?"Hana melirik ke jam tangannya, pukul 08.07, biasanya Evan sudah sampai apartemennya sebelum pukul tujuh pagi."Kok nggak ngabarin ya kalo nggak bisa ke sini?"Hana merapikan barang-barangnya, memutuskan untuk berangkat sendiri, daripada menunggu Evan yang belum ada kabarnya.Saat Hana sedang mengenakan sepatunya, ponselnya yang berada di dalam tas bergetar dan berbunyi nyaring.Ia tersenyum saat akhirnya caller id Evan muncul di layar ponselnya."Van, kok belum nyampe sini?""Han, kamu di mana?""Masih di apartemen, dari tadi nungguin kamu. Ini aku mau berangkat sendiri karena kamu nggak dateng-dateng.""Sorry, aku nggak sempet ngabarin. Ini baru bisa pegang hp dan kepikiran kamu. Ayah masuk rumah sakit, Han," Terdengar helaan napas dari Evan sesaat setelah ia mengucapkannya."Keada
Begitu turun dari mobil Evan, Hana berjalan dengan tergesa memasuki gedung kantornya. Sapaan dari karyawan lain yang mengenalnya, diabaikannya begitu saja.Dengan gelisah, ia menunggu lift sambil berkali-kali tangannya mengusap layar ponselnya."Han, kamu kenapa?"Hana melirik ke sekitar, di mana ada beberapa pegawai yang berpura-pura melakukan hal lain, tapi kupingnya mencuri dengar pembicaraan Evan dan Hana."Ada yang perlu saya bicarakan sama Pak Ares."Evan menunjuk lift khusus direksi yang berada di ujung, kemudian berjalan lebih dulu agar Hana mengikutinya."Lihat tangannya Mbak Hana sama Pak Evan nggak? Kok kayaknya cincin couple ya?" ucap seorang karyawan yang sebelumnya sedang menunggu lift dan mencuri dengar percakapan Evan dan Hana."Masa sih? Kamu salah lihat kali." Temannya mengedikkan bahu dengan rasa tidak percaya.Sementara di dalam lift, Hana terdiam sambil berkali-kali menghela napas. Ia bahkan tidak sadar kalau Evan menekan tombol lantai mereka, bukannya lantai temp
"Hana, kamu cuti aja dulu."Hari masih pagi, Evan sedang berbaring di sofa ruang tamu apartemen Hana, selagi Hana menerima telepon dari Letta."Buat apa cuti, Tante?""Ya buat ngurus acara tunangan kamu. Meskipun udah diurusin sama Elaksi, tapi kan banyak yang mesti kamu lakuin, ke salon, perawatan, trus itu tantemu udah mencak-mencak karena kamu kerja terus, nggak nemenin dia jalan-jalan."Hana tersenyum mendengar ucapan wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya itu. "Iya, Tante. Nanti aku bilang ke Evan, aku boleh cuti apa nggak.""Bilang ke Tante kalo Evan nggak ngijinin kamu cuti. Bibit bucin dari ayahnya soalnya, pasti nggak mau jauh-jauhan."Kedua wanita itu sibuk membicarakan Evan, sementara yang digosipkan tertidur pulas di atas sofa.Hana mengusap pelan lengan Evan untuk membangunkannya. "Van. Bangun, sarapan dulu.""Ngg ...." Evan hanya menggeram pelan, tapi kelopak matanya sama sekali belum membuka."Vaaan. Sarapan. Ada meeting jam sembilan."Evan langsung membuka matan
"Aku nggak nawarin masuk." Hana berusaha menahan pintu apartemennya agar Evan tidak bisa masuk. Bisikan Evan padanya di acara makan malam tadi membuatnya was-was dengan apa yang akan dilakukan Evan."Hana. Buka pintunya, nggak?" Evan menatap Hana serius dari balik pintu, tapi Hana masih bergeming."Nggak." Hana menggeleng-gelengkan kepala masih dengan badannya menahan pintu.Dari sisi luar, Evan juga menahan pintu agar tidak tertutup sempurna ketika Hana mendorongnya."Lagian kan kata Tante Letta kamu harus langsung pulang abis nganterin aku.""Tapi kan Mama nggak bilang nganterin sampe mana? Nganterin sampe parkiran, nganterin sampe lobby, nganterin sampe depan pintu apartemen, nganterin sampe kamar, atau ... nganterin sampe ke alam mimpi."“Dih, ngeles aja kayak bajaj.”Sudah sekitar lima menit mereka saling menahan pintu. Hana akhirnya menyerah, membiarkan Evan masuk ke dalam unit apartemennya.Evan mengangkat satu sudut bibirnya saat melihat Hana mengalah. Ia lantas menggiring Han
“Udah siap?”Pertanyaan itu menyapa Hana saat ia baru saja membukakan pintu apartemennya untuk seseorang yang sejak tadi memencet bel.Evan membeku di tempat saat melihat penampilan Hana yang mengenakan wrap dress berwarna beige yang kebetulan selaras dengan warna kemeja batik lengan panjang yang dikenakannya.Atas usul dari Letta, meskipun acara makan malam hanya akan melibatkan dua keluarga, tapi suasananya akan sedikit resmi (untuk menghargai keluarga Hana), walaupun Letta juga tidak berharap banyak. Biasanya juga kalau mereka sudah berkumpul, tidak ada lagi yang namanya keseriusan.“Kupikir kamu nggak jemput aku,” ucap Hana.“Ayo berangkat, keluargaku juga udah berangkat. Keluargamu lagi dijemput supir.”“Bentar, aku ambil tas dulu.” Hana melangkah, masuk ke kamar, membiarkan Evan menunggunya di depan pintu.Berulang kali Hana melirik Evan yang menyetir dalam diamnya. Hana yakin kalau Evan masih marah padanya. Ia tidak ingin suasana makan malam keluarga mereka terganggu karena kec
"Han. Bangun." Evan mengusap pelan lengan Hana yang masih terlelap. "Ada yang mau ketemu.""Siapa?" tanyanya masih dengan tetap memejamkan mata."Tantemu."Ucapan Evan berhasil membuat Hana membuka mata. "Tante? Tante siapa? Tante Letta? Tante Rimbi?""Bukan, Tante Dian."Kini Hana membuka matanya dengan sempurna dan bergegas turun dari ranjang untuk memastikan pendengarannya tidak salah.Seorang wanita paruh baya tengah menunggunya di sofa ruang tamu sambil bersedekap, menunjukkan kekesalannya."Tante ...." Hana memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Dia lah satu-satunya anggota keluarga terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Dian adalah sepupu dari mamanya dan juga sahabat ayahnya.Dian mengusapi punggung keponakannya itu, berusaha menyalurkan kerinduan yang selama ini terpendam. Andai saja Hana mau diajaknya ke Eropa, tentu ia bisa merawat Hana hingga Hana dewasa.Ada rasa bersalah yang sangat besar bercokol di hatinya saat harus meninggalkan Hana di bawah pengawasan Ares