Jam sepuluh menurut Amara adalah waktu yang paling tepat untuk bertemu dengan seorang atasan. Di mana waktu tersebut tidak terlalu pagi juga tak terlalu siang untuk memulai perbincangan yang menyangkut harga dirinya.
Dina sudah memberitahukan perihal ia di panggil langsung secara terang-terangan karena insiden tadi malam. Amara yakini, pertemuan kali ini menjadi teguran pertama yang di dapatkan selama ia belum genap sebulan bekerja di sini.
Setelah menyelesaikan laporan-laporan akhir bulan akhirnya Amara bisa pulang dengan tenang. Laporan closing yang membuat Amara dan teman-temannya tertahan di kantor. Yessi tadi membujuknya untuk pulang bersama seperti biasa. Tapi ia menolak, ia tak ingin saat bertemu dengan seseorang dan temannya mengetahui hal itu.
”Pah dari mana saja kok baru pulang?” tanya Niken pada suaminya dan membukakan jas. ”Lembur, Mah. Senja sudah tidur?” Niken menggandeng lengan suaminya dan membawanya masuk ke dalam kamar. ”Tidur. Tadi dia mencarimu karena belum pulang.” Niken menaruh jas suaminya ke tempat pakaian kotor. ”Aku siapin
Amara sudah di periksa dan diberikan obat. Untungnya suster klinik memperbolehkannya tertidur di sana. Gejala yang Amara alami ternyata adalah darah rendah. Pantas saja sedari pagi kepalanya terasa pusing dan badannya lemas. Ia bahkan tak bertenaga untuk melakukan aktivitas. Tapi ia tak ingin izin karena ia masih terhitung menjadi anak baru. Bisa-bisa absennya menjadi kotor untuk bulan ini. &
Angkasa terkekeh dengan tindakannya, ia kira Amara tidak mau makan dengannya. ”Untung saya tadi tidak pesan seafood semua.” Angkasa membuka bungkusan yang berbeda dari yang lain.
Amara tidak bisa mengabaikan. Perkataan adiknya membuat alam bawah sadarnya terusik. Kakak dan adiknya mengapa membuat keadaan yang semakin kacau begini dalam waktu bersamaan. ”Eh Mar, kamu habisngapain Pak Kasa?” tanya Yessi yang menggeser kursinya mendekati meja Amara.
Angkasa tidak marah bahkan kesal karena Amara tapi ada sesuatu yang tidak baik untuk perempuan itu. Ia merasa akan menjauhkan Amara dari gosip kantor, karena itu akan berdampak buruk pada kinerjanya yang bernotabene sebagai anak baru di perusahaan ini. Melihat wajah polos yang terpampang di hadapannya membuat hati Angkasa sedikit bergejolak. Mengenal Amara Lania membuat pacu jantung yang kosong menjadi sedikit demi sedikit terisi. Amara yang ia ketahui perempuan mandiri nan bekerja keras membuat sisi jantannya sediki
”Kenapa diam? Kamu terkejut saya berbicara seperti itu?” Angkasa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia menjadi seperti orang dungu di hadapan perempuan muda ini. Amara diam sejenak, ia tak tahu harus berbicara seperti apa. Melihat dari gelagat ayahnya dan wanita tadi membuat Amara harus berpikiran dua kali untuk dekat dengan pria ini. Pria yang belum ia tahu latar belakangnya. Ia juga belum tahu apa yang sedang Angkasa jalani sekarang, karena ia juga tak munafik saat melihat Angkasa. Pria yang memiliki pesona luar biasa tak mungkin belum ada ‘ekor’ di belakangnya.
Pagi ini, Venus dihebohkan dengan banyaknya karyawan yang sudah siap-siap menjalani Family Gathering. Ya meskipun kecewa karena mereka melakukannya bukan di Singapura melainkan di puncak Bogor. Banyak dari mereka yang membicarakan tentang hal ini, ada yang sangat antusias dan ada juga yang mengeluh. Bukan hal yang mudah untuk menaikkan produk secara drastis dalam waktu yang hanya tiga bulan saja, launching kemarin memang cukup sukses daripada produk sebelum
"Sayang, bangun ...."Tepukan pelan di pipinya membuat Amara mengerang. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Banyak bulir keringat yang keluar sampai membasahi bantal."Kamu mimpi buruk?" Suara itu memecahkan lamunan Amara. Ia melihat sekeliling ruangan yang dihiasi warna hitam dan juga putih.
"Hai, Om. Tumben datang ke kantor pagi-pagi sekali, apa ada jadwal dengan papa?" Sambutan itu seperti tak biasa. Angkasa sebenarnya tak terkejut karena Om Bagas sudah berada di ruangannya padahalinimasih menunjukkan angka delapan pagi. Bahkan karyawan kantorpunbelumseluruhnyamasuk. Kedua tangan Bagas mengetuk-ketuk satu sama lain menandakan jika ada hal yang mampu membuatnya banyak pikiran. "Tidak, Om hanya ingin berkunjung di tempatmu saja."
Angkasa memutar-mutar pena yang berada di tangannya. Semua sudah ia lakukan dengan baik. Pertama,ia sudah meyakinkan kedua orang tuanya untuk bisa menerima Amara,terlebih papanya yang masih saja marah terhadapnya. Yang kedua, dia akan meminta bantuan Antariksa untuk sedikit memberikanpengertian pada Nikenagar mengetahui berita ini. Dan BOOM!
"Mas Kasa!" teriak Riksa saat mendapati Angkasa yang berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang pria itu kerjakan sedari tadi sampai tak tahu jika sang adik sudah jengkel setengah mati karena panggilannya tidak di jawab. "Astagadragon! Aku dari tadi teriak-teriak tidak tahunya Mas di sini pacaran sama laptop?!" Riksa memukul bahu Angkasa sampai sang empunya mengaduh kesakitan.
Amara sungguh malu, di saat ia sedang berada di titik rendah, di saat itu pula Angkasa melihat semuanya. Ia tak tahu seberapa banyak pria itu mengetahui hal rahasia antara dirinya dan ayahnya. Ia tak tahu bagaimana tanggapan yang Angkasa berikan saat mengetahui semua ini. "Lan ...," ucap pria itu dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Pria yang sedari tadi hanya diam dan menunggu Amara tenang dengan keadaannya. "Y--ya?" Amara hanya memandang ke samp
Sampai di kantor, ia tak terkejut karena teman-temansedivisimencarinya. Tapi tidak untuk Babe, pria tua itu seakan tahu apa yang akan Amara lakukan hari ini. Ini adalah hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di Venus. Amara mengulum bibirnya yang sedikit pucat, bukan karena polesan yang tidak ia pakai, melainkan kurang tidur yang membuat ia seperti mayat hidup.
Semua kesedihan danketerpurukansudah tak bisa dibendung lagi. Amara yakin ini adalah titik terendahnya dalam hidup. Semua berakhir seperti ini. Haruskah Tuhan mempermainkan hidupnya di saat ia sudah memiliki sandaran hidup lagi? Kak Guntur sudah berubah dan seharusnya mereka merayakan kebahagiaan itu. Bukan malah menangis dengan air mata kepiluan seperti ini. Ibusudahtidak ada. Ralat! Ada, tapi dalam bayang kenangan sekara
“CUKUP, DELLA!” Teriakan Angkasa membuat Della yangsudah diambang kewarasan langsung tergugu.Hingga pada akhirnya air mata itu mengalir juga, bak air bah yang sudah tak bisa ditampung, Della meraung hingga membuat siapa saja miris mendengarnya. “Ka—kamu melakukan semua inisa—sama aku, Mas? Jahat kamu ...,” lirih Della sambil&nbs
Ponsel Amara terus bergetar sedari tadi. Tapi ia memang sengaja mengabaikannya, bukan karena apa. Ini adalah caranya untuk tidak terlalu dekat lagi dengan pria itu. Amara ingin menyendiri untuk beberapa hari belakang. Sebenarnya tadi pagi dia sudah berhasil untuk tidak bersama Angkasa, dan mungkin sudah membuat pria itu uring-uringan. Ia tak mau Angkasa tahu masalahnya di kantor. Apalagi ini termasuk fitnah yang sangat keji.