Pria berbadan besar itu menarik paksa bajunya yang masih tersisa di badannya itu dan membuangnya. Tapi sekarang Mansa tidak lagi melihat adanya keanehan yang tadi sempat dilihatnya, namun ada sedikit sisa-sisa bulu berwarna hitam yang rontok berserakan di lantai. Begitu juga ketika Mansa kembali menoleh ke pria yang satunya lagi, lengannya nampak normal namun lengan kemejanya memang terlihat robek di bagian bawah siku.
Meski sekarang tubuh kedua pria itu tampak normal, namun Mansa cukup yakin dengan keanehan yang baru saja ditemukannya.
“Pertama kerasukan, sesudah itu seorang anak indigo.”
“Jangan bilang kalau kalian itu adalah manusia siluman,” ujarnya berlagak mengejek.
Sementara itu, Musa menyadari bagian bahunya yang terkena cakaran lawannya itu nampak semakin tidak stabil dan bagian yang terluka itu terus-terusan terurai ke udara. Musapun bergerak menjauh dari lawannya dan kembali menghampiri Mansa.
Mansa ber
Seakan tidak peduli dengan kata-kata pria itu Mansa kembali membantu mengkondisikan tubuh Musa yang sudah kehilangan kepala. Sekarang Musa hanya tinggal badan dan dua lengan dengan cakar yang tajam. Musapun mendekap bahu Mansa nampak hendak berkomunikasi dengannya. << Kau tak perlu susah payah memperbaiki kondisi tubuh ini >> << Aku ragu apa masih bisa membantumu >> << Kalau benar mereka bisa menyembuhkan diri seperti itu, aku khawatir kamu malah akan tumbang lebih dulu >> “Tak usah khawatir, sekadar menstabilkan bentuk tubuhmu itu sama sekali tidak akan menguras tenaga. Lagipula, jika tidak kuperbaiki maka semua energi yang kulepaskan untuk membentuk tubuh itu hanya akan terbuang sia-sia.” “Lagipula, masih ada satu teknik baru yang belum aku coba?” “Mungkin ini saat yang tepat untuk mencobanya dengan makhluk seperti mereka itu.” << T
Sesaat Mansa terdiam menunduk menatapi lantai, dan setelah itu diapun menoleh ke arah pria yang satunya lagi dengan tatapan yang begitu dingin seakan begitu bernafsu untuk kembali merasakan sensasi aneh yang dirasakanya setelah membantai chimera itu. Meski sebenarnya dia sudah tidak lagi memiliki banyak tenaga yang tersisa, nafsu membunuhnya membuat dia lupa diri. Namun itu juga membuat pria yang satu itu semakin terintimidasi.Entah karena adanya DNA hewan buas di dalam dirinya, satu orang pria itu tak lagi berpikir jernih untuk menyadari kondisi Mansa yang sebenarnya sudah sangat kelelahan. Pria itu malah ketakutan karena terintimidasi oleh nafsu membunuh dari Mansa.Pria itu terintimidasi oleh dorongan insting seperti seekor hewan yang terpojok di depan pemangsa yang ingin memakannya. Dia terus berangsur pelan menyeret bokongnya mundur seiring langkah Mansa yang pelan-pelan terus mendekatinya. Sesaat kemudian pria itu menyadari ada seseorang yang terge
Pria itu kembali mulai berubah ke bentuk chimeranya dan bagian dada yang berlubang itu nampak berasap seperti mencoba memulihkan diri. Namun tubuhnya tak sanggup berdiri sehingga rebah tergeletak di tanah. Dengan susah payah chimera kadal itu mencoba membalikkan diri untuk melihat siapa yang menikamnya dari belakang. [Tony?!] [Ton... ] Krakk!!! Telepon genggam itu hancur diinjak oleh kaki yang nampak mirip kaki kucing yang besar, berbulu lebat dengan kuku yang tajam dengan celana panjang yang nampak sobek di bagian bawahnya. Nampak olehnya sepasang mata nocturnal bercahaya di balik kegelapan menatapnya begitu dingin dengan nafsu membunuh begitu kuat mengintimidasinya, kembali menanamkan rasa takut pada dirinya meski tak sebesar rasa takut yang tadi dirasakannya di rumah makan. “Kukuku... uhuk...” Celetuk tawa diselingi batuk masih keluar dari mulut chime
Sudah lebih satu jam mereka berada di situ, namun Mike masih nampak kebingungan bagaimana caranya merapikan kondisi rumah makan itu agar bisa kembali nampak rapi seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tentu itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukannya dalam semalam mengingat satu tiang sudah roboh dan segala furniturnya sudah hancur berantakan. “Mike, lupakan dulu soal rumah makan ini,” seru Agus. “Masih ada mayat tergeletak di halaman parkir.” Mikepun semakin nampak tak bersemangat, menghela nafas begitu dalam dengan sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ke arah kakinya yang sudah tidak lagi memakai sepatu. Tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi serius. “Kenapa Mike?” tanya Agus. “Tidak ada,” timpalnya setelah sesaat menghela nafas. “Sesaat aku membayangkan kondisi kota Padang akan porak poranda seperti ruangan ini dan juga halaman parkir itu.”
“Mike, sepertinya kamu melupakan satu orang lagi,” serunya sedikit berteriak. Mike bergegas menghampiri mansa dengan ekspresi sedikit penasaran. “Anak itu?” “Bukannya dia temanmu?” “Bukan,” sahut Mansa lirih. “Dia adalah anak indigo, salah satu dari mereka.” Mike mengangkat anak itu. Dia membawanya masuk ke dalam mobil dan diletakkan di bangku belakang bersama Dewi yang sudah terbaring di sana. Sementara itu Mansa terlihat membantu sedikit menstabilkan kondisi tubuh Musa. “Tolong awasi terus anak indigo itu.” “Jangan sampai dia berbuat macam-macam nanti.” << Baiklah >> Seperti sudah tak kuat lagi karena kelelahan, Mansa menghampiri teman-temannya untuk ikut berbaring bersama mereka. Hanya sesaat dia memperhatikan Rani yang masih tak sadarkan diri, dan setelah i
Hanya saja, sepertinya mereka kesulitan karena tidak seorangpun dari teman-teman Mansa yang bisa mengingat rupa orang tersebut karena ingatan mereka yang masih belum terlalu jelas. Satu-satunya alasan polisi tak bisa memaksa untuk menginterogasi lebih jauh adalah karena semua anak-anak itu memberikan keterangan yang sama dan tak nampak seorangpun dari mereka yang berbohong. Sementara Rani sendiri sama sekali tidak memiliki foto Dewi karena memang mereka belum sedekat itu selama ini. “Bagaimana bisa bapak tidak memiliki sama sekali informasi karyawan?” tanya seorang petugas pada Papa Rani. “Kami menerima karena memang merasa tak ada yang perlu saya takutkan dari wanita itu. Kami tidak mempekerjakannya di kasir juga. Lagipula, biasanya saya menerima pekerja selama ini memang begitu. Ada yang datang minta kerjaan, kalau kebetulan memang dibutuhkan ya saya kasih. Nanti dilihat saja bagaimana kerjanya sekitar sebulan apa mereka layak
Garis-garis sinar cahaya dari luar ruangan masuk di sela-sela dinding gubuk dari anyaman pandan. Pada garis cahaya itu terlihat butir-butir debu bergerak begitu lambat. Tak ada suara yang terdengar, sementara pandangannya begitu kabur seakan udara di sekelilingnya memuai. Samar-samar terdengar suara anak-anak dari luar bernyanyi dengan bahasa sunda, nyanyian anak-anak yang sudah sangat lama tidak didengarnya. Cingciripit Tulang Bajing Kacapit Kacapit Ku Bulu Pare Bulu Pare Seuseukeutna Jol Pa Dalang Mawa Wayang Jrek-jrek Nong, Jrek-jrek Nong “aa.., um.., aku boleh ikut?” Anak-anak yang sedang bermain itu tiba-tiba berhenti, dan menoleh dengan gerakan yang begitu lambat. Wajah mereka nampak cemberut, namun ada satu orang nampak tersenyum dengan ramah. “Boleh, mari sini ikut,” ajaknya. “Eh kok dia diajak sih?” seru anak yang
Dia terus menutup mata dan kedua telinganya karena ketakutan, tapi dia tak sanggup menghentikan suara ajakan itu. Pada akhirnya, dia memaksa memberanikan diri berniat untuk melawan namun tiba-tiba sekarang malah terlihat sesosok monster bertanduk dengan badan yang begitu besar berdiri di depannya. Monster itupun mengulurkan tangannya seperti juga ingin mengajaknya ikut, dan tiba-tiba dada monster itu menggelembung dan... Kyaaaa... Haah... haah.. haaah... Nafasnya begitu pendek terengah-engah, sementara badannya basah oleh keringat dingin. Dia begitu pucat dan ketakutan atas mimpi buruk berlapis-lapis yang baru saja dialaminya. Dia bahkan masih begitu ingat dengan jelas mimpi tersebut sampai-sampai dia sekarang masih meragukan kenyataan yang dia rasakan saat ini ketika dia sudah terjaga. Dilihatnya sekeliling hanya ada ruangan kosong di mana dia sekarang terduduk di sebuah kursi dengan tangan dan kak