Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya.
Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku.Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan.Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira berkata, hingga lelah sendiri. Menjadi menantu orang kaya, bagiku bukanlah suatu kehormatan.Aku dan Dean tidak saling mencintai. Ditambah, aku juga masih labil karena usiaku belum terlalu matang, untuk menjalani jenjang yang lebih serius.Seorang pria yang baru datang langsung memelukku erat. Lagi-lagi, dia selalu melakukan hal itu. Aku memberikan jarak, membuang muka, dan tidak memberikan seulas senyum untuknya.Pada malam sebelumnya, aku bermimpi buruk. Di dalam bunga tidurku, kamu nampak sangat marah, dan tidak mau menegurku lagi. Aku khawatir hal itu akan menjadi kenyataan. Karena itulah, aku pun tidak mau lagi merespon Dean."Kamu kenapa, sih, Ra!? Kok berubah gini? Kamu nggak bahagia ya dengan aku? Bentar-bentar, hum, kamu kurang suka ya, dengan gaun putih polos?" tanya pria itu dengan keterkejutan di wajahnya.De javu rasanya, ketika mendengar Dean mengatakan kalimat itu. Ya, ucapannya sama dengan, yang sering kamu katakan, ketika kamu insicure. Aku memejamkan mata, mencoba menghilangkan pikiran buruk. Setelah menghela nafas panjang, aku berkata,"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Dean. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik aja kok.""Nenekku benar, aku nggak salah memilih calon istri yang baik." Dean memberikan gelang emas, yang memiliki motif bunga mawar berantai.Lelaki yang punya banyak uang, mampu membelikan barang-barang mahal. Namun, sanggupkah ia memberi kesetiaan? Trauma karena pernah ditinggalkan olehmu, membuat hatiku mati rasa."Oh iya, panggil aja aku Ganta, Ra. Nama kecilku Ganta," timpalnya kemudian.Aku bertanya dengan keterkejutan di wajahku, "Serius, aku boleh manggil kamu dengan sebutan Ganta?""Mas Ganta aja. Kalau Dean itu udah umum, dan khusus untuk orang luaran saja. Kamu, kan, calon istriku, jadi bolehnya manggil Mas Ganta aja.""Iya, iya, Mas Ganta yang sok ganteng!" Jujur, aku tidak ingin memperpanjang topik, makanya aku langsung menyetujui permintaannya.Seminggu setelahnya, aku memutuskan untuk singgah sebentar ke rumah teman lama. Ganta tidak mengantarku. Katanya, ada rapat penting untuk kepentingan perusahaan. Makanya, dia memberiku uang transportasi saja.Awalnya aku menolak, tetapi akal pria itu cukup panjang. Ya, dia memberikanku uang terang-terangan di depan ibu. Tentu, aku tidak bisa menolak. Jika aku tidak mengambil uang itu, ibu akan curiga pada hubungan kami.Pria yang tidak suka dipanggil Dean, dan lebih suka disebut dengan nama Ganta. Iya, pria itu yang membuatku berpikir bahwa, kamu bukan hanya satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka, Elgin.Aku naik angkot, berdesakan dengan para penumpang yang egois. Lusi—teman lama yang pernah lost kontak, menghubungi nomor WhatsAppku. Kami berbincang-bincang tentang masalah place wedding.Bagiku, Lusi adalah satu-satunya teman lama, atau mungkin hanya aku yang menganggapnya begitu. Setahuku, Lusi hanya akrab denganku, ketika ada kerja kelompok, waktu pertengahan kelas dua SMA. Betapa bodohnya aku yang menganggap dia sebagai teman, tetapi dia mengganggapku hanya sebagai orang yang dibutuhkan.Ponselku bergetar–pertanda ada notifikasi masuk. Aku pun memeriksanya. Sebelumnya, aku telah memantau keadaan sekitar, apakah aman atau tidak. Karena menurutku, kriminalitas bisa saja terjadi di mana pun. Menjaga tingkat kewaspadaan sangat penting, ketika berada di angkutan umum.Kulihat tiga pesan dari Dara—adik onlinemu yang beda satu provinsi. Dia mengirimkan pesan berisi,Dara Kalteng : "Mbak Ra, kenapa nggak ke sini?"Dara Kalteng : "Mbak, udah tahu kabar belum?"Dara Kalteng : "Kak Elgin baru bangun dari koma. Maaf, Mbak, bukannya Dara nggak mau kasih tahu. Aku aja baru tahu hari ini. Kakak nggak ke sini, ya?"Tanganku seketika berkeringat dingin. Bagaimana bisa dua orang yang sangat kupercayai, mengatakan fakta yang berbeda? Kak Irene menyampaikan bahwa, kamu telah mendustakan cinta kita di belakangku. Sebaliknya, Dara bilang, kamu baru bangun dari koma. Saat itu, aku benar-benar kewalahan menampung overthinking yang bermunculan.Kubatalkan janji temu dengan Lusi. Dalam langkah panik, aku pun kembali ke rumah. Namun, bukannya mendapatkan saran, aku malah dipaksa untuk melupakan kamu. Dek Wita agaknya menaruh dendam padamu. Ya, kecelakaan yang menimpamu mungkin saja tidak benar. Dia bilang, kamu cuma ingin aku ke sana, agar bisa membatalkan pernikahan dengan Ganta.Sepenuh hati, aku memang merasakan firasat buruk, sembilan bulan sebelumnya. Ya, saat itu, kita masih berhubungan lewat media sosial. Dulu, aku beranggapan bahwa, kita tidak akan pernah berpisah."Selamat pagi, Sayang. Jangan lupa makan! Jangan lupa semangat buat hari ini! Oh iya, aku berangkat kerja pagi. Sorry ya, belum bisa nemenin kamu pas kamu begadang. See you, Babe." Pesan itu adalah chat yang terakhir.Saat membacanya, mataku seringkali mengeluarkan tangis yang susah untuk reda. Menyembuhkan luka karena cintamu, rasanya butuh waktu lama.Apakah kamu sebenarnya kecelakaan, ketika berangkat kerja? Aku kembali dihadapkan dengan pilihan sulit. Ketika hati sudah rela untuk melepaskan, mengapa kamu datang kembali?"Nak, mikirin apa? Kamu dari tadi ngelamun mulu." Ibu meletakkan segelas teh di atas meja makan.Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Nggak ada kok, Bu. Keyra cuma kecapekan aja.""Ibu senang kamu bisa mendapatkan lelaki yang baik. Dean tadi ngasih Ibu uang bulanan, untuk kebutuhan sama buat beli obat. Dari nasibmu yang baik, kamu pasti bakal lebih bahagia dengannya. Nggak kayak ayah kamu ... Ibu dulu salah pilih pasangan." Ibu mengambil beberapa piring kotor. Kemudian, meletakkannya di atas nampan yang beliau bawa.Pernikahan orang tuaku gagal. Ibu tidak ingin aku sedih, karena nasib buruk yang menimpa. Ibu adalah satu-satunya alasanku tetap bertahan hidup, dan tidak jadi bunuh diri. Aku sangat menyayanginya, lebih dari sayang dengan diri sendiri."Syukurlah kalau begitu, Bu. Keyra ikut senang." Aku menampilkan senyum manis di wajah. Meksipun, hatiku begitu terluka mengucapkan kata-kata kebahagiaan itu.Dua hari setelahnya, aku dan Ganta pergi ke tempat percetakan undangan, di Kota Muaradua. Hanya ada kekosongan di wajah datarku. Pikiranku semu, hanya terfokus memikirkan kondisimu. Berat rasanya melangkah bersama pria, yang mengenakan setelan hitam itu.Aku memohon dengan mata memelas, "Kayaknya kita mendingan cetak undangannya Minggu depan aja, ya?" Kuharap, dia tidak banyak bertingkah layaknya majikan pada pelayannya.Ganta tampak sibuk bermain ponsel. Dia begitu berbeda denganmu, Elgin. Dulunya sebelum kita lost kontak, kamu bisa membagi waktu untukku, dan untuk duniamu sendiri.Sungguh pedih rasanya dipermainkan oleh skenario kehidupan. Apakah memang tidak ada jalan lain bagiku, selain bersama orang lain?Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat
Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany
"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian."Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang."Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku."Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang
Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.Notifikasi WhatsApp yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita."Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan ben
Rembulan di atas sana bulat seperti bola. Suasana malam di perkotaan terdengar ramai, dengan suara bising kendaraan yang melintas. Aku benar-benar mengantuk, dan tidak kuat lagi menopang tubuh, di sandaran kursi mobil. Jalan-jalan yang menghabiskan banyak energi, menyebabkan tubuhku lelah.Aku menyarankan dengan mata telah terpejam, "El, kita istirahat dulu, ya? Cari penginapan kek." "Lah, El siapa? Aku Ganta. Hei, El itu siapa!?" Ganta menaikkan volume suaranya. Sontak mataku pun membuka sepenuhnya.Tanpa sengaja, aku memanggil namamu, ketika sedang bersama dengan Ganta. Bagai menemui jalan buntu, aku benar-benar sangat menyesal. Lisanku tidak bisa dikontrol, tatkala aku sedang mengantuk berat. Sialnya, aku malah mengucapkan namamu dengan jelas di depannya."Oh, Si El itu ... dia itu cuma temen," ucapku berbohong. Kusembunyikan wajah panik, di balik hoddie tebal yang kukenakan. Menatap wajah bengis itu adalah trauma kedua, setelah kepergianmu, Elgin."Dalam hubungan itu yang terpent
Kami berada di Bandara Udara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ruang waiting room tampak ramai oleh turis mancanegara. Jam di arloji kiriku menunjukkan pukul enam pagi."Kamu pasti sangat merindukannya, kan?" Ganta merangkul pinggangku. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Ra."Aku hanya diam saja. Pikiran buruk yang selintas berlalu di angan, nyatanya salah besar. Aku kira, Ganta akan melakukan hal yang tidak-tidak."Pesawatnya lepas landas tiga puluh menit lagi. Kalau kamu tetap di sini, kamu bakalan ketinggalan pesawat," pungkasnya kemudian.Aku menatapnya dengan tatapan sayu. "Pernikahan kita bagaimana? Kalau aku pergi, keluargaku nanti ...."Ganta meletakkan jari telunjuknya di depan bibir mungilku. "Sttt! Aku bakalan atur sisanya. Kamu bilang, ingin pergi menemui Elgin di Kalteng, kan? Ya, lakukanlah."Pria yang awalnya bertingkah laku bak iblis itu, menampilkan senyuman manis seperti malaikat penolong. Namun, aku bisa melihat ada guratan-guratan kesedihan, yang terpancar dari uki
Pusat kota yang ramai. Keindahan alam yang bersatu dengan kehidupan masyarakat, sangat indah sekali. Andai ponselku tidak hilang, mungkin sudah penuh dengan foto-foto aesthetic di sana. Sangat disayangkan, tidak mengabadikan banyak momen.Aku ditraktir makan mie ayam oleh Satria. Pria itu agaknya menganggapku sebagai seorang adik. Ya, dia pernah keceplosan,"Aku dari dulu pengen punya adek perempuan, Ra. Boleh nggak aku anggap kamu gitu? Eh, maaf, kita baru kenal, dan nggak sopan kalau aku sampai banyak bicara yang nggak-nggak."Akan tetapi, tujuanku bukanlah untuk bersenang-senang. Ya, karena pertemuan kami pasti akan menemui perpisahan, aku pun sedikit menjaga jarak dengannya. Lagi pula, dia adalah orang baru, dan belum bisa dipastikan, apakah baik dengan maksud terselubung, atau memang benar-benar baik.Aku menghembuskan napas dalam-dalam, setelah menghabiskan dua mangkok mie ayam porsi besar. "Ya ampun, aku kebanyakan makan. Eh, Sat, maafin aku, ya.""Nggak apa-apa kok, Ra. Santai
Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu cocok disandangkan padamu, Elgin. Setelah lima belas hari ibumu berpulang, ayahmu juga ikut kembali ke langit.Banyak tetangga yang mencibir, jikalau keluarga Zoidern terkena covid. Ya meksi, ayahmu sempat panas tinggi, Dokter Farhat tidak membenarkan itu adalah gejala covid 19.Penghujung tahun yang mengenaskan. Siapa yang dapat memperhitungkan kematian secara akurat? Tanda-tanda mungkin saja bisa disadari. Namun, apakah bisa ditentukan?Batu nisan yang ada di sana, kamu peluk erat seakan tak ingin lepas lagi. Mata yang paling indah di semesta tak kunjung berhenti mengeluarkan permata indahnya. Kamu terlihat sangat rapuh, ketika menangis.Payung-payung hitam yang ada di atas kepala, satu per satu mulai bepergian. Masker yang kita kenakan basah terkena derasnya musim hujan. Saat itu, hanya tersisa aku, kamu, dan Rossa. Gadis cantik di sampingku masih setia memayungimu. Ketulusannya berbahaya untuk hubungan kita. Aku akui, ra
"Kau pikir ini bukan kesalahanmu? Kau lihat sendiri surat ini baik-baik!" Kak Lintang meletakkan kertas yang sebelumnya kamu remukan di atas meja."Kalau saja mamah nulis nama kamu sebagai alasan dia bunuh diri, kamu mungkin udah beneran masuk penjara, El." Kak Meri yang baru datang malah memanaskan emosi.Kita berempat berkumpul di gudang belakang, setelah pemakaman selesai dilakukan. Dalam suasana duka, kedua kakak tirimu itu masih saja menaruh dendam.Ayahmu memanggil, mungkin tak keenakan karena pertengkaran itu terdengar hingga ke luar, "Elgin, Keyra, Meri, Lintang, kalian di dalam, kan?"Kak Meri meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. "Sttt! Awas aja ada yang ngomong!"Aku sedikit menundukkan kepala, takut pada wajah bengis kakak perempuanmu. Tidak lama setelahnya, ayahmu tak lagi berteriak memanggil nama kita. Tampaknya dia sudah cukup bosan berdiri di depan pintu yang masih saja tertutup itu. Karena tak ingin ayahmu menguping, Kak Lintang memastikan, apakah dia pergi atau mas
"Aku punya kabar baik untukmu, Ra." Kamu berjingkrak-jingkrak, seperti orang yang menang undian seratus milyar."Apa?" Aku antusias mendengarkan apa yang ingin kamu sampaikan, di kala senja itu. Rinai hujan yang mengguyur kita, tak kugubris.Kamu mendekat, memegangi kedua bahuku. "Kita akan segera menikah."Aku bahagia bukan kepalang. Rasanya, hanya aku yang paling beruntung. Sayap-sayap cinta kita yang selalu gagal terbang, akhirnya melebar jua."Kamu seneng, kan? Sama, aku juga." Kamu memelukku dengan sangat erat. "Aku nggak bakalan nyakitin kamu lagi, Ra."Aku menyadari sesuatu yang aneh. Tiba-tiba mataku membulat, lebar seperti lingkaran sempurna. "Elgin?" aku memanggilmu seraya membuat jarak di antara kita.Kamu bertanya dengan keterkejutan di wajah, "Kamu kenapa kayak nggak senang gitu, Ra? Kamu nggak suka ya kalo kita nikah? Atau jangan-jangan kamu masih mikirin Si Ganta?"Tuduhan yang kamu layangkan, kubalas dengan satu pertanyaan, "Apakah kita mendapatkan restu dari keduanya?
Satria membuatkan mie celor yang sangat lezat. Kurasa dia lebih cocok jadi chef. Pria itu memberikan sejumput bunga kol sebagai hiasan. Makan siang telah siap, tinggal menyantapnya saja."Jadi, kamu terima tawarannya?" dia bertanya, "kalo misal tidak, itu mungkin jauh lebih baik.""Apa rasanya mencintai orang yang memiliki banyak drama di dalam hidupnya, Sat?" aku balik bertanya pada pria yang memakai apron biru, di depan kompor.Tangan kanannya memutar pengatur besar-kecil api, menjadi off. Kemudian, berbalik ke arahku. Mata hitam pekat itu menatap khawatir, seakan ingin menyerahkan bahagianya untuk melindungi perasaanku.Aku benci situasi konyol seperti itu. Lagi pula, hidupku bukan untuk dikasihani. Kuhentakkan meja, terdengar keras sekali."Itu bukan tingkah laku yang baik, Keyra," Satria memperingatkan, tetap dengan nada lembut. Mungkin dia tak ingin menyakiti perasaanku yang hancur, karena kamu ingin menjadikanku istri sirih, Elgin.Kita bertemu, tetapi tak kunjung bersatu juga.
Kamu meminum banyak air putih. Itu merupakan ke-lima belas kali kamu menuangkan air di dalam teko. Wajahmu merana, ingin cepat keluar dari masalah."Aku nggak pengen mamah kecewa sama aku, Ra. Berbakti pada orang tua itu memang sulit. Lihatlah aku, hancur." Kamu menyandarkan tubuh ke kursi kayu.Mungkinkah aku meminta pada ibumu, agar kita bisa bersatu? Ataukah perlu mengemis, menangis, memohon tanpa jeda, untuk mendapatkan restunya? Kenapa dia tak menyukai hubungan kita?Aku mungkin bisa saja memilih Ganta sebagai pendamping hidup; merahasiakan segalanya tentangmu, setelah pulang dari Kalimantan Tengah. Namun, sosokmu, ya, hanyalah dirimu, Elgin. Aku merasa tak bisa mendapatkan orang yang sama, dalam raga berbeda.Yang paling sulit itu adalah menghancurkan kenangan, yang kita lalui selama ini. Mengapa masih ada sesak, ketika aku ingin berkata ikhlas? Nyatanya, sebaik apa pun Ganta, sampai detik itu pun, dia belum bisa menggeserkanmu sepenuhnya.Dua lelaki yang berbeda, tetapi seperti
Tri Muryani adalah adik angkat Rossa. Dia adalah gadis berusia dua puluh tahunan. Kami pernah tak sengaja bertemu di sebuah antrian Boba. Saat itu, aku mana tahu, kalau Tri–yang pakaiannya tertumpah Boba Hana, adalah adiknya Rossa."Maaf, Mbak, nanti saya ganti rugi, deh." Hana melepaskan jaket Dilannya, lalu memberikannya pada Tri.Dia hanya mengangguk, mungkin tak enakan jika ingin marah pada orang berada. "Ra, kasih uang seratus ribu buat dia, besok aku ganti," ujar Hana meminta padaku.Aku membuka dompet, dan memberikan selembar uang berwarna merah kepada Tri. Gadis yang mempunyai rambut pendek sebahu dengan potongan bob itu menerimanya, tanpa berkata apa-apa.Kupikir di hari itu adalah pertemuan terakhir kami. Namun nyatanya, kami bertemu lagi, saat kita mengunjungi rumah Rossa."Dia bukan gadis miskin seperti perkiraan Hana," gumamku sambil melihat-lihat pagar setinggi empat meteran itu."Rumahnya punya banyak keamanan tingkat tinggi. Wajar sih, orang yang punya rumah aja harga
Kita mampir ke sebuah rumah yang dihuni oleh keluargamu. Tempat tinggal yang tergolong minimalis, tetapi cukup lengkap perabotnya itu menggetarkan benak. Apakah kamu tidak merasa sesak berada di dalamnya?Sofa yang terlihat usang, dan warnanya sudah berubah itu kududuki dengan sedikit ketidaknyamanan. Aku menatapmu, mengode ingin cepat-cepat pulang saja.Bukannya tidak betah. Aku justru ketakutan karena mungkin akan bertemu dengan ibumu. Apa yang harus kulakukan, ketika bersalaman dengan ibumu? Argh! Otakku hampir meledak memikirkannya.Kamu meletakkan dua cangkir teh hangat, di depanku. Makanan ringan yang kamu bawa tak lupa juga ditaruh. Kamu berlaku sopan, dan nampak baik."Harus ya mengunjungi rumah kamu, El? Bukannya kita bakalan ke rumah Rossa, ya?" Aku memulai obrolan, tidak ingin terlibat kecanggungan.Kamu mengernyitkan dahi. "Loh, kok nggak mau? Ini, kan, bakalan jadi rumah kamu juga, Ra. Masa nggak mau sih ketemu sama camer sendiri."Aku memandang ke sebuah potret pernikaha
Cincin Semanggi Empat yang pernah kita bicarakan, sebelum bertemu. Sebelumnya, aku begitu menginginkan benda melingkar kecil, khusus hiasan jemari itu."Kenapa Semanggi, By? Bukannya bisa motif yang lain? Misalnya kayak bentuk yang lain kayak kucing, bunga, naga," saranmu, saat itu.Bagi mereka yang tak mengerti makna, mungkin tak bisa memahami secara detail. Daun semanggi empat adalah variasi langka dari daun semanggi tiga yang umum. Perbandingan dengan daun semanggi berhelai tiga adalah 1:10.000. Itu sebabnya, ada legenda yang mengatakan bahwa, daun semanggi berhelai empat membawa keberuntungan.Aku memang tak terlalu percaya pada hal seperti itu. Namun, keinginan memilikinya sudah menjadi bagian dari impian. Rumit, kan? Ya, salah sendiri resiko mencintai seorang gadis tukang khayal.Pernikahan bukanlah ajang permainan, ataupun lomba agar tak terus dihujat tetangga, karena belum juga mendapatkan pasangan hidup. Kata ibu, hubungan sehidup semati pun bisa putus–cerai atau talak. Oleh
Kain penutup mataku dilepaskan olehmu. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Ada banyak lilin yang menyala, di pinggiran jalan setapak kecil. Taman kecil itu dipenuhi dengan bunga-bunga mawar berwarna merah muda, merah terang, dan putih. "Aku ingin kamu menjadi orang yang kusebut sebagai istri. Kamu tahu, aku nggak bisa romantis-romantis kayak di film Dilan. Tapi aku selalu punya cara untuk mencintaimu, lebih dari kamu mencintaiku, Ra." Kamu yang mengenakan toxedo memasangkan sebuah cincin di jari manisku.Kamu sangat sempurna, meksi tak bisa menjadi pria romantis, Elgin. Aku jatuh cinta bukan pada caramu memperlakukan, tetapi karena hati. Ketulusan yang kulihat dari matamu yang indah. Aku jatuh hati padamu, dan akan selalu begitu.Dritt!Nada ponselku mengacaukan suasana bahagia kita. Masih malu-malu, aku pun meminta izin, untuk mengangkat telepon sebentar. Kamu mengiyakan.Aku berjalan sekitar lima belas langkah darimu. Buru-buru kuangkat panggilan dari Ganta. Kenapa dia? Apakah ad