“Tidakkah Kak Reino merasa kalau Pak Fendy aneh?” tiba-tiba saja Lydia bertanya. “Aneh apanya?” Reino menjawab sambil berganti pakaian. Hari sudah malam dan mereka telah sampai di rumah, bahkan sudah bersiap untuk tidur. Lydia pun sudah dalam mood yang lebih baik, tapi dia malah menanyakan hal yang aneh. “Ya, aneh gitu. Dia kayak ngelirik ... “ “Dia melirikmu? Melecehkanmu dengan matanya?” potong Reino dengan mata melotot. “Bukan. Dia tidak melirikku, tapi melirikmu.” Lydia menunjuk sang suami yang baru mau naik ke atas ranjang. “Hah? Aku?” “Ya. Tadi waktu nunggu lift dia sepertinya melirikmu dengan raut wajah marah,” Lydia menjawab dengan wajah serius. Membuat Reino menaikkan sebelah alis Reino terangkat. “Jangan bilang kalau dia itu penyuka sesama jenis,” Reino langsung bergidik ketika memikirkannya. “Kenapa jadi seperti itu? Aku kan tadi bilang dia melihat dengan tatapan marah.” “Dia marah karena aku lebih memilih menikah denganmu. Bisa saja kan?” Lydia hanya bisa me
“Silakan Pak. Ini berkasnya.” Lydia menyerahkan map pada Pak Fendy. “Aduh maaf merepotkan,” gumam Pak Fendy dengan senyum semringah. “Harusnya gak usah Bu Lydia yang bawa lah. Saya jadi gak enak.” “Gak apa-apa kok, Pak. Kebetulan kan saya mau jalan ke arah sini.” Lydia mengulas senyum lebar. “Sekali lagi makasih ya.” Pak Fendy makin semringah saja. Lydia pun segera berlalu dari ruangan wakil dari suaminya itu, masih dengan senyuman palsunya. Setelah keluar dari ruangan, dia langsung kehilangan senyumnya dan digantikan dengan ekspresi mencemooh. Bagaimana tidak. Kelakuan wakil CEO perusahaan itu keterlaluan. Entah apa yang dia inginkan, tapi ini jelas tindakan kriminal. Untung saja Reino tahu solusi yang cukup bagus, setelah diberitahu soal berkas yang tak karuan itu. “Dasar bego. Dia pikir gak bakal ada yang tahu soal lembaran kosong itu,” gumam Lydia sambil mencuci tangannya di wastafel yang ada di toilet. “Sibuk banget ya, Mbak?” Istri Pak Fendy yang baru keluar dari bilik t
Hal yang hari ini amat sangat disyukuri Reino adalah mengikuti instingnya untuk membawa sang istri menggunakan mobil pribadi. Itu adalah keputusan yang sangat tepat karena ambulans terjebak macet saat datang. Begitu pula dengan Reino yang menuju ke rumah sakit. Untungnya, jalanan yang dilalui Reino tidak semacet arah datang ambulansnya. Dan tentu saja itu membuat Reino harus menyuap para sopir dan perawat agar tidak banyak omong karena mobil mereka tidak jadi dipakai. Itu lebih baik dari pada kena macet dua kali. “Bagaimana, Dok?” Reino bertanya setelah istrinya diperiksa. “Tidak ada masalah berarti selain sedikit lecet. Lalu untuk pemeriksaan kandungan, mungkin nanti setelah pasien sadar saja.” “Memangnya tidak bisa dilakukan pemeriksaan sekarang?” tanya Reino dengan kening mengernyit tidak suka. “Istri saya baru terjatuh dari tempat tinggi. Kalau ada apa-apa dengan bayi saya dokter bisa tanggung jawab?”“Rei.” Gumaman lirih itu membuat Reino segera menoleh. “Sayang? Bagaimana
“Sorry?” tanya Reino sedikit terkejut. Reino sudah tahu kalau Pak Fendy akan mencuranginya, tapi tak menyangka akan seperti ini. Awalnya dia pikir, Pak Fendy akan menggunakannya untuk mencairkan uang perusahaan dalam jumlah besar. Ternyata dia jauh lebih rakus. “Ah, soal itu Papa tidak perlu khawatir.” Reino akhirnya berbicara. “Itu tidak akan pernah bisa terjadi.” “Bagaimana bisa tidak mungkin terjadi?” hardik Leo jelas makin marah. “Ada tanda tanganmu di sana.” “Coba perhatikan baik-baik tanda tangannya.” Reino kesal juga harus menjelaskan dengan detil. Dia memang tidak punya stok sabar yang cukup. Sang ayah terdiam beberapa saat. Dia mungkin sedang meneliti tanda tangan anaknya, sebelum akhirnya mendesah pelan. Tanda tangan yang dibubuhkan bukan tanda tangan Reino yang asli. Tanda tangan Reino sebenarnya cukup simpel. Dia hanya menuliskan inisial nama depan ditambah dengan nama belakangnya secara lengkap. R.Andersen. Harusnya seperti itu, tapi Reino melakukan sedikit peru
Reino duduk di kursi kayu. Dia tengah mengamati bagaimana orang-orangnya tengah memukuli Pak Fendy. Tidak terlalu keras sesuai dengan perintah Reino, tapi cukup membuat pria itu berteriak kesakitan. “Aku mohon hentikan ini,” pekik istri Pak Fendy yang diikat di kursi. “Dia bisa mati.” “Istri dan anakku juga bisa mati saat kau mendorong mereka dari atas tangga,” jawab Reino jelas tanpa perlu berpikir. "Apa kau pernah memikirkan itu?" Istri Pak Fendy langsung terdiam mendengar itu. Dia jelas tahu kalau dirinya juga bersalah dan lebih baik diam. Kalau banyak bicara dia bisa berakhir dipukuli juga. Untung saja Reino mengangkat tangan meminta anak buahnya untuk berhenti memukul. Reino yang punya usaha pengawalan bersama dengan para sahabatnya, tentu saja tidak kesusahan mendapat tukang pukul gratis. Apalagi karena dia yang lebih banyak terlibat langsung dalam manajemennya. Kepribadian Reino yang pemarah, memang lebih cocok dengan usaha seperti ini. Apalagi ketika dia perlu melampi
“Mama dari mana saja?” tanya Reino dengan mata menyipit curiga. “Dari kantin rumah sakit lah. Memang mau dari mana lagi?” tanya Liani terlihat sedikit gugup. “Terus Pak Hadi mana?” Kini giliran Lydia yang bertanya. “Oh, Mama gak tahu sih. Tadi kami pisah soalnya. Dia sempat pergi nerima telpon.” Liani menjawab di bawah tatapan menelisik Reino. Perempuan yang tadi menjawab telepon Hadi belum sempat menjawab pertanyaan Reino, saat ponsel itu sudah kembali ke pemiliknya. Walau Hadi sudah mengatakan kalau yang mengangkat adalah saudaranya, tapi Reino tetap curiga. Rasanya Reino ingin bertanya, tapi dia tak tahu harus bertanya seperti apa. Lagi pula rasanya akan lebih mudah untuk menindas Hadi. “Maaf saya lama baru kembali.” “Panjang umur sekali.” Reino membalas Hadi yang baru saja masuk. “Aku baru saja memikirkanmu.” “Memikirkan saya?” tanya Hadi terlihat sedikit horor. Tentunya dia berpikir yang aneh-aneh. “Memikirkanmu kenapa lama sekali datang. Dan siapa pula yang mengangka
“Apa yang terjadi?” gumam reino dengan nada lelah. “Mama juga tidak tahu,” Clarissa membalas dengan nada cemas. “Waktu mama tiba, Lydia udah muntah-muntah di dekat ranjang.” Clarissa menatap menantunya yang kini sudah ditangani oleh tim dokter. Bahkan kamarnya pun sudah diganti karena Lydia merasa tidak nyaman dengan bau muntahan, pun dengan bau karbol pembersih lantai yang digunakan untuk melenyapkan bau muntahan. “Tapi kan tadi pagi sampai siang dia baik-baik saja. Mama Liani yang tadi berjaga bilang tidak ada masalah,” cecar Reino tak bisa mengerti dengan yang namanya tiba-tiba muntah. “Mungkin sudah waktunya Lydia mengalami mual. Atau mungkin bayinya sedang manja karena ayahnya jauh. Itu bisa saja terjadi loh.” Reino hanya bisa mendesah pelan mendengar penjelasan sang ibu. Baginya itu semua tidak masuk akal, tapi apa yang bisa dia lakukan? Reino juga bukan dokter dan tidak bisa menjelaskan fenomena itu. “Baiklah. Aku akan pulang pakai heli malam ini juga.” “Ya. Pulang saja
“Lydia, Sayang.” Reino memanggil istrinya semesra mungkin. “Apa kau sudah tidur?” Lydia bisa merasakan kehadiran sang suami yang sangat dekat dengannya. Belaian lembut di rambut pun terasa membuai, sekaligus mebuat Lydia ingin muntah. Tidak ingin berbicara dengan suaminya, Lydia memutuskan untuk pura-pura tidur. Tentu saja sekalian menahan rasa mualnya sekuat tenaga. “Sepertinya dia sudah tidur. Biarkan saja,” bisik Clarissa tidak ingin mengganggu tidur menantunya. “Apa kata dokter?” Reino masih bertanya, walau tadi sempat dijelaskan oleh Hadi. “Gak apa-apa, tapi harus dijaga biar tidak stress. Soalnya stres bisa memicu mual.” Reino mendesah mendengar kabar itu. Untuk saat ini itu adalah hal yang kelas tidak mungkin. Setidaknya sampai dia bicara dengan sang istri. Sebenarnya Reino juga tak tahu apa yang dibicarakan Mary sampai istrinya seperti ini. Namun satu yang pria itu yakini, Mary pasti berbicara hal-hal tidak masuk akal, bahkan mungkin menjebaknya. “Mama gak apa-a