Maaf, kegiatan kantor lagi padat jadi agak susah buat update. Terima kasih sudah menunggu.
“Selamat ya atas pernikahannya.” “Thank you,” Lydia membalas ucapan Kiara dengan saling beradu gelas. “Ck. Sudah jadi Nyonya Reino Andersen saja deh temanku yang satu ini,” Kiara berdecak pelan melihat penampilan Lydia yang hari ini terlihat elegan. Lydia hari ini mengenakan maxi dress putih tanpa lengan yang ditutupi dengan cardigan berwarna navy. Warna pakaian yang dikenakan Reino hari ini pun senada dengan Lydia. Hari ini Lydia dan Reino mengadakan acara syukuran di kantor pusat, sementara di kantor cabang hanya diberi dana untuk makan-makan. Ini adalah Syukuran pernikahan mereka yang sudah sukses digelar beberapa hari lalu. Rangkaian pernikahan Reino dan Lydia terdiri dari tiga tahap dan dilakukan dengan sederhana. Pertama adalah pemberkatan nikah dan catatan sipil yang hanya dihadiri keluarga inti. Setelahnya barulah diadakan resepsi untuk keluarga, teman dan kolega dekat. Terakhir adalah acara syukuran untuk orang kantor. Walau agak terburu-buru, tapi semuanya berjalan de
“Good morning Beautiful.” Gumaman lembut, disertai dengan kecupan singkat, menjadi hal pertama yang dirasakan indra Lydia ketika bangun pagi. Tentu saja itu adalah ulah Reino Andersen. Pria yang lebih dari seminggu lalu telah kembali resmi mejadi suaminya. Kali ini suami sungguhan. “Berhenti Kak. Bakal janggutmu bikin geli,” keluh Lydia ketika merasakan rahang sang suami di lehernya. “Aku suka panggilanmu itu,” bisik Reino tepat di depan telinga sang istri. “Terima kasih, tapi tolong menjauh. Kita sudah harus bangun biar tidak terlambat.” Lydia yang masih polos tanpa sehelai benang pun, berusaha bangkit dari ranjang. Sayang sekali, Reino tidak mengizinkan istrinya ke mana-mana. Lelaki blasteran itu, mengungkung sang istri yang kini mencandunya itu. Enggan membiarkan Lydia pergi. “Kak Rei,” lenguh Lydia ketika merasakan tangan sang suami mulai nakal. “Ingat aku gak bisa capek.” “Memangnya semalam kamu capek?” tanya Reino dengan wajah serius. “Aku kan sudah pelan-pelan.” “Tentu
Lydia mulai merasa insecure. Sudah beberapa hari dan Reino masih belum meminta ‘jatahnya.’ Sesuatu yang amat sangat perlu ditakutkan Lydia karena suaminya adalah pria yang aktif secara seksual. Lydia takut kalau pada akhirnya Reino memilih mencari perempuan bayaran untuk menuntaskan hasrat karena dirinya belum bisa bekerja keras. “Ayolah Lyd! Bisa aja kan Reino benar-benar sedang menahan diri. Jangan pikiran negatif dulu deh,” keluh Vanessa dari sambungan telepon. “Aku gak percaya. Aku akan lebih tenang kalau dia izin nonton film porno, dari pada diam seperti ini.” “Lalu sekarang kau mau apa?” tanya Cinta terdengar sedikit kesal juga. “Kau mau bermain dengan suamimu sampai keguguran?” “Astaga Ta! Amit-amit deh.”Lydia segera mengetuk mejanya dengan keras untuk mengusir kesialan. “Ya abis gimana dong?” “Maksudku tuh … kalian bisa gak sih bantu aku membuntuti Reino gitu?” tanya Lydia dengan raut wajah serius. “Excuse me? Apa kau pikir kami tidak ada pekerjaan?” giliran Erika ya
“Ma. Lydia mana?” Reino bertanya dengan wajah khawatir ketika tidak menemukan sang istri di kamar. Saat ini Reino dan Lydia memang tinggal di rumah orang tua Reino. Ini atas permintaan Lydia yang merasa tidak bisa menjalani kehamilan tanpa bantuan orang berpengalaman. Bisa saja sih Lydia menginap di rumah sang mama, tapi dia tak ingin merepotkan. Sudah banyak yang diurus Liani dan Lydia enggan menambah beban lagi. Lain halnya dengan orang tua Reino yang punya banyak dayang-dayang. “Lah, kenapa kamu bertanya pada Mama? Bukannya Lydia ikut ke kantor?” Clarissa mengertukan kening melihat putra semata wayangnya yang panik bukan main. Reino segera meninggalkan sang mama. Dia tak lagi menjawab teriakan Clarissa dan hanya bisa memikirkan soal Lydia. Kini Reino meyesal telah membentak istrinya. “Hei, apa kau di rumah?” tanya Reino pada adik iparnya yang baru saja mengangkat telepon, sementara dirinya sibuk menyalakan mobil. “Ya. Ada apa?” “Apa Lydia ada di sana?” “Tidak a ... untuk ap
Lydia menggeliat pelan. Tidurnya yang nyenyak itu, terganggu dengan suara alaram ponselnya. Tanda kalau perempuan itu sudah harus bangun pagi. Sayangnya Lydia masih belum ingin bangun. Dia merasa sangat malas. Untung saja, alaram itu segera mati. Dekapan hangat dan kecupan ringan di puncak kepala kemudian menyapanya, membuat perempuan bertubuh kurus yang sudah hampir sadar itu, kembali mengantuk. “Tidurlah lagi.” Lydia masih bisa mendengar suara gumaman lembut itu dengan cukup jelas. Dia sudah nyaris tertidur lagi ketika merasakan sesuatu yang mengganjal ketika membalas pelukan yang terasa hangat dan nyaman itu. Ada tonjolan keras yang di pahanya dan itu sangat mengganggu. “Hm ... apaan sih ini,” gumamnya masih setengah sadar. Tangan ramping Lydia menyelinap di balik selimut dan menyentuh tonjolan keras itu. “Sayang ... Kalau kau menyentuh bagian itu aku tidak yakin kau bisa tidur lagi setelah ini,” gumaman lembut lain datang menyapa telinga Lydia. Merasa ada yang salah, Lydi
“Tidakkah Kak Reino merasa kalau Pak Fendy aneh?” tiba-tiba saja Lydia bertanya. “Aneh apanya?” Reino menjawab sambil berganti pakaian. Hari sudah malam dan mereka telah sampai di rumah, bahkan sudah bersiap untuk tidur. Lydia pun sudah dalam mood yang lebih baik, tapi dia malah menanyakan hal yang aneh. “Ya, aneh gitu. Dia kayak ngelirik ... “ “Dia melirikmu? Melecehkanmu dengan matanya?” potong Reino dengan mata melotot. “Bukan. Dia tidak melirikku, tapi melirikmu.” Lydia menunjuk sang suami yang baru mau naik ke atas ranjang. “Hah? Aku?” “Ya. Tadi waktu nunggu lift dia sepertinya melirikmu dengan raut wajah marah,” Lydia menjawab dengan wajah serius. Membuat Reino menaikkan sebelah alis Reino terangkat. “Jangan bilang kalau dia itu penyuka sesama jenis,” Reino langsung bergidik ketika memikirkannya. “Kenapa jadi seperti itu? Aku kan tadi bilang dia melihat dengan tatapan marah.” “Dia marah karena aku lebih memilih menikah denganmu. Bisa saja kan?” Lydia hanya bisa me
“Silakan Pak. Ini berkasnya.” Lydia menyerahkan map pada Pak Fendy. “Aduh maaf merepotkan,” gumam Pak Fendy dengan senyum semringah. “Harusnya gak usah Bu Lydia yang bawa lah. Saya jadi gak enak.” “Gak apa-apa kok, Pak. Kebetulan kan saya mau jalan ke arah sini.” Lydia mengulas senyum lebar. “Sekali lagi makasih ya.” Pak Fendy makin semringah saja. Lydia pun segera berlalu dari ruangan wakil dari suaminya itu, masih dengan senyuman palsunya. Setelah keluar dari ruangan, dia langsung kehilangan senyumnya dan digantikan dengan ekspresi mencemooh. Bagaimana tidak. Kelakuan wakil CEO perusahaan itu keterlaluan. Entah apa yang dia inginkan, tapi ini jelas tindakan kriminal. Untung saja Reino tahu solusi yang cukup bagus, setelah diberitahu soal berkas yang tak karuan itu. “Dasar bego. Dia pikir gak bakal ada yang tahu soal lembaran kosong itu,” gumam Lydia sambil mencuci tangannya di wastafel yang ada di toilet. “Sibuk banget ya, Mbak?” Istri Pak Fendy yang baru keluar dari bilik t
Hal yang hari ini amat sangat disyukuri Reino adalah mengikuti instingnya untuk membawa sang istri menggunakan mobil pribadi. Itu adalah keputusan yang sangat tepat karena ambulans terjebak macet saat datang. Begitu pula dengan Reino yang menuju ke rumah sakit. Untungnya, jalanan yang dilalui Reino tidak semacet arah datang ambulansnya. Dan tentu saja itu membuat Reino harus menyuap para sopir dan perawat agar tidak banyak omong karena mobil mereka tidak jadi dipakai. Itu lebih baik dari pada kena macet dua kali. “Bagaimana, Dok?” Reino bertanya setelah istrinya diperiksa. “Tidak ada masalah berarti selain sedikit lecet. Lalu untuk pemeriksaan kandungan, mungkin nanti setelah pasien sadar saja.” “Memangnya tidak bisa dilakukan pemeriksaan sekarang?” tanya Reino dengan kening mengernyit tidak suka. “Istri saya baru terjatuh dari tempat tinggi. Kalau ada apa-apa dengan bayi saya dokter bisa tanggung jawab?”“Rei.” Gumaman lirih itu membuat Reino segera menoleh. “Sayang? Bagaimana