Nomor WhatsAppku telah diblokir oleh Kak Irene. Entah apa alasannya. Pesan terakhirnya begitu menyayat hati kecilku. Apakah hubungan kita sebenarnya tidak direstui keluargamu, Elgin? Di sana, kakakmu menuliskan,
"Lupakan dia. Akan jauh lebih baik, kalau kamu sama Elgin nggak sama-sama. Mamah setuju banget sama Rossa. Kakak rasa, El bakal nikah sama Si Rossa. Bukannya kenapa, Dek. Kakak juga nggak mau kamu tersiksa lagi ke depannya. Menikahlah dengan pria lain, yang jelas bukan adikku."Sebenarnya, kamu bener-benar menginginkan atau hanya mempermainkan? Jangan membohongi hati yang tulus, Elgin! Aku tidak suka permainan, dan membenci setiap kalimat palsu.Tidak usah berucap janji, jika hanya ada kehampaan setelahnya. Hubungan kita bukan sehari atau dua hari. Lama. Aku menghabiskan banyak waktu, untuk menjadi satu-satunya di hatimu.Aku sepertinya memang harus melupakan semuanya. Menjalani hidup tanpa senyuman lagi, mungkin sudah takdirku begitu. Usahaku mencari uang untuk tiket pesawat ke Kalteng, kukubur sementara waktu. Aku didesak oleh pilihan dari orang tuaku. Meski, aku tidak mencintai Dean tapi harus kulakukan.Migrainku kambuh. Mood menulisku menghilang, sejak beberapa hari belakangan. Seminggu setelah kepulangan ibu dari rumah sakit, aku tidak pernah tenang. Bukannya membaik, hubungan keluargaku semakin kacau. Batinku ingin berbagi cerita.Akan tetapi, aku tidak mempunyai siapa-siapa. Adikku masih terlalu muda untuk mengerti apa itu artinya luka. Yang dia tahu mungkin hanya bermain, dan menghabiskan waktu dengan bersantai."Kamu nggak kerja, Mas! Kamu pikir uang seratus ribu cukup?" Ibu yang baru sembuh dari sakitnya berucap dengan nada lirih.Aku kasihan, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Sebagai seorang anak, aku hanya bisa pasrah. Pernah trauma di masa lalu, membuatku takut untuk mendekati dua orang yang sedang bertengkar hebat."Kamu pikir aku kerja enak apa? Aku cuma kuli bangunan, Bu! Kamu ngertiinlah suami kamu! Masa uang seratus ribu nggak cukup buat seminggu?" Ayah berlalu pergi, meninggalkan ibu seorang diri, di ruang tengah.Aku dan kedua adikku menghampiri malaikat tanpa sayap itu. Air matanya yang berlinang membasahi pipi, menjadikanku dendam pada sosok ayah. Kudekap tubuhnya dengan hangat, sambil mengelus pelan punggung ibu.Yang kulakukan memang tidak ada apa-apanya. Setidaknya, aku berusaha untuk selalu ada. Aku tahu, ibu mungkin mempertahankan pernikahan, karena sayang dengan kami."Keyra, Ibu mau ngomong sebentar bisa?" Ibu melepaskan dekapanku. Sorot mata sayu itu memandang lemah. Tangan yang mulai mengeriput memegang erat jemari mungilku."Dek Wita, ajak Sifa main hp ke kamar dulu, ya?!" Aku merogoh saku celana kanan, lalu mengambil benda pipih di dalam sana. Setelahnya, kuberikan ponselku pada Sifa.Adikku hanya mengangguk. Dia mungkin mengerti, betapa sakitnya perasaan ibu. Tidak lama kemudian, mereka berdua menghilang dari balik pintu."Kenapa, Bu? Kita duduk di sofa dulu. Di sini dingin, nanti ibu sakit." Aku mengajak wanita paruh baya itu berdiri. Tanganku menopang tubuhnya."Keyra, usiamu, kan, sudah genap dua puluh satu tahun. Ibu pengen banget kamu cari kebahagiaan. Kalau kamu terus-menerus di rumah ini, ibu takut mental kamu bakalan keganggu.""Ta tapi, Bu ....""Menikahlah dengan Dean. Ibu yakin, dia pria yang baik buat kamu, Keyra. Entah kenapa, ibu ngerasa, nyawa ibu udah nggak lama lagi," ibu berkata yang tidak-tidak.Sontak aku pun menutup mulut ibu, dengan telapak tangan. Mataku berkaca-kaca. Tangisan deras pun membasahi pipiku. "Ibu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kalau ibu ninggalin kami, siapa yang bakalan sayang dengan kami lagi?"Kami berpelukan erat. Aku tidak ingin menyangkal pernyataan bahwa, seorang ibu pasti mempunyai insting baik, ketika bertemu dengan calon menantu yang baik pula. Namun, kenapa di luar sana, ada yang menikah tapi tidak bahagia? Padahal, pasangannya merupakan pilihan dari orang tuanya? Kenapa? Apa yang salah?Aku menatap nanar pada cincin perak di jari manisku. Aku teringat akan tawaran Dean yang telah disepakati. Bagaimana pun, mau tak mau, aku harus menepati janji. Mungkin membalas budi dengan cara itu adalah opsi terakhir.*(Flashback)"Apa yang harus kulakukan?" timpalku.Dean—pria tampan di depanku, memberikan sebuah cincin perak polos. Dia memasangkan cincin itu di jari manisku. Matanya fokus memandangi jemari lentik milikku, seakan sedang teringat sesuatu. "Menikahlah denganku, Keyra. Aku ingin menjadi lebih baik, dan ....""Dan? Dan apa?" Aku penasaran dengan kalimat selanjutnya. Namun, pria itu justru menjawab dengan sebuah gelengan. Pertanda tidak ingin melanjutkan perkataannya.Saat itu, pilihan berat menjerat hatiku. Andai saja kamu ada di sana, kamu pasti akan mengerti keadaanku, Elgin. Dean adalah visualisasi lelaki sempurna. Tidak, apa yang pernah kamu dengar soal, wanita akan lebih memilih yang lebih baik adalah salah. Menurutku, kamulah yang terbaik dengan versi kamu sendiri. Kisah kita tidak bisa dikalahkan hanya karena kedatangan Dean.Aku berharap takdir masih bisa diubah. Aku masih ingin mewujudkan masa depan dengan kamu. Ingatkah kamu tentang janji kita? Ya, kamu bilang mau mengajakku pergi ke Kalsel, untuk melihat pasar terapung, kan? Atau, mendatangi makan ayahmu di desa? Bagaimana dengan janji itu? Apa kabar dengan semua bullshit yang pada akhirnya menggores luka?Terlepas dari siapa yang salah. Aku sendiri tidak tahu. Kamu yang lebih dulu pergi. Lantas, kenapa ketika aku ingin mengkhianati malah tidak bisa? Sesusah itu ya, hati perempuan melupakan seorang lelaki yang benar-benar ia cintai? Andai dulu, aku tidak menaruh hati pada orang yang salah."Kamu ngelamunin apa, Ra? Kepincut kegantenganku, ya? Huh, sudah kuduga!" Dean menyentuh pipi kiriku. Sontak, aku memundurkan langkah. Tangan kanannya menahanku, agar tidak jatuh dari lantai yang licin. Memperhatikan wajah rupawannya dari jarak yang dekat, membuat hatiku berdebar kencang. Perasaan aneh timbul secara tiba-tiba."Nggak papa kok, Dean. Ma makasih, ya?" Gugup rasanya, ketika memandang kesempurnaan pria itu. Sudah kaya-raya, romantis, dan ganteng lagi. Wanita mana yang tidak menyukainya? Huh! Aku sangat merasa bersalah, karena dekat dengan pria lain selain kamu.Dean menggandeng tanganku, mengarahkan menuju pintu. Kami menuju ke luar rumah megah, dengan lampu gantung berbentuk kristal di atasnya.Pekarangan kediaman Keluarga Argantara memang patut diberi bintang seratus dari per sepuluh. Kemegahan dunia serasa nyata, tatkala aku ke sana.Sedan hitam yang selaras dengan rambut, celana, dan sepatu mahal Dean, dibuka oleh seorang supir kekar. Dua orang bodyguard membungkuk hormat, kepada tuan muda pewaris Perusahaan Arzo itu."Naiklah, Nona Keyra." Dean mempersilahkanku untuk masuk lebih dulu."Eum, baiklah. Terima kasih."Perubahan sifatnya yang kadang penuh amarah, dan kadang sangat manis membuatku bingung. Dean adalah lelaki yang tak terduga. Sebenarnya, dia itu berkepribadian ganda, atau memang hanya terbawa suasana saja? Yang jelas, hipotesis pertamaku menyimpulkan bahwa, dia adalah lelaki yang terlalu protektif, serta posesif pada pasangannya; miliknya.Saat duduk di bangku depan–samping kemudi, aku tersipu malu, lantaran sabuk pengamanku dipasangkan oleh Dean. Dia membantuku sambil mencuri-curi pandang.Kenapa rasanya aku mulai jatuh cinta? Ke mana cintaku yang setia padamu, Elgin? Apakah semuanya akan berakhir dengan orang baru yang masuk ke hidupku?Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya. Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan. Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira
Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat
Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany
"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian."Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang."Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku."Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang
Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.Notifikasi WhatsApp yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita."Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan ben
Rembulan di atas sana bulat seperti bola. Suasana malam di perkotaan terdengar ramai, dengan suara bising kendaraan yang melintas. Aku benar-benar mengantuk, dan tidak kuat lagi menopang tubuh, di sandaran kursi mobil. Jalan-jalan yang menghabiskan banyak energi, menyebabkan tubuhku lelah.Aku menyarankan dengan mata telah terpejam, "El, kita istirahat dulu, ya? Cari penginapan kek." "Lah, El siapa? Aku Ganta. Hei, El itu siapa!?" Ganta menaikkan volume suaranya. Sontak mataku pun membuka sepenuhnya.Tanpa sengaja, aku memanggil namamu, ketika sedang bersama dengan Ganta. Bagai menemui jalan buntu, aku benar-benar sangat menyesal. Lisanku tidak bisa dikontrol, tatkala aku sedang mengantuk berat. Sialnya, aku malah mengucapkan namamu dengan jelas di depannya."Oh, Si El itu ... dia itu cuma temen," ucapku berbohong. Kusembunyikan wajah panik, di balik hoddie tebal yang kukenakan. Menatap wajah bengis itu adalah trauma kedua, setelah kepergianmu, Elgin."Dalam hubungan itu yang terpent
Kami berada di Bandara Udara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ruang waiting room tampak ramai oleh turis mancanegara. Jam di arloji kiriku menunjukkan pukul enam pagi."Kamu pasti sangat merindukannya, kan?" Ganta merangkul pinggangku. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Ra."Aku hanya diam saja. Pikiran buruk yang selintas berlalu di angan, nyatanya salah besar. Aku kira, Ganta akan melakukan hal yang tidak-tidak."Pesawatnya lepas landas tiga puluh menit lagi. Kalau kamu tetap di sini, kamu bakalan ketinggalan pesawat," pungkasnya kemudian.Aku menatapnya dengan tatapan sayu. "Pernikahan kita bagaimana? Kalau aku pergi, keluargaku nanti ...."Ganta meletakkan jari telunjuknya di depan bibir mungilku. "Sttt! Aku bakalan atur sisanya. Kamu bilang, ingin pergi menemui Elgin di Kalteng, kan? Ya, lakukanlah."Pria yang awalnya bertingkah laku bak iblis itu, menampilkan senyuman manis seperti malaikat penolong. Namun, aku bisa melihat ada guratan-guratan kesedihan, yang terpancar dari uki
Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu cocok disandangkan padamu, Elgin. Setelah lima belas hari ibumu berpulang, ayahmu juga ikut kembali ke langit.Banyak tetangga yang mencibir, jikalau keluarga Zoidern terkena covid. Ya meksi, ayahmu sempat panas tinggi, Dokter Farhat tidak membenarkan itu adalah gejala covid 19.Penghujung tahun yang mengenaskan. Siapa yang dapat memperhitungkan kematian secara akurat? Tanda-tanda mungkin saja bisa disadari. Namun, apakah bisa ditentukan?Batu nisan yang ada di sana, kamu peluk erat seakan tak ingin lepas lagi. Mata yang paling indah di semesta tak kunjung berhenti mengeluarkan permata indahnya. Kamu terlihat sangat rapuh, ketika menangis.Payung-payung hitam yang ada di atas kepala, satu per satu mulai bepergian. Masker yang kita kenakan basah terkena derasnya musim hujan. Saat itu, hanya tersisa aku, kamu, dan Rossa. Gadis cantik di sampingku masih setia memayungimu. Ketulusannya berbahaya untuk hubungan kita. Aku akui, ra
"Kau pikir ini bukan kesalahanmu? Kau lihat sendiri surat ini baik-baik!" Kak Lintang meletakkan kertas yang sebelumnya kamu remukan di atas meja."Kalau saja mamah nulis nama kamu sebagai alasan dia bunuh diri, kamu mungkin udah beneran masuk penjara, El." Kak Meri yang baru datang malah memanaskan emosi.Kita berempat berkumpul di gudang belakang, setelah pemakaman selesai dilakukan. Dalam suasana duka, kedua kakak tirimu itu masih saja menaruh dendam.Ayahmu memanggil, mungkin tak keenakan karena pertengkaran itu terdengar hingga ke luar, "Elgin, Keyra, Meri, Lintang, kalian di dalam, kan?"Kak Meri meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. "Sttt! Awas aja ada yang ngomong!"Aku sedikit menundukkan kepala, takut pada wajah bengis kakak perempuanmu. Tidak lama setelahnya, ayahmu tak lagi berteriak memanggil nama kita. Tampaknya dia sudah cukup bosan berdiri di depan pintu yang masih saja tertutup itu. Karena tak ingin ayahmu menguping, Kak Lintang memastikan, apakah dia pergi atau mas
"Aku punya kabar baik untukmu, Ra." Kamu berjingkrak-jingkrak, seperti orang yang menang undian seratus milyar."Apa?" Aku antusias mendengarkan apa yang ingin kamu sampaikan, di kala senja itu. Rinai hujan yang mengguyur kita, tak kugubris.Kamu mendekat, memegangi kedua bahuku. "Kita akan segera menikah."Aku bahagia bukan kepalang. Rasanya, hanya aku yang paling beruntung. Sayap-sayap cinta kita yang selalu gagal terbang, akhirnya melebar jua."Kamu seneng, kan? Sama, aku juga." Kamu memelukku dengan sangat erat. "Aku nggak bakalan nyakitin kamu lagi, Ra."Aku menyadari sesuatu yang aneh. Tiba-tiba mataku membulat, lebar seperti lingkaran sempurna. "Elgin?" aku memanggilmu seraya membuat jarak di antara kita.Kamu bertanya dengan keterkejutan di wajah, "Kamu kenapa kayak nggak senang gitu, Ra? Kamu nggak suka ya kalo kita nikah? Atau jangan-jangan kamu masih mikirin Si Ganta?"Tuduhan yang kamu layangkan, kubalas dengan satu pertanyaan, "Apakah kita mendapatkan restu dari keduanya?
Satria membuatkan mie celor yang sangat lezat. Kurasa dia lebih cocok jadi chef. Pria itu memberikan sejumput bunga kol sebagai hiasan. Makan siang telah siap, tinggal menyantapnya saja."Jadi, kamu terima tawarannya?" dia bertanya, "kalo misal tidak, itu mungkin jauh lebih baik.""Apa rasanya mencintai orang yang memiliki banyak drama di dalam hidupnya, Sat?" aku balik bertanya pada pria yang memakai apron biru, di depan kompor.Tangan kanannya memutar pengatur besar-kecil api, menjadi off. Kemudian, berbalik ke arahku. Mata hitam pekat itu menatap khawatir, seakan ingin menyerahkan bahagianya untuk melindungi perasaanku.Aku benci situasi konyol seperti itu. Lagi pula, hidupku bukan untuk dikasihani. Kuhentakkan meja, terdengar keras sekali."Itu bukan tingkah laku yang baik, Keyra," Satria memperingatkan, tetap dengan nada lembut. Mungkin dia tak ingin menyakiti perasaanku yang hancur, karena kamu ingin menjadikanku istri sirih, Elgin.Kita bertemu, tetapi tak kunjung bersatu juga.
Kamu meminum banyak air putih. Itu merupakan ke-lima belas kali kamu menuangkan air di dalam teko. Wajahmu merana, ingin cepat keluar dari masalah."Aku nggak pengen mamah kecewa sama aku, Ra. Berbakti pada orang tua itu memang sulit. Lihatlah aku, hancur." Kamu menyandarkan tubuh ke kursi kayu.Mungkinkah aku meminta pada ibumu, agar kita bisa bersatu? Ataukah perlu mengemis, menangis, memohon tanpa jeda, untuk mendapatkan restunya? Kenapa dia tak menyukai hubungan kita?Aku mungkin bisa saja memilih Ganta sebagai pendamping hidup; merahasiakan segalanya tentangmu, setelah pulang dari Kalimantan Tengah. Namun, sosokmu, ya, hanyalah dirimu, Elgin. Aku merasa tak bisa mendapatkan orang yang sama, dalam raga berbeda.Yang paling sulit itu adalah menghancurkan kenangan, yang kita lalui selama ini. Mengapa masih ada sesak, ketika aku ingin berkata ikhlas? Nyatanya, sebaik apa pun Ganta, sampai detik itu pun, dia belum bisa menggeserkanmu sepenuhnya.Dua lelaki yang berbeda, tetapi seperti
Tri Muryani adalah adik angkat Rossa. Dia adalah gadis berusia dua puluh tahunan. Kami pernah tak sengaja bertemu di sebuah antrian Boba. Saat itu, aku mana tahu, kalau Tri–yang pakaiannya tertumpah Boba Hana, adalah adiknya Rossa."Maaf, Mbak, nanti saya ganti rugi, deh." Hana melepaskan jaket Dilannya, lalu memberikannya pada Tri.Dia hanya mengangguk, mungkin tak enakan jika ingin marah pada orang berada. "Ra, kasih uang seratus ribu buat dia, besok aku ganti," ujar Hana meminta padaku.Aku membuka dompet, dan memberikan selembar uang berwarna merah kepada Tri. Gadis yang mempunyai rambut pendek sebahu dengan potongan bob itu menerimanya, tanpa berkata apa-apa.Kupikir di hari itu adalah pertemuan terakhir kami. Namun nyatanya, kami bertemu lagi, saat kita mengunjungi rumah Rossa."Dia bukan gadis miskin seperti perkiraan Hana," gumamku sambil melihat-lihat pagar setinggi empat meteran itu."Rumahnya punya banyak keamanan tingkat tinggi. Wajar sih, orang yang punya rumah aja harga
Kita mampir ke sebuah rumah yang dihuni oleh keluargamu. Tempat tinggal yang tergolong minimalis, tetapi cukup lengkap perabotnya itu menggetarkan benak. Apakah kamu tidak merasa sesak berada di dalamnya?Sofa yang terlihat usang, dan warnanya sudah berubah itu kududuki dengan sedikit ketidaknyamanan. Aku menatapmu, mengode ingin cepat-cepat pulang saja.Bukannya tidak betah. Aku justru ketakutan karena mungkin akan bertemu dengan ibumu. Apa yang harus kulakukan, ketika bersalaman dengan ibumu? Argh! Otakku hampir meledak memikirkannya.Kamu meletakkan dua cangkir teh hangat, di depanku. Makanan ringan yang kamu bawa tak lupa juga ditaruh. Kamu berlaku sopan, dan nampak baik."Harus ya mengunjungi rumah kamu, El? Bukannya kita bakalan ke rumah Rossa, ya?" Aku memulai obrolan, tidak ingin terlibat kecanggungan.Kamu mengernyitkan dahi. "Loh, kok nggak mau? Ini, kan, bakalan jadi rumah kamu juga, Ra. Masa nggak mau sih ketemu sama camer sendiri."Aku memandang ke sebuah potret pernikaha
Cincin Semanggi Empat yang pernah kita bicarakan, sebelum bertemu. Sebelumnya, aku begitu menginginkan benda melingkar kecil, khusus hiasan jemari itu."Kenapa Semanggi, By? Bukannya bisa motif yang lain? Misalnya kayak bentuk yang lain kayak kucing, bunga, naga," saranmu, saat itu.Bagi mereka yang tak mengerti makna, mungkin tak bisa memahami secara detail. Daun semanggi empat adalah variasi langka dari daun semanggi tiga yang umum. Perbandingan dengan daun semanggi berhelai tiga adalah 1:10.000. Itu sebabnya, ada legenda yang mengatakan bahwa, daun semanggi berhelai empat membawa keberuntungan.Aku memang tak terlalu percaya pada hal seperti itu. Namun, keinginan memilikinya sudah menjadi bagian dari impian. Rumit, kan? Ya, salah sendiri resiko mencintai seorang gadis tukang khayal.Pernikahan bukanlah ajang permainan, ataupun lomba agar tak terus dihujat tetangga, karena belum juga mendapatkan pasangan hidup. Kata ibu, hubungan sehidup semati pun bisa putus–cerai atau talak. Oleh
Kain penutup mataku dilepaskan olehmu. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Ada banyak lilin yang menyala, di pinggiran jalan setapak kecil. Taman kecil itu dipenuhi dengan bunga-bunga mawar berwarna merah muda, merah terang, dan putih. "Aku ingin kamu menjadi orang yang kusebut sebagai istri. Kamu tahu, aku nggak bisa romantis-romantis kayak di film Dilan. Tapi aku selalu punya cara untuk mencintaimu, lebih dari kamu mencintaiku, Ra." Kamu yang mengenakan toxedo memasangkan sebuah cincin di jari manisku.Kamu sangat sempurna, meksi tak bisa menjadi pria romantis, Elgin. Aku jatuh cinta bukan pada caramu memperlakukan, tetapi karena hati. Ketulusan yang kulihat dari matamu yang indah. Aku jatuh hati padamu, dan akan selalu begitu.Dritt!Nada ponselku mengacaukan suasana bahagia kita. Masih malu-malu, aku pun meminta izin, untuk mengangkat telepon sebentar. Kamu mengiyakan.Aku berjalan sekitar lima belas langkah darimu. Buru-buru kuangkat panggilan dari Ganta. Kenapa dia? Apakah ad