Maaf, lama baru update lagi. Aku masih sibuk di kantor. Semoga masih betah ya.
“Good morning Beautiful.” Gumaman lembut, disertai dengan kecupan singkat, menjadi hal pertama yang dirasakan indra Lydia ketika bangun pagi. Tentu saja itu adalah ulah Reino Andersen. Pria yang lebih dari seminggu lalu telah kembali resmi mejadi suaminya. Kali ini suami sungguhan. “Berhenti Kak. Bakal janggutmu bikin geli,” keluh Lydia ketika merasakan rahang sang suami di lehernya. “Aku suka panggilanmu itu,” bisik Reino tepat di depan telinga sang istri. “Terima kasih, tapi tolong menjauh. Kita sudah harus bangun biar tidak terlambat.” Lydia yang masih polos tanpa sehelai benang pun, berusaha bangkit dari ranjang. Sayang sekali, Reino tidak mengizinkan istrinya ke mana-mana. Lelaki blasteran itu, mengungkung sang istri yang kini mencandunya itu. Enggan membiarkan Lydia pergi. “Kak Rei,” lenguh Lydia ketika merasakan tangan sang suami mulai nakal. “Ingat aku gak bisa capek.” “Memangnya semalam kamu capek?” tanya Reino dengan wajah serius. “Aku kan sudah pelan-pelan.” “Tentu
Lydia mulai merasa insecure. Sudah beberapa hari dan Reino masih belum meminta ‘jatahnya.’ Sesuatu yang amat sangat perlu ditakutkan Lydia karena suaminya adalah pria yang aktif secara seksual. Lydia takut kalau pada akhirnya Reino memilih mencari perempuan bayaran untuk menuntaskan hasrat karena dirinya belum bisa bekerja keras. “Ayolah Lyd! Bisa aja kan Reino benar-benar sedang menahan diri. Jangan pikiran negatif dulu deh,” keluh Vanessa dari sambungan telepon. “Aku gak percaya. Aku akan lebih tenang kalau dia izin nonton film porno, dari pada diam seperti ini.” “Lalu sekarang kau mau apa?” tanya Cinta terdengar sedikit kesal juga. “Kau mau bermain dengan suamimu sampai keguguran?” “Astaga Ta! Amit-amit deh.”Lydia segera mengetuk mejanya dengan keras untuk mengusir kesialan. “Ya abis gimana dong?” “Maksudku tuh … kalian bisa gak sih bantu aku membuntuti Reino gitu?” tanya Lydia dengan raut wajah serius. “Excuse me? Apa kau pikir kami tidak ada pekerjaan?” giliran Erika ya
“Ma. Lydia mana?” Reino bertanya dengan wajah khawatir ketika tidak menemukan sang istri di kamar. Saat ini Reino dan Lydia memang tinggal di rumah orang tua Reino. Ini atas permintaan Lydia yang merasa tidak bisa menjalani kehamilan tanpa bantuan orang berpengalaman. Bisa saja sih Lydia menginap di rumah sang mama, tapi dia tak ingin merepotkan. Sudah banyak yang diurus Liani dan Lydia enggan menambah beban lagi. Lain halnya dengan orang tua Reino yang punya banyak dayang-dayang. “Lah, kenapa kamu bertanya pada Mama? Bukannya Lydia ikut ke kantor?” Clarissa mengertukan kening melihat putra semata wayangnya yang panik bukan main. Reino segera meninggalkan sang mama. Dia tak lagi menjawab teriakan Clarissa dan hanya bisa memikirkan soal Lydia. Kini Reino meyesal telah membentak istrinya. “Hei, apa kau di rumah?” tanya Reino pada adik iparnya yang baru saja mengangkat telepon, sementara dirinya sibuk menyalakan mobil. “Ya. Ada apa?” “Apa Lydia ada di sana?” “Tidak a ... untuk ap
Lydia menggeliat pelan. Tidurnya yang nyenyak itu, terganggu dengan suara alaram ponselnya. Tanda kalau perempuan itu sudah harus bangun pagi. Sayangnya Lydia masih belum ingin bangun. Dia merasa sangat malas. Untung saja, alaram itu segera mati. Dekapan hangat dan kecupan ringan di puncak kepala kemudian menyapanya, membuat perempuan bertubuh kurus yang sudah hampir sadar itu, kembali mengantuk. “Tidurlah lagi.” Lydia masih bisa mendengar suara gumaman lembut itu dengan cukup jelas. Dia sudah nyaris tertidur lagi ketika merasakan sesuatu yang mengganjal ketika membalas pelukan yang terasa hangat dan nyaman itu. Ada tonjolan keras yang di pahanya dan itu sangat mengganggu. “Hm ... apaan sih ini,” gumamnya masih setengah sadar. Tangan ramping Lydia menyelinap di balik selimut dan menyentuh tonjolan keras itu. “Sayang ... Kalau kau menyentuh bagian itu aku tidak yakin kau bisa tidur lagi setelah ini,” gumaman lembut lain datang menyapa telinga Lydia. Merasa ada yang salah, Lydi
“Tidakkah Kak Reino merasa kalau Pak Fendy aneh?” tiba-tiba saja Lydia bertanya. “Aneh apanya?” Reino menjawab sambil berganti pakaian. Hari sudah malam dan mereka telah sampai di rumah, bahkan sudah bersiap untuk tidur. Lydia pun sudah dalam mood yang lebih baik, tapi dia malah menanyakan hal yang aneh. “Ya, aneh gitu. Dia kayak ngelirik ... “ “Dia melirikmu? Melecehkanmu dengan matanya?” potong Reino dengan mata melotot. “Bukan. Dia tidak melirikku, tapi melirikmu.” Lydia menunjuk sang suami yang baru mau naik ke atas ranjang. “Hah? Aku?” “Ya. Tadi waktu nunggu lift dia sepertinya melirikmu dengan raut wajah marah,” Lydia menjawab dengan wajah serius. Membuat Reino menaikkan sebelah alis Reino terangkat. “Jangan bilang kalau dia itu penyuka sesama jenis,” Reino langsung bergidik ketika memikirkannya. “Kenapa jadi seperti itu? Aku kan tadi bilang dia melihat dengan tatapan marah.” “Dia marah karena aku lebih memilih menikah denganmu. Bisa saja kan?” Lydia hanya bisa me
“Silakan Pak. Ini berkasnya.” Lydia menyerahkan map pada Pak Fendy. “Aduh maaf merepotkan,” gumam Pak Fendy dengan senyum semringah. “Harusnya gak usah Bu Lydia yang bawa lah. Saya jadi gak enak.” “Gak apa-apa kok, Pak. Kebetulan kan saya mau jalan ke arah sini.” Lydia mengulas senyum lebar. “Sekali lagi makasih ya.” Pak Fendy makin semringah saja. Lydia pun segera berlalu dari ruangan wakil dari suaminya itu, masih dengan senyuman palsunya. Setelah keluar dari ruangan, dia langsung kehilangan senyumnya dan digantikan dengan ekspresi mencemooh. Bagaimana tidak. Kelakuan wakil CEO perusahaan itu keterlaluan. Entah apa yang dia inginkan, tapi ini jelas tindakan kriminal. Untung saja Reino tahu solusi yang cukup bagus, setelah diberitahu soal berkas yang tak karuan itu. “Dasar bego. Dia pikir gak bakal ada yang tahu soal lembaran kosong itu,” gumam Lydia sambil mencuci tangannya di wastafel yang ada di toilet. “Sibuk banget ya, Mbak?” Istri Pak Fendy yang baru keluar dari bilik t
Hal yang hari ini amat sangat disyukuri Reino adalah mengikuti instingnya untuk membawa sang istri menggunakan mobil pribadi. Itu adalah keputusan yang sangat tepat karena ambulans terjebak macet saat datang. Begitu pula dengan Reino yang menuju ke rumah sakit. Untungnya, jalanan yang dilalui Reino tidak semacet arah datang ambulansnya. Dan tentu saja itu membuat Reino harus menyuap para sopir dan perawat agar tidak banyak omong karena mobil mereka tidak jadi dipakai. Itu lebih baik dari pada kena macet dua kali. “Bagaimana, Dok?” Reino bertanya setelah istrinya diperiksa. “Tidak ada masalah berarti selain sedikit lecet. Lalu untuk pemeriksaan kandungan, mungkin nanti setelah pasien sadar saja.” “Memangnya tidak bisa dilakukan pemeriksaan sekarang?” tanya Reino dengan kening mengernyit tidak suka. “Istri saya baru terjatuh dari tempat tinggi. Kalau ada apa-apa dengan bayi saya dokter bisa tanggung jawab?”“Rei.” Gumaman lirih itu membuat Reino segera menoleh. “Sayang? Bagaimana
“Sorry?” tanya Reino sedikit terkejut. Reino sudah tahu kalau Pak Fendy akan mencuranginya, tapi tak menyangka akan seperti ini. Awalnya dia pikir, Pak Fendy akan menggunakannya untuk mencairkan uang perusahaan dalam jumlah besar. Ternyata dia jauh lebih rakus. “Ah, soal itu Papa tidak perlu khawatir.” Reino akhirnya berbicara. “Itu tidak akan pernah bisa terjadi.” “Bagaimana bisa tidak mungkin terjadi?” hardik Leo jelas makin marah. “Ada tanda tanganmu di sana.” “Coba perhatikan baik-baik tanda tangannya.” Reino kesal juga harus menjelaskan dengan detil. Dia memang tidak punya stok sabar yang cukup. Sang ayah terdiam beberapa saat. Dia mungkin sedang meneliti tanda tangan anaknya, sebelum akhirnya mendesah pelan. Tanda tangan yang dibubuhkan bukan tanda tangan Reino yang asli. Tanda tangan Reino sebenarnya cukup simpel. Dia hanya menuliskan inisial nama depan ditambah dengan nama belakangnya secara lengkap. R.Andersen. Harusnya seperti itu, tapi Reino melakukan sedikit peru
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya