"Bidan Wiwid bilang, kita harus melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan sekalian USG, Mas," kata Jingga setelah mereka berbaring di kamar malam itu."Oke, besok kita pergi. Besok masih hari Jum'at kita bisa ke rumah sakit. Mas ada meeting hari Sabtunya. Selesai meeting Mas langsung pulang ke sini lagi.""Mas, nggak capek. Hampir setengah bulan ini sangat sibuk."Fariq menggeleng kemudian melingkarkan lengannya di pinggang sang istri. Secapek apapun ketika mendengar ia akan punya bayi, rasa lelah itu menguap seketika. Sudah berapa kali sejak sore tadi mengucapkan kata hamdalah dan sujud syukur dalam salatnya. "Kalau Mas sibuk aku bisa pergi periksa bersama Mbak Laras.""Jangan, nanti Mas yang akan nganterin kamu." Fariq tentunya khawatir kalau mereka nanti pergi perjalanan jauh dengan naik motor. "Sejak Bidan Wiwid bilang aku hamil. Aku izin nggak mengajar hingga hari ini. Senin nanti aku baru masuk lagi.""Bagaimana kalau berhenti saja dari mengajar?" Fariq bicara secara spontan.
Fariq meraih jemari istrinya untuk di genggam. Memang butuh waktu untuk meluluhkan hati wanita muda di sampingnya. Ia harus sabar dan menyadari, kalau telah menikahi perempuan muda yang masih penuh ambisi dan terbiasa mandiri. Fariq percaya, Jingga pasti akan menjaga buah cinta mereka. Seorang ibu pasti akan melindungi buah hatinya.Jingga bertahan ingin tetap mengajar bukan karena honor yang di dapatnya. Sebab uang bulanan yang ia berikan jauh berkali-kali lipat dari gaji yang diterimanya. Ini hanya soal hati dan sebuah dedikasi. Tentunya menjadi sebuah kebanggaan jika cita-cita bisa kesampaian."Kita sarapan di mana?" tanya Fariq mengurai hening. Setelah mobil memasuki jalan Ahmad Yani."Hmm, di mana ya, Mas?" Jingga tampak berpikir. Yang ia ingat tempat-tempat makan yang ia kenal sewaktu masih kuliah dulu. Apakah mereka masih ada?"Kita ke Nasi Pecel Bledek saja, di sebelah barat Gedung Juang '45. Jadi habis makan kita bisa langsung ke Rumah Sakit Bhayangkara."Dahi Fariq mengernyi
"Mas, masih sering bertemu Mbak Embun?" Jingga mengulang pertanyaan."Tidak. Bahkan Mas baru bertemu lagi dengannya saat ada acara di rumah mama. Dalam waktu tertentu saja Mas bertemu dengan suaminya. Itu pun untuk urusan pekerjaan atau Mas singgah di Rumah Singgahnya." Fariq mengecup kening istrinya. Menaruh kepala Jingga di lengannya."Kamu tahu, Sayang. Berbagai kisah kehidupan ada di rumah singgah itu. Tentang anak jalanan yang tidak punya tempat untuk pulang. Tentang anak di luar nikah yang dibuang. Ada anak SMA yang hamil dan diasingkan keluarga karena orang tuanya malu dia hamil entah dengan siapa. Pacarnya juga tidak mau bertanggung jawab. Ada orang tua yang tidak punya tempat tinggal dan diabaikan anak-anaknya. Ada bekas wanita tuna susila yang tidak diterima lagi dilingkungannya. Bekas preman yang dikucilkan masyarakat. Dan masih banyak lagi cerita di sana."Gelora cemburu perlahan mereda, manik hitam milik Jingga menatap serius pada wajah pria yang begitu dekat dengan wajah
Waktu hamil, Mahika disembunyikan selama sembilan bulan lamanya di pelosok Malang Selatan. Dipisahkan dari Yuda. Ketika hendak melahirkan, lelaki itu baru diberitahu agar membawa bayi itu menjauh dari keluarga Raul. Rika tahu semua itu. Dan dia membenci keluarga Mahika yang sangat kejam. Namun tidak bisa menjauhi gadis itu karena kasihan. "Lupakan Fariq, dia itu suami orang. Kamu hanya akan melukai perasaanmu sendiri. Ketika memilih menikahi perempuan itu, pasti sudah dengan pertimbangan yang sangat matang. Sebab dia tentu nggak ingin mengulang kegagalan kali ketiga."Mahika membenarkan semua ucapan sahabatnya. Namun apakah mudah membuang sebuah perasaan?Setelah saling diam cukup lama, Rika meraih tali tasnya. "Maaf, aku harus pulang. Nanti suamiku keburu pulang kerja. Kamu mau pulang sekarang apa nanti?""Sebentar lagi. Kamu pulang saja dulu. Makasih ya udah mau nemenin aku sore ini."Rika menepuk bahu Mahika. "Sama-sama. Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku."Mahika terseny
"Riq, ada apa?" Bu Salim makin cemas. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan pantas. Rasa bersalah, sesal, dan kecewa kembali timbul ke permukaan."Apa Jingga menolak untuk tinggal bersama kita?""Bukan begitu, Ma. Jingga akan tinggal di sini. Hanya saja untuk sementara ini Jingga akan berhenti mengajar." Fariq tidak tega melihat raut cemas sang mama. "Menantu mama hamil delapan minggu.""Apa, Riq? Kamu nggak sedang bercanda, 'kan? tanya Bu Salim dengan nada kaget."Aku tak bercanda, Ma. Beneran, sebentar lagi Mama akan memiliki cucu.""Alhamdulillah!" seru wanita bergamis biru tua itu dengan netra berkaca-kaca. Sesaat kemudian dia terisak-isak sambil mendekap wajahnya. Fariq bangkit untuk mendekap sang mama. Wanita itu malah memukuli anaknya. "Kamu bikin Mama kepikiran yang enggak-enggak. Suka kalau mamamu jantungan?" Senang bercampur jengkel. Beliau juga bahagia, Fariq sudah kembali seperti putranya yang dulu. Lelaki bersahaja dan sesekali bercanda."Maaf, Ma." Fariq mencium tanga
Sementara Aditya yang sudah sampai di meubel-nya langsung masuk dan duduk di sebuah ruangan ukuran tiga kali tiga meter yang menjadi kantor dan tempatnya menerima tamu. Jika kerabat atau bahkan istrinya sendiri memercayai gosip itu, dirinya tidak mempercayai sama sekali. Dia kenal Jingga itu wanita seperti apa. Tidak mungkin akan melakukan hubungan sebelum ada ikatan pernikahan. "Mesum kamu, Mas. Jangan temui aku lagi jika pikiranmu kotor seperti itu. Walaupun kita sudah bertunangan, bukan berarti kamu bisa seenaknya. Masih ingat kan kata Pak Ustadz saat kita mengaji dulu. Dosa zina itu seperti apa." Jingga marah di dalam mobil ketika mereka sedang jalan-jalan ke kota. Dan dirinya sengaja mengajaknya booking kamar hotel semalam saja.Jika seandainya saja Jingga menuruti kemauannya, sudah bisa dipastikan bahwa dia akan merasa bersalah seumur hidup karena telah menodai wanita itu. Yang ternyata gagal untuk dipersuntingnya. Belum tentu orang tuanya tetap menikahkan mereka meski sudah te
Fariq dan Jingga pun terperanjat tak percaya. Mereka saling pandang dengan kebahagiaan yang begitu jelas tergambar."Benarkah, Dok?" tanya Fariq meyakinkan."Iya, Pak Fariq. Istri Anda hamil bayi kembar. Keduanya sama-sama sehat. Pantas saja tadi saya agak heran. Katanya baru hamil tiga bulan, tapi perut Mbak Jingga lebih besar dari biasanya saat seorang wanita tengah hamil anak pertama.""Alhamdulillah," jawab Fariq bahagia bercampur haru. Kebahagiaan itu datang bertubi-tubi pada dirinya. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan Semesta Alam berkehendak. Setelah kemarau panjang pasti akan ada hujan yang datang.Setelah usai pemeriksaan, Fariq dan Jingga kembali duduk berhadapan dengan Dokter Sonia. "Kenapa waktu pemeriksaan satu bulan yang lalu, dokter tidak bilang kalau saya hamil janin kembar, Dok?" tanya Jingga penasaran."Mungkin waktu itu janin satunya belum berkembang, Mbak. Tapi sebenarnya kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Di kehamilan enam minggu itu sudah tampak kal
Masih jelas dalam ingatan, bagaimana dirinya dihina, direndahkan dengan caci maki. "Kere pengen munggah bale." (Orang melarat yang ingin naik pangkat.)Padahal waktu itu dia mencintai Mahika tanpa memandang gadis itu siapa. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika sama-sama menjadi mahasiswa baru di salah satu Universitas di Surabaya. Setelah saling kenal dan berpacaran, baru ia tahu kalau Mahika anak orang berada. Dulu Mahika adalah gadis yang sangat sederhana. "Yuda, maafkan aku." Kata maaf diucapkannya lagi.Lelaki itu menarik napas berat kemudian memandang wanita cantik yang kini berurai air mata. "Aku sudah memaafkanmu. Setelah ini, jangan pernah temui aku atau anakku lagi." Dengan cepat Yuda melangkah keluar warung. Dia juga tidak peduli dengan beberapa pembeli di sana. Bahkan orang yang mengenalnya heran menatap Yuda yang melangkah pergi kembali ke kantornya.Mahika masih diam di tempat. Orang-orang yang tadi usil kini diam dan sesekali melirik ke arahnya. Ketika beberapa pe