Lydia menghela napas. Entah sudah berapa jam dia berbaring tanpa bisa tertidur. Padahal perutnya sudah kenyang setelah Pak Hadi membawakan bento.
Alasannya sederhana. Lydia kepikiran dengan pertanyaan Liani tadi. Apakah dirinya menyukai Reino? Tadi sih Lydia refleks mengangguk karena menurutnya tidak ada jawaban masuk akal lainnya. Tapi sesungguhnya Lydia juga tidak tahu. Dan dari pada penasaran dia bertanya pada para sahabatnya. Kebetulan mereka semua suka begadang. [Lydia Rata: Tanda orang jatuh cinta apaan sih?] [Cinta E. Brawijaya: Simpel saja. Kamu merasa bahagia ketika di dekat Reino. Ingin terus bersamanya, jadi lebih posesif dan jantung berdebar mungkin.] [Lydia Rata: Kenapa bawa-bawa nama Reino?] [Vanessa Cerewet: Memang siapa lagi yang bisa membuatmu jatuh cinta?] [Erika Bego: Mengirimkan tautan.] Lydia lanSepanjang pagi, Lydia lebih banyak melamun. Liani tidak menegur karena ada Reino yang juga hanya memperhatikan Lydia tanpa banyak bicara. Setelah Reino terpaksa pergi karena ada yang harus dia urus di kantor, barulah Liani bertanya. “Tidak ada apa-apa kok, Ma.” Lydia tersenyum pada ibunya sebagai jawaban. “Kamu pasti kepikiran omongan dokter tadi kan?” Lydia menunduk ketika ibunya berhasil menebak apa yang ada dipikirannya. Ya. Lydia memang memikirkan kemungkinan kalau dia sedang hamil. Bukannya Lydia tidak ingin punya anak, tapi dia belum siap. Sama sekali tidak siap malah. Di usia yang baru saja menginjak 25 beberapa bulan lalu, Lydia belum mau punya anak. Apalagi dengan status belum menikah, alias janda. “Kenapa? Kamu gak mau punya anak dengan Reino?” “Bukan gitu, Ma. Aku Cuma ... belum siap saja,” Lydia menjawab dengan cepat. “Kalau gak siap kenapa melakukannya? Katamu kamu gak dipaksa kan?” “Aku memang tidak dipaksa, tapi ... aku gak siap, Ma. Kalau dua atau tiga tahun
“Eh? Mau ke mana?” tanya Lydia pada Reino ketika akhirnya dia bisa keluar dari rumah sakit. Karena alasan keselamatan, Lydia harus diantar pulang oleh Reino. Lalu kini, pria itu meminta untuk singgah di tempat lain. “Ada tempat yang ingin aku kunjungi berdua denganmu. Boleh kan?” “Gak boleh,” Kenzo yang menjawab pertanyaan itu untuk kakaknya. “Kenzo. Kenapa kamu yang menjawab?” tanya Lydia terlihat amat sangat kesal dengan adiknya itu. “Ya. Mana tahu kalau dia ngapa-ngapain Kakak. Pokoknya aku gak mengizinkan,” Kenzo tidak mau kalah. “Mau diapa-apain gimana? Orang kakakmu sedang hamil dan tidak boleh terlalu capek,” Leo yang ikut ke rumah sakit menjemput Lydia membela anaknya. “Dokternya saja belum bilang seperti itu loh, Om. Tolong Om jangan mendahului Tuhan deh. Aduh.” Kenzo mengelus kepalanya yang baru saja diket
Walau sudah menyatakan kesediaannya untuk menjalin hubungan dengan Reino, Lydia masih saja menghela napas. Dia masih memikirkan bagaimana mungkin dirinya memiliki anak pada usia semuda ini. Mana sekarang Reino ngebet ingin menikah ulang lagi. Itu bertentangan dengan keinginan Lydia yang baru ingin menikah di umur paling cepat 26 tahun. Tinggal setahun lagi sih, tapi tetap saja dia merasa ragu-ragu. “Hah.” “Hei, kenapa menghela napas?” Lydia langsung mendonggak menddengar suara yang sudah dia kenali. “Selamat pagi Pak Viktor. Mau ketemu Pak Reino?” Lydia langsung berdiri menyambut tamu kehormatan itu. Setelah libur seminggu, akhirnya hari ini Lydia kembali bekerja. Tentu saja masih jadi sekretaris Reino, dengan beban pekerjaan yang sangat sedikit. “Sebelum bertemmu Reino, aku ingin bertemu denganmu dulu.” Sebelah alis Lydia terangkat. P
“WHAT?” suara teriakan Kenzo terdengar sampai ke penjuru rumah. “Nikah? Sama si brengsek itu? Kak Lydia gila ya?” “Aku gak gila Ken. Aku seratus persen waras dan sangat sadar,” jawab Lydia tanpa berkedip. Reino yang hari ini sengaja mengantar kekasihnya pulang ke rumah dan mengatakan niat baiknya pun bergeming. Wajahnya tetap datar, tegas dan memandang lurus ke depan. Mungkin tak banyak yang menyadari, tapi sebenarnya Reino sedikit gugup. Dia merasa sedikit lebih gugup dibanding saat berurusan dengan saat memikirkan investasi berharga milyaran. “Hei, ngomong sesuatu dong,” Kenzo kembali menghardik. Kali ini menghardik Reino. “Saya akan menikahi Lydia,” jawab Reino bak robot. Lydia nyaris saja tertawa karena dia menyadari kegugupan kekasihnya. Tapi karena ini adalah pembicaraan serius, Lydia mencoba menahan diri. “Kamu pikir aku akan setuju?” Kenzo masih saja betah berteriak. “Tentu saja harus setuju. Lydia sedang hamil,” Reino menjawab dengan nada suara tegas. Tatapan mata Re
“Selamat ya atas pernikahannya.” “Thank you,” Lydia membalas ucapan Kiara dengan saling beradu gelas. “Ck. Sudah jadi Nyonya Reino Andersen saja deh temanku yang satu ini,” Kiara berdecak pelan melihat penampilan Lydia yang hari ini terlihat elegan. Lydia hari ini mengenakan maxi dress putih tanpa lengan yang ditutupi dengan cardigan berwarna navy. Warna pakaian yang dikenakan Reino hari ini pun senada dengan Lydia. Hari ini Lydia dan Reino mengadakan acara syukuran di kantor pusat, sementara di kantor cabang hanya diberi dana untuk makan-makan. Ini adalah Syukuran pernikahan mereka yang sudah sukses digelar beberapa hari lalu. Rangkaian pernikahan Reino dan Lydia terdiri dari tiga tahap dan dilakukan dengan sederhana. Pertama adalah pemberkatan nikah dan catatan sipil yang hanya dihadiri keluarga inti. Setelahnya barulah diadakan resepsi untuk keluarga, teman dan kolega dekat. Terakhir adalah acara syukuran untuk orang kantor. Walau agak terburu-buru, tapi semuanya berjalan de
“Good morning Beautiful.” Gumaman lembut, disertai dengan kecupan singkat, menjadi hal pertama yang dirasakan indra Lydia ketika bangun pagi. Tentu saja itu adalah ulah Reino Andersen. Pria yang lebih dari seminggu lalu telah kembali resmi mejadi suaminya. Kali ini suami sungguhan. “Berhenti Kak. Bakal janggutmu bikin geli,” keluh Lydia ketika merasakan rahang sang suami di lehernya. “Aku suka panggilanmu itu,” bisik Reino tepat di depan telinga sang istri. “Terima kasih, tapi tolong menjauh. Kita sudah harus bangun biar tidak terlambat.” Lydia yang masih polos tanpa sehelai benang pun, berusaha bangkit dari ranjang. Sayang sekali, Reino tidak mengizinkan istrinya ke mana-mana. Lelaki blasteran itu, mengungkung sang istri yang kini mencandunya itu. Enggan membiarkan Lydia pergi. “Kak Rei,” lenguh Lydia ketika merasakan tangan sang suami mulai nakal. “Ingat aku gak bisa capek.” “Memangnya semalam kamu capek?” tanya Reino dengan wajah serius. “Aku kan sudah pelan-pelan.” “Tentu
Lydia mulai merasa insecure. Sudah beberapa hari dan Reino masih belum meminta ‘jatahnya.’ Sesuatu yang amat sangat perlu ditakutkan Lydia karena suaminya adalah pria yang aktif secara seksual. Lydia takut kalau pada akhirnya Reino memilih mencari perempuan bayaran untuk menuntaskan hasrat karena dirinya belum bisa bekerja keras. “Ayolah Lyd! Bisa aja kan Reino benar-benar sedang menahan diri. Jangan pikiran negatif dulu deh,” keluh Vanessa dari sambungan telepon. “Aku gak percaya. Aku akan lebih tenang kalau dia izin nonton film porno, dari pada diam seperti ini.” “Lalu sekarang kau mau apa?” tanya Cinta terdengar sedikit kesal juga. “Kau mau bermain dengan suamimu sampai keguguran?” “Astaga Ta! Amit-amit deh.”Lydia segera mengetuk mejanya dengan keras untuk mengusir kesialan. “Ya abis gimana dong?” “Maksudku tuh … kalian bisa gak sih bantu aku membuntuti Reino gitu?” tanya Lydia dengan raut wajah serius. “Excuse me? Apa kau pikir kami tidak ada pekerjaan?” giliran Erika ya
“Ma. Lydia mana?” Reino bertanya dengan wajah khawatir ketika tidak menemukan sang istri di kamar. Saat ini Reino dan Lydia memang tinggal di rumah orang tua Reino. Ini atas permintaan Lydia yang merasa tidak bisa menjalani kehamilan tanpa bantuan orang berpengalaman. Bisa saja sih Lydia menginap di rumah sang mama, tapi dia tak ingin merepotkan. Sudah banyak yang diurus Liani dan Lydia enggan menambah beban lagi. Lain halnya dengan orang tua Reino yang punya banyak dayang-dayang. “Lah, kenapa kamu bertanya pada Mama? Bukannya Lydia ikut ke kantor?” Clarissa mengertukan kening melihat putra semata wayangnya yang panik bukan main. Reino segera meninggalkan sang mama. Dia tak lagi menjawab teriakan Clarissa dan hanya bisa memikirkan soal Lydia. Kini Reino meyesal telah membentak istrinya. “Hei, apa kau di rumah?” tanya Reino pada adik iparnya yang baru saja mengangkat telepon, sementara dirinya sibuk menyalakan mobil. “Ya. Ada apa?” “Apa Lydia ada di sana?” “Tidak a ... untuk ap
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya