"Anak bagaimana maksudnya?" tanya Fariq tidak mengerti sekaligus kaget.Mahika menarik napas sejenak, kemudian memandang ke arah Fariq yang ada di seberang meja. Mata perempuan itu sudah penuh oleh genangan air mata."Anak saya, Pak Fariq."Fariq makin tidak mengerti. Mahika belum menikah. Apa mungkin yang dimaksudnya itu anak angkat? Atau anak dari saudaranya."Saya sudah punya anak perempuan umur lima tahun sekarang."Kali ini Fariq mulai bisa meraba. Dia sudah sangat dewasa untuk mengira-ngira apa yang sudah terjadi. Tanpa di minta, Mahika menceritakan kisah hidupnya. Perkenalannya dengan Yuda waktu di kampus. Percintaan mereka, penolakan orang tuanya, hingga sudah terlanjur hamil pun mereka tetap tidak merestui.Cerita yang sama dengan hubungan Roy dan Nency. Bedanya mereka masih bisa menahan diri, tidak sampai terlanjur jauh dan membuat susah hidup sendiri.Masih ada juga orang tua yang super kolot di zaman yang serba modern saat ini. Kenapa tidak mereda setelah tahu anak mereka
Gadis itu masih duduk di tempat. Melamun sambil memperhatikan cup coca cola yang ada dipegangan tangannya. Bertemu dan cerita dengan sang kakak memang tidak bisa memberikan jalan keluar. Namun ia lega setelah mengungkapkan uneg-unegnya. Setidaknya sang kakak berada di pihaknya. Meski sama sekali tidak bisa membantu.Setelah beberapa saat terdiam. Nency bangkit dari duduknya dan mencari mushola untuk Salat Zhuhur. Inilah yang paling berkesan dari sosok Roy. Bisa membimbingnya untuk beribadah dengan tekun, berpakaian muslimah dengan baik. Tidak seperti Nency yang dulu selalu berpakaian seksi. Namun entah kenapa orang tuanya yang sudah naik haji dan umroh berkali-kali tidak bisa memandang dari sisi ini. Apakah yang telah mereka lakukan hanya untuk menjaga reputasi saja? Menambah nilai positif dihadapan para kolega. Atau ikut-ikutan rekan bisnis supaya tidak ketinggalan mereka. Nency ingat setiap kali pulang umroh, mamanya sangat antusias bercerita mengenai perjalanannya di sana. Shoping
Sadar diikuti Roy mulai waspada dan terus melaju dengan tenang. Mereka tidak mungkin akan menghadangnya di tengah keramaian begitu. Namun kemungkinan mencelekai tetap ada. Bisa saja dia dibuat kecelakaan. Bukankah itu adalah hal yang lebih aman dan tidak akan meninggalkan jejak.Roy merasa tidak memiliki musuh, tapi pasti ada orang yang tidak menyukainya. Membenci itu bukan karena kita pernah berbuat salah, bisa saja karena yang membenci itu sebenarnya yang merasa tersaingi, atau memang punya rasa iri.Sambil melaju dan tetap menjaga jarak agar jangan sampai terjangkau oleh mereka, Roy memikirkan segala kemungkinan dan dugaan. Siapakah kira-kira ketiga orang yang mengejarnya. Apakah orang yang seprofesi dengannya? Dan usaha mereka merasa tersaingi? Terlebih keahlian Roy menjadi andalan pecinta otomotif. Hingga membuat bengkel tempatnya bekerja selalu ramai.Jarak semakin dekat ketika Roy memelankan laju motornya saat traffic light di depan sana telah menyala lampu merah. Persiapan dia
Seorang satpam menunjukkan rekaman pada Roy. Di zoom berulang kali pun percuma juga. Plat nomer motor mereka tidak kelihatan karena posisi yang tidak terjangkau CCTV. Sebab ujung jalan itu pun merupakan tempat yang minim pencahayaan. Kebetulan ada lampu jalan yang tidak menyala."Buktinya nggak cukup kuat, Pak. Plat nomer dan wajah mereka nggak bisa terdeteksi CCTV.""Iya, sayang banget, Mas.""Nggak apa-apa, Pak. Suatu hari nanti saya pasti akan tahu siapa mereka."Roy istirahat beberapa saat untuk menetralkan kembali napasnya, kemudian segera pamitan dan mengucapkan rasa terima kasihnya sekali lagi. Bagi Roy, dua satpam tadi sudah menjadi malaikat penolong. Jika tidak, mungkin dirinya sudah masuk IGD rumah sakit sekarang atau parahnya terkapar di pinggir jalan."Mas, bisa pulang sendiri?" "Insyaallah bisa, Pak," jawab Roy memakai lagi helmnya."Sebaiknya jangan lewat sana lagi. Mari saya antarkan lewat jalan perumahan. Nanti akan tembus ke jalan utama."Roy mengikuti motor satpam y
"Maaf, Mbak Mahika. Sebaliknya kita pergi sendiri-sendiri. Jangan libatkan pekerjaan dengan urusan pribadi, Anda. Alangkah baiknya menyelesaikan masalah dengan cara berterus terang pada keluarga. Di awal mungkin ditentang dan pasti pahit tentunya. Namun itu jauh lebih baik. Papa dan mama Anda bagaimanapun harus bisa menerima kenyataan. Karena sampai kapanpun tidak ada yang bisa menghilangkan ikatan darah." Fariq memberikan pandangan ketika mereka berhenti sejenak di depan pintu ruangan Fariq. Lelaki itu bicara pelan supaya tidak menimbulkan kecurigaan para staf."Saya masuk dulu, Mbak Mahika," pamit Fariq lantas membuka pintu ruangannya. Meninggalkan Mahika yang masih berdiri mematung dan termenung. Fariq benar. Tapi apa segampang itu? Ia tahu bagaimana papanya. Ia kenal bagaimana juga dengan Yuda. Dua pria yang tidak akan bisa dipertemukan karena yang satu menyimpan kebencian dan satunya sudah terlanjur sakit hati dan kecewa.Dipikirnya Fariq akan bisa menolongnya. Nyatanya pria itu
Dia memang pernah berpoligami dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan. Itu pun karena sebuah pemaksaan. Jelas, dia menggauli dua wanita secara halal di mata agama. Tapi bagaimana dengan Pak Raul? Fariq tahu sepak terjang laki-laki umur enam puluh tahun itu. Pak Raul memang tidak berpoligami, tapi memiliki beberapa simpanan perempuan muda di luar sana. Sugar baby istilah kerennya. Dipikir lelaki itu Fariq tidak tahu. Satu lagi, Pak Raul belum tahu kalau dirinya sudah mengetahui rahasia besar Mahika yang masih tertutup rapat. Pak Raul masih membanggakan putrinya yang ibarat arca batu pualam yang terukir indah tak tersentuh. Mungkin dia juga lupa, kalau kemarin sempat getol ingin menjadikannya menantu. Untuk menutupi apa yang terjadi pada masa lalu putrinya. Fariq tidak mempermasalahkan masa lalu seseorang, hanya saja sungguh picik kelakuan mereka yang tidak mau mengakui kehadiran bocah yang kata Mahika sekarang berusia lima tahun.Namun begitu Fariq tidak berniat membalikkan perkataan
Fariq tergesa memasuki kantornya untuk mengambil beberapa berkas yang kemarin ketinggalan. "Apa Bu Mahika sudah berangkat, Ra?" tanya Fariq pada Nira setelah ia keluar dari ruangannya."Saya belum melihat Bu Mahika sejak tadi, Pak. Mungkin beliau langsung berangkat dari rumah.""Oke, makasih ya!""Sama-sama, Pak. Hati-hati di jalan!" teriak Nira pada atasannya yang melangkah pergi.Fariq mengangkat tangan tanpa menoleh untuk merespon ucapan dari stafnya. Di parkiran depan telah menunggu Pak Bagus, seorang arsitek yang mendesain hotel yang tengah di bangun. Lelaki umur empat puluh lima itu akan berangkat bersama Fariq. Mungkin ketika Fariq pulang nanti, dia akan tinggal di Ngliman untuk sementara waktu. Lega karena ia tidak berangkat satu mobil dengan Mahika. Daripada nanti ikut terlibat juga dengan urusannya. Urusan yang lebih rumit lagi dari permasalahan Roy. Kenapa para orang tua itu terlalu mengagungkan ego dan reputasi daripada memikirkan kebahagiaan anak-anaknya? Bukankah mere
Pikiran Mahika bercelaru parah, membuatnya hilang konsentrasi. Hingga teriakan panjang Santi menghentikan laju kendaraan. Sebab mobil warna silver itu sekarang menabrak tiang listrik di tengah sawah. Mahika diam telungkup di atas steering, sedangkan Santi masih bisa membuka pintu. Untungnya tiang listrik itu tidak tumbang karena kendaraan yang kehilangan arah itu tidak melaju dengan kencang.Bunyi benturan yang cukup keras itu membuat beberapa petani yang sedang berada di tengah sawah segera berlarian menghampiri. "Bu, Bu Mahika, Bu," teriak Santi memanggil sambil mengguncang tubuh bosnya. Namun Mahika masih tetap diam dengan pelipis mengalirkan darah.Lima orang petani segera memberikan pertolongan dengan membuka pintu mobil dan mengeluarkan Mahika yang tidak sadarkan diri. Ada yang menghentikan sebuah mobil L300 yang sedang lewat. Meminta tolong supaya membawa Mahika ke Rumah Sakit Kertosono. Untungnya pemilik kendaraan itu bisa membantu."Saya antarkan ke puskesmas saja dulu, Pak.