Sadar diikuti Roy mulai waspada dan terus melaju dengan tenang. Mereka tidak mungkin akan menghadangnya di tengah keramaian begitu. Namun kemungkinan mencelekai tetap ada. Bisa saja dia dibuat kecelakaan. Bukankah itu adalah hal yang lebih aman dan tidak akan meninggalkan jejak.Roy merasa tidak memiliki musuh, tapi pasti ada orang yang tidak menyukainya. Membenci itu bukan karena kita pernah berbuat salah, bisa saja karena yang membenci itu sebenarnya yang merasa tersaingi, atau memang punya rasa iri.Sambil melaju dan tetap menjaga jarak agar jangan sampai terjangkau oleh mereka, Roy memikirkan segala kemungkinan dan dugaan. Siapakah kira-kira ketiga orang yang mengejarnya. Apakah orang yang seprofesi dengannya? Dan usaha mereka merasa tersaingi? Terlebih keahlian Roy menjadi andalan pecinta otomotif. Hingga membuat bengkel tempatnya bekerja selalu ramai.Jarak semakin dekat ketika Roy memelankan laju motornya saat traffic light di depan sana telah menyala lampu merah. Persiapan dia
Seorang satpam menunjukkan rekaman pada Roy. Di zoom berulang kali pun percuma juga. Plat nomer motor mereka tidak kelihatan karena posisi yang tidak terjangkau CCTV. Sebab ujung jalan itu pun merupakan tempat yang minim pencahayaan. Kebetulan ada lampu jalan yang tidak menyala."Buktinya nggak cukup kuat, Pak. Plat nomer dan wajah mereka nggak bisa terdeteksi CCTV.""Iya, sayang banget, Mas.""Nggak apa-apa, Pak. Suatu hari nanti saya pasti akan tahu siapa mereka."Roy istirahat beberapa saat untuk menetralkan kembali napasnya, kemudian segera pamitan dan mengucapkan rasa terima kasihnya sekali lagi. Bagi Roy, dua satpam tadi sudah menjadi malaikat penolong. Jika tidak, mungkin dirinya sudah masuk IGD rumah sakit sekarang atau parahnya terkapar di pinggir jalan."Mas, bisa pulang sendiri?" "Insyaallah bisa, Pak," jawab Roy memakai lagi helmnya."Sebaiknya jangan lewat sana lagi. Mari saya antarkan lewat jalan perumahan. Nanti akan tembus ke jalan utama."Roy mengikuti motor satpam y
"Maaf, Mbak Mahika. Sebaliknya kita pergi sendiri-sendiri. Jangan libatkan pekerjaan dengan urusan pribadi, Anda. Alangkah baiknya menyelesaikan masalah dengan cara berterus terang pada keluarga. Di awal mungkin ditentang dan pasti pahit tentunya. Namun itu jauh lebih baik. Papa dan mama Anda bagaimanapun harus bisa menerima kenyataan. Karena sampai kapanpun tidak ada yang bisa menghilangkan ikatan darah." Fariq memberikan pandangan ketika mereka berhenti sejenak di depan pintu ruangan Fariq. Lelaki itu bicara pelan supaya tidak menimbulkan kecurigaan para staf."Saya masuk dulu, Mbak Mahika," pamit Fariq lantas membuka pintu ruangannya. Meninggalkan Mahika yang masih berdiri mematung dan termenung. Fariq benar. Tapi apa segampang itu? Ia tahu bagaimana papanya. Ia kenal bagaimana juga dengan Yuda. Dua pria yang tidak akan bisa dipertemukan karena yang satu menyimpan kebencian dan satunya sudah terlanjur sakit hati dan kecewa.Dipikirnya Fariq akan bisa menolongnya. Nyatanya pria itu
Dia memang pernah berpoligami dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan. Itu pun karena sebuah pemaksaan. Jelas, dia menggauli dua wanita secara halal di mata agama. Tapi bagaimana dengan Pak Raul? Fariq tahu sepak terjang laki-laki umur enam puluh tahun itu. Pak Raul memang tidak berpoligami, tapi memiliki beberapa simpanan perempuan muda di luar sana. Sugar baby istilah kerennya. Dipikir lelaki itu Fariq tidak tahu. Satu lagi, Pak Raul belum tahu kalau dirinya sudah mengetahui rahasia besar Mahika yang masih tertutup rapat. Pak Raul masih membanggakan putrinya yang ibarat arca batu pualam yang terukir indah tak tersentuh. Mungkin dia juga lupa, kalau kemarin sempat getol ingin menjadikannya menantu. Untuk menutupi apa yang terjadi pada masa lalu putrinya. Fariq tidak mempermasalahkan masa lalu seseorang, hanya saja sungguh picik kelakuan mereka yang tidak mau mengakui kehadiran bocah yang kata Mahika sekarang berusia lima tahun.Namun begitu Fariq tidak berniat membalikkan perkataan
Fariq tergesa memasuki kantornya untuk mengambil beberapa berkas yang kemarin ketinggalan. "Apa Bu Mahika sudah berangkat, Ra?" tanya Fariq pada Nira setelah ia keluar dari ruangannya."Saya belum melihat Bu Mahika sejak tadi, Pak. Mungkin beliau langsung berangkat dari rumah.""Oke, makasih ya!""Sama-sama, Pak. Hati-hati di jalan!" teriak Nira pada atasannya yang melangkah pergi.Fariq mengangkat tangan tanpa menoleh untuk merespon ucapan dari stafnya. Di parkiran depan telah menunggu Pak Bagus, seorang arsitek yang mendesain hotel yang tengah di bangun. Lelaki umur empat puluh lima itu akan berangkat bersama Fariq. Mungkin ketika Fariq pulang nanti, dia akan tinggal di Ngliman untuk sementara waktu. Lega karena ia tidak berangkat satu mobil dengan Mahika. Daripada nanti ikut terlibat juga dengan urusannya. Urusan yang lebih rumit lagi dari permasalahan Roy. Kenapa para orang tua itu terlalu mengagungkan ego dan reputasi daripada memikirkan kebahagiaan anak-anaknya? Bukankah mere
Pikiran Mahika bercelaru parah, membuatnya hilang konsentrasi. Hingga teriakan panjang Santi menghentikan laju kendaraan. Sebab mobil warna silver itu sekarang menabrak tiang listrik di tengah sawah. Mahika diam telungkup di atas steering, sedangkan Santi masih bisa membuka pintu. Untungnya tiang listrik itu tidak tumbang karena kendaraan yang kehilangan arah itu tidak melaju dengan kencang.Bunyi benturan yang cukup keras itu membuat beberapa petani yang sedang berada di tengah sawah segera berlarian menghampiri. "Bu, Bu Mahika, Bu," teriak Santi memanggil sambil mengguncang tubuh bosnya. Namun Mahika masih tetap diam dengan pelipis mengalirkan darah.Lima orang petani segera memberikan pertolongan dengan membuka pintu mobil dan mengeluarkan Mahika yang tidak sadarkan diri. Ada yang menghentikan sebuah mobil L300 yang sedang lewat. Meminta tolong supaya membawa Mahika ke Rumah Sakit Kertosono. Untungnya pemilik kendaraan itu bisa membantu."Saya antarkan ke puskesmas saja dulu, Pak.
Roy memperhatikan dua lelaki yang memakai hem warna putih, celana jeans, dan berwajah garang itu mendekatinya. Mereka menanyakan tentang Nency, apa gadis itu pergi dari rumah?"Di mana Non Nency?" tanya salah seorang dari mereka sekali lagi sambil memandang ke dalam rumah."Dia nggak ada di sini," jawab Roy tenang."Jangan bohong," hardik salah seorang lagi."Aku nggak akan melakukan tindakan kotor dengan melarikan anak gadis orang."Salah seorang dari laki-laki itu bergerak menuju pintu rumah. Namun Roy bergeser untuk menghadangnya. "Kalian mau apa? Sudah kubilang kalau Nency nggak ada di sini. Bahkan dari kalian ini aku baru tau kalau dia pergi dari rumah.""Jangan menipu kami!" Garang. Dari nada bicaranya yang kasar dan postur tubuh mereka, Roy jadi ingat dengan ketiga laki-laki yang menyerangnya malam itu. Apakah itu orang yang sama? Suruhan papanya Nency juga?"Sudah kubilang Nency tidak ada di sini. Jika kalian memaksa masuk tanpa izin, sekali aku teriak warga akan berdatangan.
"Aku pun nggak bisa konsentrasi kerja sekarang ini. Mama juga bolak-balik nelepon.""Mbak Heni, tahu teman-teman Nency di luar kota? Teman dekatnya. Biar aku cari ke sana.""Aku kenal beberapa temannya, hanya saja aku nggak tahu alamat pastinya. Ada yang di Nganjuk, Malang, dan Kediri. Tapi mereka masih berhubungan sampai sekarang atau nggak. Mereka kan teman kuliahnya sepuluh tahun yang lalu."Roy menghela napas panjang. "Roy, aku ada urusan dengan klien. Aku sudahi dulu teleponnya. Nanti kalau ada kabar apapun, tolong kabari aku secepatnya. Assalamu'alaikum.""Ya, Mbak. Wa'alaikumsalam."Roy masih diam di atas motornya. Ke mana lagi harus mencari Nency? Mungkinkah keputusannya tadi malam itu adalah sebuah kesalahan. Ia asal bicara tanpa mempedulikan perasaan gadisnya. Padahal hatinya sendiri merasa sangat tersiksa. Bahkan semalaman Roy pun tidak bisa tidur. Apalagi kepikiran Nency yang salah paham. Selain dengan Nency dia tidak menyukai gadis lain. Meskipun ada yang berusaha menari
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su