Lydia tidak tahu dia dibawa ke mana. Matanya tidak ditutup, tapi otaknya tidak bisa mengingat jalan mana saja yang dia lalui. Intinya dia dibawa cukup jauh. Mungkin sekitar dua jam lebih perjalanan. Itu pun tempat mereka berhenti hanyalah rumah kecil yang tidak berpenghuni. Ponsel Lydia juga diambil dan sekarang hari sudah malam.
Berulang kali Lydia membasahi bibirnya yang kering. Dia sedari tadi tidak diberikan minum, apalagi makan. Tubuh Lydia yang tidak makan sedari siang sekarang menjadi lemas dan perutnya terasa mual. Udara ruangan yang agak panas pun membuatnya makin dehidrasi. “Pak. Apa gak ada makanan atau minuman? Saya bisa sakit kalau dibiarkan kelaparan,” seru Lydia dengan suara lemah. Orang yang menjaga Lydia hanya melirik sinis, kemudian kembali menatap ponselnya. Dari suaranya sih, sepertinya orang itu sedang bermain game. Lydia ingin sekali merebut ponsel orang itu, tapi jelas itu mustahil. Tangan dan ka“Pak. Kami sudah berhasil melacak lokasi mobil itu dari pantauan CCTV,” beritahu Hadi setelah dia menerima laporan. Reino tidak memberi tanggapan karena tahu Hadi belum selesai bicara. Dia menunggu, sambil melirik pengawal merangkap asistennya itu dengan mata menyipit tajam. “Lokasinya kurang lebih hampir tiga jam perjalanan darat. Untuk menghemat waktu, kami sudah meminta heli. Sekitar dua puluh lima menit lagi sudah siap di heli pad yang ada di atas pabrik.” “Dua puluh lima menit?” teriak Reino makin marah saja. “Bisa lebih lama dari itu?” “Maaf, Pak. Butuh persiapan untuk menerbangkan helikopter, dua puluh lima menit adalah waktu yang sangat cepat.” “Brengsek.” Reino menendang tempat sampah yang ada di dekatnya, membuat isinya berantakan. Seberantakkan dirinya sendiri. Sejak melihat sendiri kejadian penculikan Lydia, Reino memang terlihat berantakan. Bukan hanya penampilannya, tapi juga emosinya. Apalagi dia dibuat menunggu cukup lama sampai akhirnya Hadi menemukan posisi
Lydia langsung menangis begitu melihat Reino datang. Wajah seram dan pistol yang mengacung, tidak membuatnya takut. Sebaliknya, Lydia merasa senang. “Pak.” Suara Hadi disertai suara tembakan membuat Lydia terlonjak. Rupanya Hadi berhasil menyelamatkan Rudi Wibisono dari kemungkinan cacat seumur hidup dengan mengarahkan pistol Reino ke atas. “Lepas brengsek,” gertak Reino marah. “Pak. Menembak sembarangan bisa membuat Bu Lydia jadi korban,” nasihat Hadi. Dalam keadaan kalut seperti ini Hadi saja bingung dengan panggilannya pada Lydia, apalagi Reino. Pria itu tidak memperhatikan kalau Lydia berada tepat di belakang Rudi. Meleset sedikit saja, bisa jadi wanita itu yang kena. Berhasil mendapatkan kembali kewarasannya, Reino mendorong Hadi dengan sikunya. Kemudian pistol itu diserahkan pada Hadi. Reino tidak mau kehilangan kendali dan asal menembak.
Reino dan Lydia membeku di tempat. Tak ada satu pun dari mereka akan menyangka Liani dan Kenzo akan datang. Dan kedatangan itu berarti kalau keluarga Lydia sudah tahu. Liani dan Kenzo pun bergeming. Mereka hanya menatap Reino yang masih berdiri di pintu dengan tajam. Terutama Kenzo. Adik kandung Lydia itu menatap Reino dari atas sampai bawah, seolah sedang meneliti mangsa yang hendak dia terkam. Dan memang itulah tujuan Kenzo. “Brengsek,” geram Kenzo yang tiba-tiba saja maju dengan kepalan tangan menyasar wajah Reino. Sayangnya. Belum juga kepalan tangan itu sampai di wajah Reino, kepalan tangan lain menahannya. Itu adalah Hadi. Dia sedang melakukan tugasnya sebagai seorang pengawal. Namun Hadi tidak memperhatikan kaki Kenzo yang dengan segera menekuk dan menghantamkan tempurung lututnya tepat di bagain tersensitif Reino. “ARGH,” teriak Reino keras dan membuat semua orang terkejut. “Reino,” pekik Lydia menyibak selimutnya. Lydia sudah menurunkan kedua kakinya, ketika Leo m
Lydia menghela napas. Entah sudah berapa jam dia berbaring tanpa bisa tertidur. Padahal perutnya sudah kenyang setelah Pak Hadi membawakan bento. Alasannya sederhana. Lydia kepikiran dengan pertanyaan Liani tadi. Apakah dirinya menyukai Reino? Tadi sih Lydia refleks mengangguk karena menurutnya tidak ada jawaban masuk akal lainnya. Tapi sesungguhnya Lydia juga tidak tahu. Dan dari pada penasaran dia bertanya pada para sahabatnya. Kebetulan mereka semua suka begadang. [Lydia Rata: Tanda orang jatuh cinta apaan sih?] [Cinta E. Brawijaya: Simpel saja. Kamu merasa bahagia ketika di dekat Reino. Ingin terus bersamanya, jadi lebih posesif dan jantung berdebar mungkin.] [Lydia Rata: Kenapa bawa-bawa nama Reino?] [Vanessa Cerewet: Memang siapa lagi yang bisa membuatmu jatuh cinta?] [Erika Bego: Mengirimkan tautan.] Lydia lan
Sepanjang pagi, Lydia lebih banyak melamun. Liani tidak menegur karena ada Reino yang juga hanya memperhatikan Lydia tanpa banyak bicara. Setelah Reino terpaksa pergi karena ada yang harus dia urus di kantor, barulah Liani bertanya. “Tidak ada apa-apa kok, Ma.” Lydia tersenyum pada ibunya sebagai jawaban. “Kamu pasti kepikiran omongan dokter tadi kan?” Lydia menunduk ketika ibunya berhasil menebak apa yang ada dipikirannya. Ya. Lydia memang memikirkan kemungkinan kalau dia sedang hamil. Bukannya Lydia tidak ingin punya anak, tapi dia belum siap. Sama sekali tidak siap malah. Di usia yang baru saja menginjak 25 beberapa bulan lalu, Lydia belum mau punya anak. Apalagi dengan status belum menikah, alias janda. “Kenapa? Kamu gak mau punya anak dengan Reino?” “Bukan gitu, Ma. Aku Cuma ... belum siap saja,” Lydia menjawab dengan cepat. “Kalau gak siap kenapa melakukannya? Katamu kamu gak dipaksa kan?” “Aku memang tidak dipaksa, tapi ... aku gak siap, Ma. Kalau dua atau tiga tahun
“Eh? Mau ke mana?” tanya Lydia pada Reino ketika akhirnya dia bisa keluar dari rumah sakit. Karena alasan keselamatan, Lydia harus diantar pulang oleh Reino. Lalu kini, pria itu meminta untuk singgah di tempat lain. “Ada tempat yang ingin aku kunjungi berdua denganmu. Boleh kan?” “Gak boleh,” Kenzo yang menjawab pertanyaan itu untuk kakaknya. “Kenzo. Kenapa kamu yang menjawab?” tanya Lydia terlihat amat sangat kesal dengan adiknya itu. “Ya. Mana tahu kalau dia ngapa-ngapain Kakak. Pokoknya aku gak mengizinkan,” Kenzo tidak mau kalah. “Mau diapa-apain gimana? Orang kakakmu sedang hamil dan tidak boleh terlalu capek,” Leo yang ikut ke rumah sakit menjemput Lydia membela anaknya. “Dokternya saja belum bilang seperti itu loh, Om. Tolong Om jangan mendahului Tuhan deh. Aduh.” Kenzo mengelus kepalanya yang baru saja diket
Walau sudah menyatakan kesediaannya untuk menjalin hubungan dengan Reino, Lydia masih saja menghela napas. Dia masih memikirkan bagaimana mungkin dirinya memiliki anak pada usia semuda ini. Mana sekarang Reino ngebet ingin menikah ulang lagi. Itu bertentangan dengan keinginan Lydia yang baru ingin menikah di umur paling cepat 26 tahun. Tinggal setahun lagi sih, tapi tetap saja dia merasa ragu-ragu. “Hah.” “Hei, kenapa menghela napas?” Lydia langsung mendonggak menddengar suara yang sudah dia kenali. “Selamat pagi Pak Viktor. Mau ketemu Pak Reino?” Lydia langsung berdiri menyambut tamu kehormatan itu. Setelah libur seminggu, akhirnya hari ini Lydia kembali bekerja. Tentu saja masih jadi sekretaris Reino, dengan beban pekerjaan yang sangat sedikit. “Sebelum bertemmu Reino, aku ingin bertemu denganmu dulu.” Sebelah alis Lydia terangkat. P
“WHAT?” suara teriakan Kenzo terdengar sampai ke penjuru rumah. “Nikah? Sama si brengsek itu? Kak Lydia gila ya?” “Aku gak gila Ken. Aku seratus persen waras dan sangat sadar,” jawab Lydia tanpa berkedip. Reino yang hari ini sengaja mengantar kekasihnya pulang ke rumah dan mengatakan niat baiknya pun bergeming. Wajahnya tetap datar, tegas dan memandang lurus ke depan. Mungkin tak banyak yang menyadari, tapi sebenarnya Reino sedikit gugup. Dia merasa sedikit lebih gugup dibanding saat berurusan dengan saat memikirkan investasi berharga milyaran. “Hei, ngomong sesuatu dong,” Kenzo kembali menghardik. Kali ini menghardik Reino. “Saya akan menikahi Lydia,” jawab Reino bak robot. Lydia nyaris saja tertawa karena dia menyadari kegugupan kekasihnya. Tapi karena ini adalah pembicaraan serius, Lydia mencoba menahan diri. “Kamu pikir aku akan setuju?” Kenzo masih saja betah berteriak. “Tentu saja harus setuju. Lydia sedang hamil,” Reino menjawab dengan nada suara tegas. Tatapan mata Re