Sementara itu Harlin terdiam seperti terhipnotis oleh satu keping koin seribu rupiah yang ada di tangannya. Dia termenung, nampak membalik-balik koin tersebut seperti sedang larut dalam pikirannya.
“Makhluk tak kasat mata yang aku sebut sebagai parasit itu,” ujar Mansa meneruskan penjelasannya.
“Bisa dikatakan adalah makhluk hidup yang tidak tersusun oleh materi, tapi hanya berupa energi. Alasan dia menempel pada tangan Chyntia adalah karena dia sedang dalam keadaan kritis di mana inti tubuhnya mengalami peluruhan.”
“Dia mencoba menstabilkan diri dan secara insting dia memilih menempel pada tubuh Chyntia. Itu memicu ketidakstabilan pertumbuhan sel dan dari situlah tumor ganas itu terbentuk,” jelas Mansa menghubungkan cerita panjangnya itu pada kejadian yang baru saja mereka alami.
Namun Harlin nampak masih seperti terhipnotis oleh koin tersebut, seperti memikirkan sesuatu.
“Tunggu, sepertinya aku in
Seperti teringat akan sesuatu, Mike berbalik kembali menuju ruangan Harlin. Dilihatnya pintu ruangan tersebut masih terbuka. Mikepun mengetuk pintunya sekadar berbasa-basi pada Harlin atas kedatangannya itu. “Ada apa lagi?” tanya Harlin. “Aku jadi ingat sesuatu,” ujar Mike sembari memberikan kantong berisi narkoba yang sedang dia selidiki saat ini bersama Agus. “Aku hanya ingin memastikannya saja.” “Tapi benar kan ini Opioid Sintetis?” Mendengar nama itu, Harlinpun langsung membuang bungkusan tersebut dengan ekspresi wajah serius. “Apa kau lupa betapa sulitnya aku ribut-ribut dengan mereka soal pabrik farmasi kita ini? Dan kau seenaknya saja membawa barang ini ke sini?” bentaknya. “Hey, hey.. tenang dulu Harlin,” seru mike nampak panik karena sama sekali tidak menduga Harlin akan bereaksi seperti itu. Sedikit dia menghelas nafas da
Setelah lebih dari seminggu di rawat, Chyntia kembali sehat nyaris seperti seseorang yang tak pernah mengidap kanker ataupun tumor. Satu-satunya yang tersisa dari kejadian itu hanyalah bekas sayatan yang dibuat oleh Harlin. Seperti yang dikatakan Mansa, munculnya sel tumor itu hanyalah karena ketidakstabilan dari energi makhluk halus yang sedang sekarat yang sempat menjadi parasit di tangan Chyntia. Semua berjalan nampak normal setelah itu. Begitupun dengan Mansa. Sudah berhari-hari dia seperti menikmati kehidupan yang baru. Apa lagi dalam dua hari belakangan dia nampak begitu hidup, bersemangat seperti tak memiliki beban, bahkan tak jarang Yono mendapatinya bersenandung dalam kesibukannya menyelesaikan pekerjaan. Lagi pula hari ini hari yang dinanti-nantikannya. Hari ini adalah hari diadakannya pesta perpisahan bersama teman-teman sekelasnya dulu. Bagi sebagian orang mungkin acara ini hanya terlihat sebagai acara makan-makan dan kumpul-kumpul belaka. Tapi bagi Mansa
“Aku pikir kalian tidak akan mau datang ke acara seperti ini,” ujar Mansa setelah menghampiri dua orang tersebut. “Ehem.., masih Mansa yang sama...” ujar Dodi menyambut kedatangannya. “Selalu ceplas-ceplos dengan sindiran seperti biasanya.” Meski berbicara saling menyindir seperti itu, saat ini sama sekali tidak terlihat ketiga orang tersebut saling membenci. Bahkan Eri menarik dua piring yang cukup jauh dari tempat duduknya, satu piring berisi batagor, sementara satu piring yang lebih kecil berisi saus sambal sebagai temannya, untuk ditawarkannya pada Mansa. “Duduklah,” tawar Eri mempersilakannya. “Tunggu dulu, jangan bilang tempat ini dikhususkan untuk orang-orang yang tak diharapkan kehadirannya,” seru Mansa dengan senyum jenaka seakan mengejek. Saat ini memang ada kesan Eri dan Dodi duduk menjauh dari teman-teman kelas yang lainnya. Sekarang ditambah dengan
Tak seperti kota metropolitan, Padang hampir tidak memiliki gedung-gedung tinggi. Jika dilihat dari ketinggian bukit di Panorama I itu, hanya terlihat seperti hamparan luas yang datar yang diapit oleh beberapa jari-jari Bukit Barisan bagaikan pagar yang mengelilingi kota tersebut. Pada sisi barat adalah Samudera Hindia yang menghampar luas sejauh mata memandang. Indahkah? Tidak juga. Salah satu kebiasan yang sudah menjadi turun temurun sejak zaman nenek moyang dulu yang masih dipraktekan di hampir setiap sudut kota ini adalah kebiasaan membakar sampah di sore hari. Bukan juga kebiasaan khusus. Hampir tak ada sedikitpun komando, ajakan atau himbauan yang jelas untuk melakukan kebiasaan itu. Anehnya, entah kenapa, hampir di setiap sudut kota mereka seakan serentak melakukan itu di setiap sore. Hasilnya, kota yang berada hampir sejajar dengan permukaan air laut, di negera tropis katulistiwa, yang tak seharusnya ada kabut yang menutupi, namun setiap sore kota ini
“Aneh kenapa?” tanya Mansa yang saat ini sedang menunggu Hpnya kembali menyala.<< Mungkin kamu tak memperhatikannya karena sibuk dengan HP itu >><< Tapi rasanya wanita yang baru saja lewat di sini menatapmu dengan pandangan yang buruk. Padahal seingatku, sejak dulu pertama kali kita ke sini dia sama sekali tidak memiliki ekspresi seperti itu >>Mendengar itu, akhirnya Mansa menjauhkan pandangannya dari HPnya tersebut. Baru setelah itu, dia merasakan sensasi yang tak biasa di sekitar ruangan itu. Sesaat kemudian perhatiannya tertuju pada tiga orang asing yang baru saja datang.“Mereka...” gumam Mansa dengan ekspresi serius sedikit keheranan.<< Ya, aku juga merasakan sensasi yang aneh dari mereka >>Beberapa saat kemudian, angin dingin berhembus pelan, suara daun-daun terdengar begitu jelas oleh Mansa seakan suar
Beberapa menit sebelumnya. Di sisi kota lain Mike bersama Agus dan Arif sedang bertolak ke sebuah tempat yang dulu menjadi kompleks olah raga kota Padang. Tempat itu sudah lama tidak terpakai karena kondisinya yang tak terurus. Beberapa bangunan sudah rubuh, sementara bangunan lain yang masih berdiri masih berantakan tak terurus. Tempat itu sepi dan gelap karena tidak ada yang tinggal di sana. “Tunggu sebentar Mik!” seru Agus. “Sebaiknya kita menepi saja di luar ini. Jangan bawa mobilnya ke dalam kompleks tersebut. Aku takut jika memang ada salah satu anggota kita yang terlibat, ada resiko mereka akan mengenali mobilmu ini” “Oh, ya sudah. Kalau gitu kita terus saja berjalan beberapa blok dulu.” “Kalau tiba-tiba berhenti, justru akan mencurigakan, kan?” Setelah mengendari mobil beberapa blok ke depan, Mike menyeberang dan kemudian masuk ke dalam blok perumahan lain dan menepika
Tepat seperti yang diduga oleh Mike, Aryan memang berlari ke arah di mana dirinya dan Agus tadi bersembunyi. Dari atas tribun itu dengan lincahnya Aryan melopat turun. Sekali dia berjungkir balik dan dengan elegan kedua kakinya mendarat di lantai dasar. Segera setelah itu dia memacu larinya karena preman-preman itu sudah mencoba mengejarnya. Aryan berlari ke arah di mana Mike dan Agus tadi bersembunyi, tapi mereka berdua sudah tidak lagi berada di sana. Dengan gesit Aryan menaiki dinding tembok itu dan melompat ke luar. Dari taman di halaman depan gedung Kolam Renang itu Aryan langsung berlari dan melompati pagar halaman, bergegas ke arah gedung Lapangan Basket yang berada di seberang jalan. Dia terus saja berlari dan preman itu terus memburunya sembari berteriak-teriak. Cukup aneh kenapa aryan memilih kabur, padahal bisa saja dia meladeni mereka semua. Sedikit panik dia mencoba bersembunyi di balik sebuah tong sampah, dan dengan nafas pendek nampak ragu-ragu, dia me
Kembali beberapa menit sesaat ketika Mansa tidak mendapatkan jawaban dari Mike, ketika semua temannya di rumah makan itu sudah rebah tak sadarkan diri. Dua orang asing yang datang tak diundang itu sekarang duduk santai di sebuah meja seperti tak mempedulikan kekacauan yang baru saja mereka buat. Satu orang berbadan besar dan kekar, satunya lagi sedikit lebih ramping dan sedikit lebih kecil. Meskipun begitu, keduanya terlihat jauh lebih besar dan lebih tua dari Mansa yang hanya seorang remaja SMP. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Mansa mencoba mengulur waktu sembari memikirkan solusi untuk keluar dari masalah itu. Dia tahu kedua orang itu mengincarnya, tapi dia tak bisa lari begitu saja meninggalkan teman-temannya tergeletak seperti itu. Tak ada yang tahu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang itu pada teman-temannya nanti jika Mansa memilih kabur. << Bagaimana menurutmu, Mansa? >> <