"Riq, ada apa?" Bu Salim makin cemas. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan pantas. Rasa bersalah, sesal, dan kecewa kembali timbul ke permukaan."Apa Jingga menolak untuk tinggal bersama kita?""Bukan begitu, Ma. Jingga akan tinggal di sini. Hanya saja untuk sementara ini Jingga akan berhenti mengajar." Fariq tidak tega melihat raut cemas sang mama. "Menantu mama hamil delapan minggu.""Apa, Riq? Kamu nggak sedang bercanda, 'kan? tanya Bu Salim dengan nada kaget."Aku tak bercanda, Ma. Beneran, sebentar lagi Mama akan memiliki cucu.""Alhamdulillah!" seru wanita bergamis biru tua itu dengan netra berkaca-kaca. Sesaat kemudian dia terisak-isak sambil mendekap wajahnya. Fariq bangkit untuk mendekap sang mama. Wanita itu malah memukuli anaknya. "Kamu bikin Mama kepikiran yang enggak-enggak. Suka kalau mamamu jantungan?" Senang bercampur jengkel. Beliau juga bahagia, Fariq sudah kembali seperti putranya yang dulu. Lelaki bersahaja dan sesekali bercanda."Maaf, Ma." Fariq mencium tanga
Sementara Aditya yang sudah sampai di meubel-nya langsung masuk dan duduk di sebuah ruangan ukuran tiga kali tiga meter yang menjadi kantor dan tempatnya menerima tamu. Jika kerabat atau bahkan istrinya sendiri memercayai gosip itu, dirinya tidak mempercayai sama sekali. Dia kenal Jingga itu wanita seperti apa. Tidak mungkin akan melakukan hubungan sebelum ada ikatan pernikahan. "Mesum kamu, Mas. Jangan temui aku lagi jika pikiranmu kotor seperti itu. Walaupun kita sudah bertunangan, bukan berarti kamu bisa seenaknya. Masih ingat kan kata Pak Ustadz saat kita mengaji dulu. Dosa zina itu seperti apa." Jingga marah di dalam mobil ketika mereka sedang jalan-jalan ke kota. Dan dirinya sengaja mengajaknya booking kamar hotel semalam saja.Jika seandainya saja Jingga menuruti kemauannya, sudah bisa dipastikan bahwa dia akan merasa bersalah seumur hidup karena telah menodai wanita itu. Yang ternyata gagal untuk dipersuntingnya. Belum tentu orang tuanya tetap menikahkan mereka meski sudah te
Fariq dan Jingga pun terperanjat tak percaya. Mereka saling pandang dengan kebahagiaan yang begitu jelas tergambar."Benarkah, Dok?" tanya Fariq meyakinkan."Iya, Pak Fariq. Istri Anda hamil bayi kembar. Keduanya sama-sama sehat. Pantas saja tadi saya agak heran. Katanya baru hamil tiga bulan, tapi perut Mbak Jingga lebih besar dari biasanya saat seorang wanita tengah hamil anak pertama.""Alhamdulillah," jawab Fariq bahagia bercampur haru. Kebahagiaan itu datang bertubi-tubi pada dirinya. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan Semesta Alam berkehendak. Setelah kemarau panjang pasti akan ada hujan yang datang.Setelah usai pemeriksaan, Fariq dan Jingga kembali duduk berhadapan dengan Dokter Sonia. "Kenapa waktu pemeriksaan satu bulan yang lalu, dokter tidak bilang kalau saya hamil janin kembar, Dok?" tanya Jingga penasaran."Mungkin waktu itu janin satunya belum berkembang, Mbak. Tapi sebenarnya kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Di kehamilan enam minggu itu sudah tampak kal
Masih jelas dalam ingatan, bagaimana dirinya dihina, direndahkan dengan caci maki. "Kere pengen munggah bale." (Orang melarat yang ingin naik pangkat.)Padahal waktu itu dia mencintai Mahika tanpa memandang gadis itu siapa. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika sama-sama menjadi mahasiswa baru di salah satu Universitas di Surabaya. Setelah saling kenal dan berpacaran, baru ia tahu kalau Mahika anak orang berada. Dulu Mahika adalah gadis yang sangat sederhana. "Yuda, maafkan aku." Kata maaf diucapkannya lagi.Lelaki itu menarik napas berat kemudian memandang wanita cantik yang kini berurai air mata. "Aku sudah memaafkanmu. Setelah ini, jangan pernah temui aku atau anakku lagi." Dengan cepat Yuda melangkah keluar warung. Dia juga tidak peduli dengan beberapa pembeli di sana. Bahkan orang yang mengenalnya heran menatap Yuda yang melangkah pergi kembali ke kantornya.Mahika masih diam di tempat. Orang-orang yang tadi usil kini diam dan sesekali melirik ke arahnya. Ketika beberapa pe
DesirePart 53 Wanita di Rumah Singgah IBeberapa anak seusia SD dan TK berteriak kegirangan setelah melihat Fariq turun dari mobil bersama Jingga dan Bu Salim. Mereka berlarian menghampiri dan mencium tangan rombongan pria yang sudah mereka kenal dengan baik."Pak Fariq." Satu per satu mereka memanggil nama Fariq.Dengan wajah ramah, Fariq memperkenalkan mereka pada Jingga. Anak-anak itu memandangi perempuan yang sedang hamil itu sambil tersenyum. Seorang wanita berpakaian muslimah datang menghampiri. Senyumnya ramah menyambut kedatangan mereka. Bu Siti, yang menjadi ibu pengasuh dan mengawasi mereka semua. Janda tanpa anak yang mendedikasikan hidupnya pada rumah singgah yang didirikan Andrean dua setengah tahun yang lalu. Selain wanita itu ada seorang satpam dan dua orang lagi yang menjaga di sana."Mari masuk!" Bu Siti mempersilakan mereka duduk di sebuah joglo yang menjadi tempat biasa untuk menerima tamu atau mengadakan acara-acara tertentu. Bangunan yang berada tepat di depan r
Embun berhenti dan menunjukkan sosok perempuan yang sedang duduk bersandar di tiang gazebo dengan tatapan yang menerawang seolah ingin membelah angkasa. "Itu dia." Keduanya kembali melangkah menghampiri. "Assalamu'alaikum, Tia," sapa Embun. Membuat gadis itu menoleh dan buru-buru menyalami dan mencium tangan Embun. Dia juga melakukannya pada Jingga. "Wa'alaikumsalam," jawabnya pelan."Ini istrinya Pak Fariq. Panggil saja Mbak Jingga. Masih muda soalnya, kalau saya dah tuwir." Kelakar Embun yang membuat Jingga tersenyum.Tia mengangguk, kemudian mempersilakan dua wanita itu duduk di gazebo yang digelari tikar."Kok nasinya belum kamu makan?" tanya Embun saat melihat sekotak nasi masih terbiar di dekat Tia."Saya belum lapar, Bu. Nanti saja saya makan.""Kamu harus jaga kesehatan. Bayimu makin besar makin butuh asupan lebih banyak makanan yang bernutrisi. Jangan lupakan jadwalmu periksa."Tia hanya mengangguk lemah. Gadis yang telah kehilangan gairah hidupnya. Disaat dia butuh sokongan
Jingga heran kenapa Ina tiba-tiba menghentikan ceritanya. Mungkin saja dia terlalu sedih mengingat masa lalunya. Sudah berkorban demikian banyak, tapi akhirnya dibuang begitu saja. Jingga iba, Ina memang bekas wanita tuna susila, tapi dia manusia yang memiliki perasaan juga."Maaf, saya ke belakang dulu, Mbak," pamit wanita itu kemudian berdiri dan beranjak masuk ke dalam rumah.Sedangkan Jingga juga berdiri menghampiri suaminya. Ikut bergabung duduk dan mendengarkan mereka berbincang-bincang.Ina yang masuk ke dalam terus melangkah ke belakang dan berhenti di dekat jendela dapur. Memandang Tia yang masih melamun di kebun. Dirinya dan gadis itu sama-sama perempuan terbuang. Sama-sama memiliki nasib yang menyedihkan, karena kesalahannya sendiri.Ah, betapa lancangnya dia tadi bercerita banyak hal pada pada wanita yang baru dikenalnya. Wanita yang ketika ia memandangnya langsung membuatnya bisa menduga kalau dia perempuan yang sangat baik. Lelaki baik memang untuk wanita baik-baik juga.
"Kamu nggak akan bisa hidup di luar sana. Di sini kamu bisa mendapatkan uang dengan mudah. Perawatan salon mahal, shopping, diajak liburan pelanggan, atau menemani mereka di hotel ketika ada kunjungan kerja. Apa itu kurang enak?" Si mami mencoba merayunya kembali.Apa kurang enak? Tanya si mami. Tidak ada yang enak hidup bergelimang dosa. Tidak ada yang nyaman bekerja dalam lembah hitam yang ancamannya neraka. Hidup mereka tidak normal. Dan apa enaknya dari ketidaknormalan itu?Dia dipacu oleh tuntutan. Secapek apapun harus tetap sumringah, menggoda, dan all out. Meski besok paginya harus meringkuk menahan sakit seluruh badan dan perih di organ yang paling vital. Belum lagi dibelenggu oleh perasaan cemas dan was-was. Bagaimana kalau tiba-tiba ia tidak mendapatkan haid lagi? Otomatis janin entah milik siapa tumbuh di rahimnya. Atau tiba-tiba ia di vonis dokter mengidap HIV, AIDS, atau penyakit lainnya. Masih sehat saja dikucilkan, bagaimana jika sakit? Sungguh menyedihkan.Maka keputus