Melihat Cakra yang bersimpuh membuat Amara mendekati dengan hati-hati takut pecahan kaca menggores telapak kakinya. Membantu adiknya untuk bangun dan memosisikan di belakangnya.
"Kakak bisa ‘kan tidak usah marah-marah dengan Cakra!?" Amara menahan marahnya, ia tak bisa meluapkan karena melihat kondisi kakaknya yang 'tidak baik'.
"Diam kamu, Mar! Seharusnya kamu bisa memberitahunya untuk jangan dekat-dekat dengan aku lagi!" teriak Guntur menatap tajam Cakra yang masih memegang erat baju Amara.
"Kak, dia adik kita. Cakra adik kita!" protes Amara memeluk tubuh kurus Cakra.
"Adik?" Tawa miris Guntur membuat Cakra semakin ketakutan.
"Adik yang membuat ibu dan ayah pisah, iya, Mar?"
Amara tak habis pikir kenapa Kakaknya bisa berbicara seperti itu terlebih di depan Cakra. Anak itu tidak tahu apa-apa, setidaknya belum. Belum mengetahui apa yang terjadi di keluarganya.
Tanpa mau menyahut sang Kakak, Amara membawa Cakra pergi dan tak mengizinkan anak bertubuh kurus itu berhadapan dengan Guntur. Amara masih menutupi telinga Cakra tak ingin membuat adiknya mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut tajam yang sedari tadi tak ada habis-habisnya berucap.
“Jadi apa yang membuat kak Guntur marah sama kamu?” Amara mengelus kepala adiknya.
Anak berumur sepuluh tahun itu mengangkat bahunya. “Cakra hanya ingin minum dan kak Guntur juga melakukan hal yang sama.”
Amara mendesah dan tak bertanya apa-apa lagi.
"Cakra sepertinya tadi melihat ayah, deh, Kak." Ia berkata sambil menatap tubuh kakaknya yang berjalan dengan membawa baju ganti untuknya.
Amara yang mendengar itu hanya bisa tersenyum masam tak berniat menjawab. Ia memberikan pakaian yang dipegangnya. "Cepatlah pakai bajumu, setelah itu kita makan malam." Cakra hanya mengangguk tanda setuju, ia lupa jika cacing dalam perutnya sudah berdemo sejak tadi.
***
Kembali ke rutinitas seperti biasa membuat Angkasa berjibaku dengan laporan-laporan yang membuat kepalanya berdenyut seketika. Memang sudah cukup ia beristirahat selama satu hari untuk meluruskan otot-ototnya yang tegang. Tapi tetap saja, pekerjaannya seakan-akan tak pernah habis.
Me-diall nomor yang sudah hafal di luar kepala, wanita di seberang sana pun tak lama mengangkat. "Tolong siapkan rapat dengan divisi marketing lima belas menit lagi."
"Baik, Pak."
Meletakkan gagang telepon, Angkasa kembali melihat angka-angka di atas kertas. Jumlah angka selama tiga bulan terakhir mengapa semakin lama semakin berkurang. Pasti ada yang salah.
Ketukan pintu membuat Angkasa melihat wanita berdiri dengan balutan formal dengan menggunakan kacamata.
"Semua sudah siap, Pak," kata sekretaris Angkasa.
Angkasa hanya mengangguk dan membawa flashdisk juga papperbag warna kuning.
"Sha, kamu tidak perlu ikut. Ini hanya rapat santai saja dengan mereka." Angkasa meninggalkan ruangannya membuat sang asisten hanya menggaruk kepalanya, bingung.
Meeting Room menjadi tujuan Angkasa. Ruangan yang terletak di lantai dua membuat ia harus turun dengan elevator. Tapi ternyata ia berpapasan dengan Pak Rizal, Manajer Pemasaran. Kebetulan sekali.
"Pak Rizal," sapa Angkasa membuat pria berumur empat puluh dua tahun itu tersenyum dan menepuk pundak Angkasa.
"Dari mana, Pak?" tanya Angkasa.
"Biasa, Pak Direktur sedang berkicau."
Sudah bisa dipastikan, hal yang Pak Direktur sampaikan pasti sama perihal yang akan Angkasa diskusikan. Tapi seharusnya sang Direktur tak perlu repot-repot mengurusi hal ini toh ada Angkasa yang menjadi penanggung jawabnya.
"Jadi pagi-pagi Pak Rizal sudah dapat kultum?" tawa kedua orang yang berada dalam elevator membuat ruangan pengap itu menjadi bising.
Angkasa membukakan pintu ruang rapat guna menghormati Pak Rizal yang lebih tua, meskipun kedudukan mereka sejajar namun sopan santun harus yang utama. Sudah ada delapan orang yang menunggu, Rizal dan Angkasa duduk berhadapan dengan staf Marketing di meja bundar. Ya memang meja itu berbentuk lingkaran.
"Pagi semua." Rizal memberikan ucapan pembuka saat melihat timnya duduk tegang saat melihat Angkasa. Padahal tidak sekali dua kali Divisi Marketing rapat santai dengan divisi lainnya terlebih operasional.
"Pagi." Suara pelan yang menggema di ruang kedap suara itu membuat kening Angkasa berkerut.
"Kalian sedang berpuasa?" celoteh Angkasa dibalas tawa Rizal.
Angkasa menatap satu persatu timnya, yang menarik perhatian adalah pria berambut keriting mengembang yang ia ketahui bernama Bastian.
"Bas, kamu mau ini?" Pria yang sedari tadi sedikit mengantuk itu langsung membelalakkan matanya saat disodorkan bungkusan kuning di atas meja.
"Buat saya, Pak?" Angkasa mengangguk.
"Jadi hari ini Pak Angkasa ingin mengobrol santai dengan kita. Betul, Pak?" Rizal berkata sambil meminum kopi yang sudah disiapkan.
Angkasa mengangguk sambil memberikan flashdisk pada Vero, wanita berkaca mata yang duduk paling dekat dengan monitor kecil.
"Maaf sebelumnya karena saya terlalu jauh ikut campur dengan Divisi kalian. Tapi, tugas saya juga berkaitan dengan semua di perusahaan termasuk penjualan. Saya harap kalian mengerti," kata Angkasa.
Rizal mempersilakan Angkasa berbicara.
Vero yang sebagai operator dadakan membuka file yang terletak si monitor di hadapannya. Sambungan LCD yang lebih besar membuat semua orang di ruangan fokus pada apa yang ditayangkan di depan sana.
"Saya akan menunjukkan penjualan seluruh produk perusahaan selama enam bulan terakhir." Angkasa berdiri berhadapan menghadap monitor
"Kalian bisa lihat sendiri, grafik dari bulan Juni sampai bulan Agustus stabil malah cenderung meningkat walaupun hanya sepuluh koma tujuh persen. Tapi ...." Angkasa memberikan kode pada Vero untuk mengganti slide. "Ada apa di bulan Oktober?
"Dimulai dari September yang mengalami penurunan hingga Oktober penjualan benar-benar drastis hingga tiga belas persen dalam satu bulan." Angkasa melihat Rizal yang memegang dagunya, Manajer itu juga tampak berpikir.
Semakin lama dunia bisnis semakin banyak saingannya, apalagi produk makanan yang kaya inovasi meskipun dengan bahan baku yang sama.
"Saya tidak mengerti kenapa produk kita mengalami penurunan hingga tiga bulan terakhir." Angkasa kembali duduk di samping Rizal.
"Ada yang tahu?" tanya Angkasa.
"Seperti yang kita tahu Pak, mungkin masyarakat sudah bosan dengan produk kita dan lebih memilih produk baru apalagi bermain dengan warna." Dina, salah satu staf dengan rambut blonde.
"Jadi menurut kamu produk kita akan kalah saing dengan homemade?" Angkasa mengetuk jarinya.
"Di awalnya iya. Mereka penasaran tapi akhirnya masyarakat tahu produk yang dikonsumsi sejak lama pasti akan meninggalkan kesan dan mereka akan kembali membeli produk lagi." Singgih menimpali.
"Benar, Pak." Bastian dan Yessi membenarkan apa yang telah Singgih katakan.
"Reza, kamu tidak ingin memberikan pendapatmu?" Angkasa melihat Reza yang masih mencatat pembicaraan diskusi di buku binder miliknya.
"Tidak, Pak. Karena saya masih junior, saya setuju dengan kakak-kakak senior saja."
Reza yang umurnya lebih kecil di antara yang lainnya. 23 tahun. Sedangkan yang lainnya rata-rata 25-26 tahun. Kecuali Zevanya, gadis cantik yang berumur 24 tahun.
Angkasa menyenderkan tubuhnya. "Oh begitu."
"Bastian kamu tidak mau coba buka bungkusan itu?" Angkasa menatap Bastian yang sedari tadi menatap bungkusan kuning itu.
Pekikan terkejut apalagi Zevanya yang langsung mengambil benda kuning itu dan mencium aromanya. "Mozarella khas Malangnya, Kak!" Bastian hanya bisa melongo mendengar pekikan keras teman satu timnya.
"Kamu salah naskah, Beb." Bastian mengambil kembali produk itu dari tangan Zevanya.
Angkasa menjentikkan jarinya. "Nah kalian saja langsung mengenali produk itu. Karena apa? Marketing mereka benar-benar membuat masyarakat tidak pernah lupa apalagi promosi di media sosial."
"Jadi kalian tahu apa yang kita butuh kan?"
Semuanya menggeleng masih belum mengerti.
"Tag Line untuk promosi secara besar-besaran di media sosial."
Yessi memperhatikan temannya yang mengangguk mengerti. "Bukankah kita sudah punya Tag Line tersendiri, Pak?"
"Apa kamu pikir orang akan selalu ingat Venus Foods dengan kata-kata 'Food Healthy For You're Life'? Maksud saya, kita tak akan mengubah Tag Line yang ada. Tapi menambahkan untuk promosi di sosial media demi menarik pelanggan lebih banyak. Saya kira kalian lebih paham ‘lah mengenai hal itu apalagi menjadi timnya Pak Rizal yang dikenal dengan ide kreatifnya,” puji Angkasa.
"Saya kira hanya ini saja yang saya sampaikan. Terima kasih sudah mengobrol santai dengan saya." Angkasa pamit dengan Pak Rizal untuk meninggalkan ruangan.
Mengobrol santai katanya? Bastian mengernyit dan berdiri.
"Hey, kalian ingin ke mana?" Pak Rizal menginterupsi saat melihat anak-anaknya sudah ingin meninggalkan tempat.
"Kembali ke ruangan, Be," kata Zevanya. Babe, panggilan untuk Rizal dari semua anak-anaknya.
"Tunggu sebentar, Babe punya berita menghebohkan dari pada tugas yang Pak Angkasa berikan."
Setelah mendengar atasannya bicara semua orang mendekati Pak Rizal dengan heboh sambil menarik kursinya masing-masing.
"Apa, Be?" Dina yang diketahui mempunyai suara lebih besar menaik-turunkan alisnya.
"Tadi saat Babe dipanggil sama Pak Bos. Dia memberi kita pilihan ...." Sengaja menggantung ucapannya agar semua pada penasaran.
Bastian menutup mulut Zevanya yang kedapatan terlihat terbuka.
"Ih kamu apa-apaan sih, Kak." Sambil mengelap mulutnya yang sudah terkena sentuhan tangan Bastian.
"Jika dalam dua bulan penjualan meningkat liburan yang diiming-imingi ke Singapura akan terlaksana. Tapi ...." Kebiasaan buruk Babe Rizal adalah membuat semua orang penasaran seperti ini contohnya.
"Satu ... dua ...." Reza mulai menghitung karena sudah tak tahan.
"Bogor menjadi salah satu tujuan perusahaan untuk Family Gathering jika dalam penjualan tak ada peningkatan."
Mereka yang mendengar itu semua langsung menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi seolah lemas mendengar penuturan atasannya.
"Lebih baik aku pura-pura mati saja"
"Kenapa Bogor lagi sih tahun kemarin ‘kan kita sudah ke sana."
"Tidak sanggup lagi, sudah cukup Ferguso."
Banyak lagi omelan yang di dengar Rizal. Pria yang hampir paruh baya itu hanya tersenyum tanpa makna.
"Be, katakan sama Pak Abraham dong untuk tambah orang. Biar bisa membantu kita nih. Karyawan magang juga tidak apa-apa deh," celoteh Yessi diangguki yang lain.
"Kita sudah banyak orang loh, Yes," jawab Rizal.
"Staf kita cuma dikit dibanding yang lainnya. Coba bayangkan divisi lain saja bisa sampai dua belas orang, sedangkan kita hanya tujuh orang. Apalagi laporan yang belum selesai-selesai," omelnya.
"Catat, DELAPAN," koreksi Rizal penuh penekanan.
"Iya, sembilan."
"Iya, Be. Kalau bisa yang cantik dan masih muda," bisik Bastian di sebelahnya tapi masih bisa didengar oleh semua orang.
"Kutandai kau, ya!" Zevanya menarik rambut Bastian.
“Ah, sakit!” pekik Bastian saat rambut keritingnya di tarik olehZevanya.“Makanya kamu punya mata jangan sa
Amara masih berkutat di dapur sederhananya, membuat makanan untuk sang adik dan ibu tercinta tanpa tahu ada yang memperhatikannya dari tadi. Membuat mi instan diaduk dengan telur lalu digoreng menjadi menu utama untuk makan malam hari ini. Tambahan bubur ayam dan irisan bawang goreng untuk ibunya yang belum bisa makan makanan yang keras.
Setelah kejadian yang menimpa keluarga, Amara tak pernah melihat lagi sosok sang ayah. Pertama kali bertemu setelah sekian tahun lamanya saat sang ayah sedang menggandeng anak perempuan yang berkisar antara lima atau enam tahun. Penampilan ayahnya pun sudah jauh berbeda dari pada saat masih tinggal bersama keluarga ini. Ayahnya yang memang memiliki tampang rupawan semakin terlihat berkarisma saat memakai jas beserta dasi cokelat.
Tak sedikit banyak yang Amara tangkap dari pembicaraan Engkoh Lim dan priaber-jas hitam yang memakai kacamata. Yang Amara lihat dari siluet atasannya itu adalah mengangguk hormat juga sopan bahkan tak segan-segan membuatkan minuman untuk sang tamu yang saat ini berada di dalam ruangan Engkoh Lim. Lewat pintu kaca bagaimana interaksi kedua orang itu, Engkoh Lim yang semringah bahagia seperti mendapat durian runtuh. Apakah pria itu yang akan membeli toko ini?
Padahal baru minggu lalu surat lamaran kerja ia berikan pada Engkoh Lim untuk melamar di salah satu perusahaan yang pria itu rekomendasikan. Tapi hari ini ia sudah bisa menginjakkan kaki di Venus Foods. Perusahaan yang mempunyai area yang sangat luas dan ada beberapa gedung di dalamnya. Namun, ada satu gedung yang menjadi utamanya, gedung bertingkat empat yang sangat mewah. Wajar saja jika perusahaan ini mempunyai area yang luas karena kantor dan produksinya menjadi satu wilayah.
Angkasa memarkirkan mobilnya saat sudah sampai depan rumah. Ia sempat melihat mobil hitam yang sudah terparkir juga di sebelahnya. Jantungnya berdegup kencang saat tahu mobil siapa itu. Alarm waspada sudah berbunyi di kepalanya, matanya melihat arloji. Hampir jam tujuh malam.
Amara masih tidak yakin bahwa ia akan bekerja di salah satu perusahaan bonafid. Saat tes wawancara dengan kepala HRD langsung, ia menciutkan nyalinya. Apa yang semua Pak Abra katakan benar, ia hanya lulusan SMA dan jarang sekali ada yang ingin menerima. Namun sekarang bunga tidur yang sering Amara bayangkan menjadi kenyataan. Bak durian runtuh ia mendapat ini semua dari Engkoh Lim yang sudah terlalu baik. Setidaknya jika finansial Amara tercukupi salah satu yang ia inginkan adalah mengobati ibunya. Sampai sekarang Amara tak tega melihat ibunya yang tertatih-tatih saat berjalan dan
Sudah hampir seminggu bekerja di Venus Foods akhirnya membuat Amara mengerti. Bekerja di divisi marketing dengan banyak orang beserta pemikiran yang berbeda menjadi tolak ukur ia memahami karakter. Seperti saat ini, mereka yang sibuk karena salah satu model yang ditunjuk sebagai pemeran utama dalam iklan produk terbaru malah membatalkan kontraknya secara tiba-tiba. Padahal pemotretan tinggal dua hari lagi dan mereka belum ada kandidat yang cocok untuk menggantikan.
"Sayang, bangun ...."Tepukan pelan di pipinya membuat Amara mengerang. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Banyak bulir keringat yang keluar sampai membasahi bantal."Kamu mimpi buruk?" Suara itu memecahkan lamunan Amara. Ia melihat sekeliling ruangan yang dihiasi warna hitam dan juga putih.
"Hai, Om. Tumben datang ke kantor pagi-pagi sekali, apa ada jadwal dengan papa?" Sambutan itu seperti tak biasa. Angkasa sebenarnya tak terkejut karena Om Bagas sudah berada di ruangannya padahalinimasih menunjukkan angka delapan pagi. Bahkan karyawan kantorpunbelumseluruhnyamasuk. Kedua tangan Bagas mengetuk-ketuk satu sama lain menandakan jika ada hal yang mampu membuatnya banyak pikiran. "Tidak, Om hanya ingin berkunjung di tempatmu saja."
Angkasa memutar-mutar pena yang berada di tangannya. Semua sudah ia lakukan dengan baik. Pertama,ia sudah meyakinkan kedua orang tuanya untuk bisa menerima Amara,terlebih papanya yang masih saja marah terhadapnya. Yang kedua, dia akan meminta bantuan Antariksa untuk sedikit memberikanpengertian pada Nikenagar mengetahui berita ini. Dan BOOM!
"Mas Kasa!" teriak Riksa saat mendapati Angkasa yang berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang pria itu kerjakan sedari tadi sampai tak tahu jika sang adik sudah jengkel setengah mati karena panggilannya tidak di jawab. "Astagadragon! Aku dari tadi teriak-teriak tidak tahunya Mas di sini pacaran sama laptop?!" Riksa memukul bahu Angkasa sampai sang empunya mengaduh kesakitan.
Amara sungguh malu, di saat ia sedang berada di titik rendah, di saat itu pula Angkasa melihat semuanya. Ia tak tahu seberapa banyak pria itu mengetahui hal rahasia antara dirinya dan ayahnya. Ia tak tahu bagaimana tanggapan yang Angkasa berikan saat mengetahui semua ini. "Lan ...," ucap pria itu dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Pria yang sedari tadi hanya diam dan menunggu Amara tenang dengan keadaannya. "Y--ya?" Amara hanya memandang ke samp
Sampai di kantor, ia tak terkejut karena teman-temansedivisimencarinya. Tapi tidak untuk Babe, pria tua itu seakan tahu apa yang akan Amara lakukan hari ini. Ini adalah hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di Venus. Amara mengulum bibirnya yang sedikit pucat, bukan karena polesan yang tidak ia pakai, melainkan kurang tidur yang membuat ia seperti mayat hidup.
Semua kesedihan danketerpurukansudah tak bisa dibendung lagi. Amara yakin ini adalah titik terendahnya dalam hidup. Semua berakhir seperti ini. Haruskah Tuhan mempermainkan hidupnya di saat ia sudah memiliki sandaran hidup lagi? Kak Guntur sudah berubah dan seharusnya mereka merayakan kebahagiaan itu. Bukan malah menangis dengan air mata kepiluan seperti ini. Ibusudahtidak ada. Ralat! Ada, tapi dalam bayang kenangan sekara
“CUKUP, DELLA!” Teriakan Angkasa membuat Della yangsudah diambang kewarasan langsung tergugu.Hingga pada akhirnya air mata itu mengalir juga, bak air bah yang sudah tak bisa ditampung, Della meraung hingga membuat siapa saja miris mendengarnya. “Ka—kamu melakukan semua inisa—sama aku, Mas? Jahat kamu ...,” lirih Della sambil&nbs
Ponsel Amara terus bergetar sedari tadi. Tapi ia memang sengaja mengabaikannya, bukan karena apa. Ini adalah caranya untuk tidak terlalu dekat lagi dengan pria itu. Amara ingin menyendiri untuk beberapa hari belakang. Sebenarnya tadi pagi dia sudah berhasil untuk tidak bersama Angkasa, dan mungkin sudah membuat pria itu uring-uringan. Ia tak mau Angkasa tahu masalahnya di kantor. Apalagi ini termasuk fitnah yang sangat keji.