Garis-garis sinar cahaya dari luar ruangan masuk di sela-sela dinding gubuk dari anyaman pandan. Pada garis cahaya itu terlihat butir-butir debu bergerak begitu lambat. Tak ada suara yang terdengar, sementara pandangannya begitu kabur seakan udara di sekelilingnya memuai.
Samar-samar terdengar suara anak-anak dari luar bernyanyi dengan bahasa sunda, nyanyian anak-anak yang sudah sangat lama tidak didengarnya.
Cingciripit
Tulang Bajing Kacapit
Kacapit Ku Bulu Pare
Bulu Pare Seuseukeutna
Jol Pa Dalang Mawa Wayang
Jrek-jrek Nong, Jrek-jrek Nong
“aa.., um.., aku boleh ikut?”
Anak-anak yang sedang bermain itu tiba-tiba berhenti, dan menoleh dengan gerakan yang begitu lambat. Wajah mereka nampak cemberut, namun ada satu orang nampak tersenyum dengan ramah.
“Boleh, mari sini ikut,” ajaknya.
“Eh kok dia diajak sih?” seru anak yang
Dia terus menutup mata dan kedua telinganya karena ketakutan, tapi dia tak sanggup menghentikan suara ajakan itu. Pada akhirnya, dia memaksa memberanikan diri berniat untuk melawan namun tiba-tiba sekarang malah terlihat sesosok monster bertanduk dengan badan yang begitu besar berdiri di depannya. Monster itupun mengulurkan tangannya seperti juga ingin mengajaknya ikut, dan tiba-tiba dada monster itu menggelembung dan... Kyaaaa... Haah... haah.. haaah... Nafasnya begitu pendek terengah-engah, sementara badannya basah oleh keringat dingin. Dia begitu pucat dan ketakutan atas mimpi buruk berlapis-lapis yang baru saja dialaminya. Dia bahkan masih begitu ingat dengan jelas mimpi tersebut sampai-sampai dia sekarang masih meragukan kenyataan yang dia rasakan saat ini ketika dia sudah terjaga. Dilihatnya sekeliling hanya ada ruangan kosong di mana dia sekarang terduduk di sebuah kursi dengan tangan dan kak
Dewi mulai nampak bingung dengan ocehan Mansa tersebut, entah dongeng apa yang sedang dibicarakannya. Maklum karena selama ini Dewi sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang formal. “Hahaa.., saya ragu apa Mba Dewi tahu soal ini,” ujar Mansa nampak tertawa geli, jelas sekali niatnya untuk mengejek Dewi serendah-rendahnya. “Karena orang yang benar-benar tahu perihal fisika perbintangan dan astronomi tidak akan asal ngoceh soal horoskop. Itu hanya lelucon orang-orang bodoh yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.” Dewi merasa begitu terhina dengan ledekan Mansa tersebut. Sebagai seseorang yang begitu terobsesi dengan horoskop, hinaan itu saat ini terasa begitu pahit baginya melebihi hinaan yang diterimanya sebagai anak indigo. Diapun semakin emosi dan wajahnya mulai memerah. Terlihat bibirnya mulai komat-kamit seperti sedang mengatakan sesuatu. Tiba-tiba tangan Mansa menye
Ketika hendak kembali masuk ke dalam ruangan tersebut, dia melihat Mike, Agus, Dokter Harlin dan juga Arif menatap ke arahnya dengan pandangan serius. Tak ada sedikitpun komentar yang keluar dari mulut mereka, sehingga Mansa langsung saja membuka pintu itu dan kembali masuk ke dalam. Dia melepaskan ikatan yang mengikat tangan dan kaki Dewi dan membantunya duduk di kursi. Dewi hanya diam saja, tapi tatapannya masih tak bersahabat menatap lurus dan tajam ke arah mata Mansa. “Aku tahu kalau kau juga seorang anak indigo,” ujar Dewi. “Seharusnya kau ikut saja dengan kami.” “Aku tahu kaupun mengalami kehidupan yang sulit dan ditolak oleh orang-orang di sekitarmu. Andai kau tidak membunuh orang itu, mereka pasti akan memperlakukanmu dengan sangat baik.” Namun Mansa hanya diam saja, tak berkomentar apa-apa. Bahkan reaksi wajahnya masih datar seakan tak sedikitpun mendengarkan apa yang dikatakan oleh Dewi.
Seperti sudah mengerti tak ada lagi yang perlu diluruskannya pada Mansa, Mikepun berniat untuk beranjak dari tempat tersebut. “Jadi sekarang aku sudah boleh menginterogasinya, kan?” tanyanya seraya berjalan gontai pergi meninggalkan Mansa. “Mike!” seru Mansa memanggil lirih. “Tolong perlakukan mereka dengan baik,” pintanya. Mike hanya mengangguk dengan sedikit senyum untuk memastikan pada Mansa bahwa kedua orang tersebut akan baik-baik saja. Seperti sudah tidak ada lagi yang membebani pikirannya, Mansa langsung merebahkan diri di bangku sofa tersebut. Namun hanya sesaat dia menutup mata, tiba-tiba dia kembali duduk seperti teringat sesuatu. “Aku cukup ingat dengan jelas kejadian di gudang waktu itu.” “Tapi apa maksudnya dengan dua kali?” gumam Mansa nampak penasaran. << Entahlah >> sahut Musa meladeni gumaman Mansa itu.
Perhatian anak itu teralihkan oleh Mansa, dan untuk sesaat dia memperhatikan tangan Mansa yang saat ini masih berada di bahunya. Begitu dia ingat dengan Mansa, anak itu langsung menjauhkan tangan Mansa dan nampak histeris ingin menjaga jarak sembari memepet ke arah Dewi. Terlihat jelas dia begitu ketakutan melirik-lirik risih ke arah Mansa. “Tenanglah, aku tidak akan mengganggumu kok,” ujar Mansa ramah sembari tersenyum lembut ke arah anak itu. Meski begitu, anak tersebut tetap terlihat tidak nyaman dengan Mansa. Bahkan sekarang matanya melirik seakan dia bisa melihat Musa dan itu membuat Musa sedikit menjaga jarak dan berpindah ke sebelah kiri Mansa. “Hei, jangan bilang kau takut dengannya,” seru Mansa pada Musa. << Tidak, justru dia yang risih dengan keberadaanku jadi aku tidak mau mengganggunya >> “Oho.., pengertian sekali kamu ya,” ujar Mansa seolah seda
Setelah sekitar satu jam lebih perjalanan, mereka sampai juga di dermaga pribadi milik Mike di Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Namun sepertinya perahu yang akan membawa mereka pergi menuju Pulau Setan belum datang di dermaga tersebut. Langit sore di pesisir itu sudah mulai menguning. Dewi sibuk mengawasi Adi yang begitu tertarik memperhatikan ikan-ikan yang tak begitu ramai terlihat di dermaga tersebut, sementara Mansa duduk sendirian di bibir dermaga tidak terlalu jauh dari kedua orang itu, terus mengawasi mereka menjelang perahu yang akan menjemput mereka datang. Mereka sudah terlanjur sampai di dermaga itu setengah jam lebih awal dari jadwal perahu untuk berangkat dari Pulau Setan mengantarkan wisatawan yang hendak pulang. Dihitung dari jarak yang akan mereka tempuh, mungkin Yusuf baru akan datang sekitar satu jam lagi, dan mereka terpaksa harus menunggu di sana, bertahan dengan segala kebosanan mereka. Cukup lama juga mereka menunggu, bahkan langit sen
Ketika mendengar nama Pulau itu keluar dari mulut Mike, Dewi sempat berpikir kalau pulau yang dimaksud adalah tempat sarang mafia. Tak tahunya, dia malah melihat beberapa keluarga bahkan dengan anak-anak kecil masih ceria bermain di pantai. Terdapat beberapa kafe yang masih ada beberapa wisatawan asing asyik bercengkerama dengan penghuni pulau yang melayani tamu. Sementara vila-vila sederhana namun eksotis berjejer di dekat pantai.“Selamat datang di Pulau Setan,” ujar Mike pada Dewi dan Adi.“Berbahagialah, kalian menjadi tamu di tempat wisata ini secara gratis. Selama kalian bisa menjaga sikap selama berada di sini, silakan saja bersikap layaknya turis di pulau ini.”Begitu mereka meninggalkan dermaga itu, ramai orang menyapa Mike dengan wajah ceria. Tidak salah menganggap tempat itu sebagai tempat wisata karena tak seorangpun yang berwajah masam menyambut kedatangan Dewi dan Adi sejak mereka menginjakkan kak
Esok paginya, Mike bersiap-siap hendak berangkat kembali menuju kota Padang. Beberapa orang sudah menunggunya di bibir dermaga, sementara Yusuf sudah siap di atas perahu. “Ayo Chip, kita berangkat,” seru Mike mengajaknya naik perahu. Namun sesaat sebelum dia naik ke perahu, Mike menoleh ke belakang karena heran si Acil anggotanya yang paling muda itu malah ikut. “Loh kamu mau pulang? Sudah ga betah saja di sini?” tanya Mike pada remaja itu. Namun Acil bengong karena bingung atas pertanyaan Mike tersebut. “Ehm,” Rasyif berdehem datang menghampiri.“Aku yang ajak dia, Mike,” sahut Rasyif. “Serius nih, Chip?!” tanya Mike dengan ekspresi sedikit meragukannya. Rasyif hanya tersenyum dan sedikit geleng-geleng kepala kemudian langsung naik ke atas perahu. Acil ikut saja karena Rasyif sendiri sama sekali tidak bercerita apa-apa u