Embun berhenti dan menunjukkan sosok perempuan yang sedang duduk bersandar di tiang gazebo dengan tatapan yang menerawang seolah ingin membelah angkasa. "Itu dia." Keduanya kembali melangkah menghampiri. "Assalamu'alaikum, Tia," sapa Embun. Membuat gadis itu menoleh dan buru-buru menyalami dan mencium tangan Embun. Dia juga melakukannya pada Jingga. "Wa'alaikumsalam," jawabnya pelan."Ini istrinya Pak Fariq. Panggil saja Mbak Jingga. Masih muda soalnya, kalau saya dah tuwir." Kelakar Embun yang membuat Jingga tersenyum.Tia mengangguk, kemudian mempersilakan dua wanita itu duduk di gazebo yang digelari tikar."Kok nasinya belum kamu makan?" tanya Embun saat melihat sekotak nasi masih terbiar di dekat Tia."Saya belum lapar, Bu. Nanti saja saya makan.""Kamu harus jaga kesehatan. Bayimu makin besar makin butuh asupan lebih banyak makanan yang bernutrisi. Jangan lupakan jadwalmu periksa."Tia hanya mengangguk lemah. Gadis yang telah kehilangan gairah hidupnya. Disaat dia butuh sokongan
Jingga heran kenapa Ina tiba-tiba menghentikan ceritanya. Mungkin saja dia terlalu sedih mengingat masa lalunya. Sudah berkorban demikian banyak, tapi akhirnya dibuang begitu saja. Jingga iba, Ina memang bekas wanita tuna susila, tapi dia manusia yang memiliki perasaan juga."Maaf, saya ke belakang dulu, Mbak," pamit wanita itu kemudian berdiri dan beranjak masuk ke dalam rumah.Sedangkan Jingga juga berdiri menghampiri suaminya. Ikut bergabung duduk dan mendengarkan mereka berbincang-bincang.Ina yang masuk ke dalam terus melangkah ke belakang dan berhenti di dekat jendela dapur. Memandang Tia yang masih melamun di kebun. Dirinya dan gadis itu sama-sama perempuan terbuang. Sama-sama memiliki nasib yang menyedihkan, karena kesalahannya sendiri.Ah, betapa lancangnya dia tadi bercerita banyak hal pada pada wanita yang baru dikenalnya. Wanita yang ketika ia memandangnya langsung membuatnya bisa menduga kalau dia perempuan yang sangat baik. Lelaki baik memang untuk wanita baik-baik juga.
"Kamu nggak akan bisa hidup di luar sana. Di sini kamu bisa mendapatkan uang dengan mudah. Perawatan salon mahal, shopping, diajak liburan pelanggan, atau menemani mereka di hotel ketika ada kunjungan kerja. Apa itu kurang enak?" Si mami mencoba merayunya kembali.Apa kurang enak? Tanya si mami. Tidak ada yang enak hidup bergelimang dosa. Tidak ada yang nyaman bekerja dalam lembah hitam yang ancamannya neraka. Hidup mereka tidak normal. Dan apa enaknya dari ketidaknormalan itu?Dia dipacu oleh tuntutan. Secapek apapun harus tetap sumringah, menggoda, dan all out. Meski besok paginya harus meringkuk menahan sakit seluruh badan dan perih di organ yang paling vital. Belum lagi dibelenggu oleh perasaan cemas dan was-was. Bagaimana kalau tiba-tiba ia tidak mendapatkan haid lagi? Otomatis janin entah milik siapa tumbuh di rahimnya. Atau tiba-tiba ia di vonis dokter mengidap HIV, AIDS, atau penyakit lainnya. Masih sehat saja dikucilkan, bagaimana jika sakit? Sungguh menyedihkan.Maka keputus
Nency tidak segan untuk mengakui perasaannya. Dia gadis yang punya pemikiran terbuka. Sementara Roy diam menatap kejauhan. Dirinya juga merasa sangat berat jika harus membiarkan Nency menerima perjodohan itu. Roy tidak ingin kehilangan. Tapi apa yang mesti ia lakukan? Tiga tahun ia sudah berjuang mengambil hati orang tua gadis kesayangannya. Namun tidak ada respon yang baik dari mereka. Bahkan ia di ultimatum keras ketika bertemu terakhir setahun yang lalu."Jangan temui anak saya lagi!" perintah tegas dari Pak Aziz. Namun jika ada kesempatan mereka masih bertemu.Sebenarnya mereka tidak ada ikrar menjadi sepasang kekasih. Tujuannya memang ingin langsung menikah, hanya saja restu belum juga di kantongi. Mereka bukan sedang pacaran, tapi mereka saling menjaga. Tidak juga berlabuh pada hati lain setelah tahu tidak pernaj di restui."Aku nggak ingin menerima perjodohan itu. Sebelum mereka datang melamar, maukah kamu bertemu mamaku. Beliau lebih melunak ketimbang papa."Siapa bilang? Hany
"Ada apa Mas Roy menelepon, Mas?" tanya Jingga."Dia ingin ke sini malam ini. Ada yang mau dibicarakan dengan Mas. Tapi Mas tidak tahu tentang apa.""Kenapa nggak ngomong waktu kita ketemuan tadi siang?""Mungkin ini sifatnya lebih pribadi.""Kalian begitu dekat ya?"Fariq tersenyum. "Dulu kami memang sangat dekat. Dan tetap berhubungan baik meski Mas sudah berpisah dengan kakaknya.""Mbak Embun juga sangat baik. Selama bercerita denganku tadi. Sama sekali dia nggak cerita tentang masa lalunya yang kandas dengan Mas. Apalagi memburukkan Mas dan mama.""Ya, Embun memang baik." Perkataan spontan Fariq membuat Jingga menarik tubuhnya dari dekapan sang suami. Melihat perubahan wajah istrinya, Fariq kembali mendekap Jingga sambil tersenyum. "Seperti kamu, Sayang. Kamu juga sangat baik," ucap Fariq untuk menenangkan kembali keadaan. Dia sangat peka soal begini. Perempuan di mana-mana sama. Dia yang memulai, akhirnya dia juga yang tersulut kecemburuan. Terlebih perempuan hamil itu tingakat k
"Anak bagaimana maksudnya?" tanya Fariq tidak mengerti sekaligus kaget.Mahika menarik napas sejenak, kemudian memandang ke arah Fariq yang ada di seberang meja. Mata perempuan itu sudah penuh oleh genangan air mata."Anak saya, Pak Fariq."Fariq makin tidak mengerti. Mahika belum menikah. Apa mungkin yang dimaksudnya itu anak angkat? Atau anak dari saudaranya."Saya sudah punya anak perempuan umur lima tahun sekarang."Kali ini Fariq mulai bisa meraba. Dia sudah sangat dewasa untuk mengira-ngira apa yang sudah terjadi. Tanpa di minta, Mahika menceritakan kisah hidupnya. Perkenalannya dengan Yuda waktu di kampus. Percintaan mereka, penolakan orang tuanya, hingga sudah terlanjur hamil pun mereka tetap tidak merestui.Cerita yang sama dengan hubungan Roy dan Nency. Bedanya mereka masih bisa menahan diri, tidak sampai terlanjur jauh dan membuat susah hidup sendiri.Masih ada juga orang tua yang super kolot di zaman yang serba modern saat ini. Kenapa tidak mereda setelah tahu anak mereka
Gadis itu masih duduk di tempat. Melamun sambil memperhatikan cup coca cola yang ada dipegangan tangannya. Bertemu dan cerita dengan sang kakak memang tidak bisa memberikan jalan keluar. Namun ia lega setelah mengungkapkan uneg-unegnya. Setidaknya sang kakak berada di pihaknya. Meski sama sekali tidak bisa membantu.Setelah beberapa saat terdiam. Nency bangkit dari duduknya dan mencari mushola untuk Salat Zhuhur. Inilah yang paling berkesan dari sosok Roy. Bisa membimbingnya untuk beribadah dengan tekun, berpakaian muslimah dengan baik. Tidak seperti Nency yang dulu selalu berpakaian seksi. Namun entah kenapa orang tuanya yang sudah naik haji dan umroh berkali-kali tidak bisa memandang dari sisi ini. Apakah yang telah mereka lakukan hanya untuk menjaga reputasi saja? Menambah nilai positif dihadapan para kolega. Atau ikut-ikutan rekan bisnis supaya tidak ketinggalan mereka. Nency ingat setiap kali pulang umroh, mamanya sangat antusias bercerita mengenai perjalanannya di sana. Shoping
Sadar diikuti Roy mulai waspada dan terus melaju dengan tenang. Mereka tidak mungkin akan menghadangnya di tengah keramaian begitu. Namun kemungkinan mencelekai tetap ada. Bisa saja dia dibuat kecelakaan. Bukankah itu adalah hal yang lebih aman dan tidak akan meninggalkan jejak.Roy merasa tidak memiliki musuh, tapi pasti ada orang yang tidak menyukainya. Membenci itu bukan karena kita pernah berbuat salah, bisa saja karena yang membenci itu sebenarnya yang merasa tersaingi, atau memang punya rasa iri.Sambil melaju dan tetap menjaga jarak agar jangan sampai terjangkau oleh mereka, Roy memikirkan segala kemungkinan dan dugaan. Siapakah kira-kira ketiga orang yang mengejarnya. Apakah orang yang seprofesi dengannya? Dan usaha mereka merasa tersaingi? Terlebih keahlian Roy menjadi andalan pecinta otomotif. Hingga membuat bengkel tempatnya bekerja selalu ramai.Jarak semakin dekat ketika Roy memelankan laju motornya saat traffic light di depan sana telah menyala lampu merah. Persiapan dia