Pria itu kembali mulai berubah ke bentuk chimeranya dan bagian dada yang berlubang itu nampak berasap seperti mencoba memulihkan diri. Namun tubuhnya tak sanggup berdiri sehingga rebah tergeletak di tanah. Dengan susah payah chimera kadal itu mencoba membalikkan diri untuk melihat siapa yang menikamnya dari belakang.
[Tony?!]
[Ton... ]
Krakk!!!
Telepon genggam itu hancur diinjak oleh kaki yang nampak mirip kaki kucing yang besar, berbulu lebat dengan kuku yang tajam dengan celana panjang yang nampak sobek di bagian bawahnya.
Nampak olehnya sepasang mata nocturnal bercahaya di balik kegelapan menatapnya begitu dingin dengan nafsu membunuh begitu kuat mengintimidasinya, kembali menanamkan rasa takut pada dirinya meski tak sebesar rasa takut yang tadi dirasakannya di rumah makan.
“Kukuku... uhuk...”
Celetuk tawa diselingi batuk masih keluar dari mulut chime
Sudah lebih satu jam mereka berada di situ, namun Mike masih nampak kebingungan bagaimana caranya merapikan kondisi rumah makan itu agar bisa kembali nampak rapi seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tentu itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukannya dalam semalam mengingat satu tiang sudah roboh dan segala furniturnya sudah hancur berantakan. “Mike, lupakan dulu soal rumah makan ini,” seru Agus. “Masih ada mayat tergeletak di halaman parkir.” Mikepun semakin nampak tak bersemangat, menghela nafas begitu dalam dengan sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ke arah kakinya yang sudah tidak lagi memakai sepatu. Tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi serius. “Kenapa Mike?” tanya Agus. “Tidak ada,” timpalnya setelah sesaat menghela nafas. “Sesaat aku membayangkan kondisi kota Padang akan porak poranda seperti ruangan ini dan juga halaman parkir itu.”
“Mike, sepertinya kamu melupakan satu orang lagi,” serunya sedikit berteriak. Mike bergegas menghampiri mansa dengan ekspresi sedikit penasaran. “Anak itu?” “Bukannya dia temanmu?” “Bukan,” sahut Mansa lirih. “Dia adalah anak indigo, salah satu dari mereka.” Mike mengangkat anak itu. Dia membawanya masuk ke dalam mobil dan diletakkan di bangku belakang bersama Dewi yang sudah terbaring di sana. Sementara itu Mansa terlihat membantu sedikit menstabilkan kondisi tubuh Musa. “Tolong awasi terus anak indigo itu.” “Jangan sampai dia berbuat macam-macam nanti.” << Baiklah >> Seperti sudah tak kuat lagi karena kelelahan, Mansa menghampiri teman-temannya untuk ikut berbaring bersama mereka. Hanya sesaat dia memperhatikan Rani yang masih tak sadarkan diri, dan setelah i
Hanya saja, sepertinya mereka kesulitan karena tidak seorangpun dari teman-teman Mansa yang bisa mengingat rupa orang tersebut karena ingatan mereka yang masih belum terlalu jelas. Satu-satunya alasan polisi tak bisa memaksa untuk menginterogasi lebih jauh adalah karena semua anak-anak itu memberikan keterangan yang sama dan tak nampak seorangpun dari mereka yang berbohong. Sementara Rani sendiri sama sekali tidak memiliki foto Dewi karena memang mereka belum sedekat itu selama ini. “Bagaimana bisa bapak tidak memiliki sama sekali informasi karyawan?” tanya seorang petugas pada Papa Rani. “Kami menerima karena memang merasa tak ada yang perlu saya takutkan dari wanita itu. Kami tidak mempekerjakannya di kasir juga. Lagipula, biasanya saya menerima pekerja selama ini memang begitu. Ada yang datang minta kerjaan, kalau kebetulan memang dibutuhkan ya saya kasih. Nanti dilihat saja bagaimana kerjanya sekitar sebulan apa mereka layak
Garis-garis sinar cahaya dari luar ruangan masuk di sela-sela dinding gubuk dari anyaman pandan. Pada garis cahaya itu terlihat butir-butir debu bergerak begitu lambat. Tak ada suara yang terdengar, sementara pandangannya begitu kabur seakan udara di sekelilingnya memuai. Samar-samar terdengar suara anak-anak dari luar bernyanyi dengan bahasa sunda, nyanyian anak-anak yang sudah sangat lama tidak didengarnya. Cingciripit Tulang Bajing Kacapit Kacapit Ku Bulu Pare Bulu Pare Seuseukeutna Jol Pa Dalang Mawa Wayang Jrek-jrek Nong, Jrek-jrek Nong “aa.., um.., aku boleh ikut?” Anak-anak yang sedang bermain itu tiba-tiba berhenti, dan menoleh dengan gerakan yang begitu lambat. Wajah mereka nampak cemberut, namun ada satu orang nampak tersenyum dengan ramah. “Boleh, mari sini ikut,” ajaknya. “Eh kok dia diajak sih?” seru anak yang
Dia terus menutup mata dan kedua telinganya karena ketakutan, tapi dia tak sanggup menghentikan suara ajakan itu. Pada akhirnya, dia memaksa memberanikan diri berniat untuk melawan namun tiba-tiba sekarang malah terlihat sesosok monster bertanduk dengan badan yang begitu besar berdiri di depannya. Monster itupun mengulurkan tangannya seperti juga ingin mengajaknya ikut, dan tiba-tiba dada monster itu menggelembung dan... Kyaaaa... Haah... haah.. haaah... Nafasnya begitu pendek terengah-engah, sementara badannya basah oleh keringat dingin. Dia begitu pucat dan ketakutan atas mimpi buruk berlapis-lapis yang baru saja dialaminya. Dia bahkan masih begitu ingat dengan jelas mimpi tersebut sampai-sampai dia sekarang masih meragukan kenyataan yang dia rasakan saat ini ketika dia sudah terjaga. Dilihatnya sekeliling hanya ada ruangan kosong di mana dia sekarang terduduk di sebuah kursi dengan tangan dan kak
Dewi mulai nampak bingung dengan ocehan Mansa tersebut, entah dongeng apa yang sedang dibicarakannya. Maklum karena selama ini Dewi sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang formal. “Hahaa.., saya ragu apa Mba Dewi tahu soal ini,” ujar Mansa nampak tertawa geli, jelas sekali niatnya untuk mengejek Dewi serendah-rendahnya. “Karena orang yang benar-benar tahu perihal fisika perbintangan dan astronomi tidak akan asal ngoceh soal horoskop. Itu hanya lelucon orang-orang bodoh yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.” Dewi merasa begitu terhina dengan ledekan Mansa tersebut. Sebagai seseorang yang begitu terobsesi dengan horoskop, hinaan itu saat ini terasa begitu pahit baginya melebihi hinaan yang diterimanya sebagai anak indigo. Diapun semakin emosi dan wajahnya mulai memerah. Terlihat bibirnya mulai komat-kamit seperti sedang mengatakan sesuatu. Tiba-tiba tangan Mansa menye
Ketika hendak kembali masuk ke dalam ruangan tersebut, dia melihat Mike, Agus, Dokter Harlin dan juga Arif menatap ke arahnya dengan pandangan serius. Tak ada sedikitpun komentar yang keluar dari mulut mereka, sehingga Mansa langsung saja membuka pintu itu dan kembali masuk ke dalam. Dia melepaskan ikatan yang mengikat tangan dan kaki Dewi dan membantunya duduk di kursi. Dewi hanya diam saja, tapi tatapannya masih tak bersahabat menatap lurus dan tajam ke arah mata Mansa. “Aku tahu kalau kau juga seorang anak indigo,” ujar Dewi. “Seharusnya kau ikut saja dengan kami.” “Aku tahu kaupun mengalami kehidupan yang sulit dan ditolak oleh orang-orang di sekitarmu. Andai kau tidak membunuh orang itu, mereka pasti akan memperlakukanmu dengan sangat baik.” Namun Mansa hanya diam saja, tak berkomentar apa-apa. Bahkan reaksi wajahnya masih datar seakan tak sedikitpun mendengarkan apa yang dikatakan oleh Dewi.
Seperti sudah mengerti tak ada lagi yang perlu diluruskannya pada Mansa, Mikepun berniat untuk beranjak dari tempat tersebut. “Jadi sekarang aku sudah boleh menginterogasinya, kan?” tanyanya seraya berjalan gontai pergi meninggalkan Mansa. “Mike!” seru Mansa memanggil lirih. “Tolong perlakukan mereka dengan baik,” pintanya. Mike hanya mengangguk dengan sedikit senyum untuk memastikan pada Mansa bahwa kedua orang tersebut akan baik-baik saja. Seperti sudah tidak ada lagi yang membebani pikirannya, Mansa langsung merebahkan diri di bangku sofa tersebut. Namun hanya sesaat dia menutup mata, tiba-tiba dia kembali duduk seperti teringat sesuatu. “Aku cukup ingat dengan jelas kejadian di gudang waktu itu.” “Tapi apa maksudnya dengan dua kali?” gumam Mansa nampak penasaran. << Entahlah >> sahut Musa meladeni gumaman Mansa itu.