Fariq dan Jingga pun terperanjat tak percaya. Mereka saling pandang dengan kebahagiaan yang begitu jelas tergambar."Benarkah, Dok?" tanya Fariq meyakinkan."Iya, Pak Fariq. Istri Anda hamil bayi kembar. Keduanya sama-sama sehat. Pantas saja tadi saya agak heran. Katanya baru hamil tiga bulan, tapi perut Mbak Jingga lebih besar dari biasanya saat seorang wanita tengah hamil anak pertama.""Alhamdulillah," jawab Fariq bahagia bercampur haru. Kebahagiaan itu datang bertubi-tubi pada dirinya. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan Semesta Alam berkehendak. Setelah kemarau panjang pasti akan ada hujan yang datang.Setelah usai pemeriksaan, Fariq dan Jingga kembali duduk berhadapan dengan Dokter Sonia. "Kenapa waktu pemeriksaan satu bulan yang lalu, dokter tidak bilang kalau saya hamil janin kembar, Dok?" tanya Jingga penasaran."Mungkin waktu itu janin satunya belum berkembang, Mbak. Tapi sebenarnya kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Di kehamilan enam minggu itu sudah tampak kal
Masih jelas dalam ingatan, bagaimana dirinya dihina, direndahkan dengan caci maki. "Kere pengen munggah bale." (Orang melarat yang ingin naik pangkat.)Padahal waktu itu dia mencintai Mahika tanpa memandang gadis itu siapa. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika sama-sama menjadi mahasiswa baru di salah satu Universitas di Surabaya. Setelah saling kenal dan berpacaran, baru ia tahu kalau Mahika anak orang berada. Dulu Mahika adalah gadis yang sangat sederhana. "Yuda, maafkan aku." Kata maaf diucapkannya lagi.Lelaki itu menarik napas berat kemudian memandang wanita cantik yang kini berurai air mata. "Aku sudah memaafkanmu. Setelah ini, jangan pernah temui aku atau anakku lagi." Dengan cepat Yuda melangkah keluar warung. Dia juga tidak peduli dengan beberapa pembeli di sana. Bahkan orang yang mengenalnya heran menatap Yuda yang melangkah pergi kembali ke kantornya.Mahika masih diam di tempat. Orang-orang yang tadi usil kini diam dan sesekali melirik ke arahnya. Ketika beberapa pe
DesirePart 53 Wanita di Rumah Singgah IBeberapa anak seusia SD dan TK berteriak kegirangan setelah melihat Fariq turun dari mobil bersama Jingga dan Bu Salim. Mereka berlarian menghampiri dan mencium tangan rombongan pria yang sudah mereka kenal dengan baik."Pak Fariq." Satu per satu mereka memanggil nama Fariq.Dengan wajah ramah, Fariq memperkenalkan mereka pada Jingga. Anak-anak itu memandangi perempuan yang sedang hamil itu sambil tersenyum. Seorang wanita berpakaian muslimah datang menghampiri. Senyumnya ramah menyambut kedatangan mereka. Bu Siti, yang menjadi ibu pengasuh dan mengawasi mereka semua. Janda tanpa anak yang mendedikasikan hidupnya pada rumah singgah yang didirikan Andrean dua setengah tahun yang lalu. Selain wanita itu ada seorang satpam dan dua orang lagi yang menjaga di sana."Mari masuk!" Bu Siti mempersilakan mereka duduk di sebuah joglo yang menjadi tempat biasa untuk menerima tamu atau mengadakan acara-acara tertentu. Bangunan yang berada tepat di depan r
Embun berhenti dan menunjukkan sosok perempuan yang sedang duduk bersandar di tiang gazebo dengan tatapan yang menerawang seolah ingin membelah angkasa. "Itu dia." Keduanya kembali melangkah menghampiri. "Assalamu'alaikum, Tia," sapa Embun. Membuat gadis itu menoleh dan buru-buru menyalami dan mencium tangan Embun. Dia juga melakukannya pada Jingga. "Wa'alaikumsalam," jawabnya pelan."Ini istrinya Pak Fariq. Panggil saja Mbak Jingga. Masih muda soalnya, kalau saya dah tuwir." Kelakar Embun yang membuat Jingga tersenyum.Tia mengangguk, kemudian mempersilakan dua wanita itu duduk di gazebo yang digelari tikar."Kok nasinya belum kamu makan?" tanya Embun saat melihat sekotak nasi masih terbiar di dekat Tia."Saya belum lapar, Bu. Nanti saja saya makan.""Kamu harus jaga kesehatan. Bayimu makin besar makin butuh asupan lebih banyak makanan yang bernutrisi. Jangan lupakan jadwalmu periksa."Tia hanya mengangguk lemah. Gadis yang telah kehilangan gairah hidupnya. Disaat dia butuh sokongan
Jingga heran kenapa Ina tiba-tiba menghentikan ceritanya. Mungkin saja dia terlalu sedih mengingat masa lalunya. Sudah berkorban demikian banyak, tapi akhirnya dibuang begitu saja. Jingga iba, Ina memang bekas wanita tuna susila, tapi dia manusia yang memiliki perasaan juga."Maaf, saya ke belakang dulu, Mbak," pamit wanita itu kemudian berdiri dan beranjak masuk ke dalam rumah.Sedangkan Jingga juga berdiri menghampiri suaminya. Ikut bergabung duduk dan mendengarkan mereka berbincang-bincang.Ina yang masuk ke dalam terus melangkah ke belakang dan berhenti di dekat jendela dapur. Memandang Tia yang masih melamun di kebun. Dirinya dan gadis itu sama-sama perempuan terbuang. Sama-sama memiliki nasib yang menyedihkan, karena kesalahannya sendiri.Ah, betapa lancangnya dia tadi bercerita banyak hal pada pada wanita yang baru dikenalnya. Wanita yang ketika ia memandangnya langsung membuatnya bisa menduga kalau dia perempuan yang sangat baik. Lelaki baik memang untuk wanita baik-baik juga.
"Kamu nggak akan bisa hidup di luar sana. Di sini kamu bisa mendapatkan uang dengan mudah. Perawatan salon mahal, shopping, diajak liburan pelanggan, atau menemani mereka di hotel ketika ada kunjungan kerja. Apa itu kurang enak?" Si mami mencoba merayunya kembali.Apa kurang enak? Tanya si mami. Tidak ada yang enak hidup bergelimang dosa. Tidak ada yang nyaman bekerja dalam lembah hitam yang ancamannya neraka. Hidup mereka tidak normal. Dan apa enaknya dari ketidaknormalan itu?Dia dipacu oleh tuntutan. Secapek apapun harus tetap sumringah, menggoda, dan all out. Meski besok paginya harus meringkuk menahan sakit seluruh badan dan perih di organ yang paling vital. Belum lagi dibelenggu oleh perasaan cemas dan was-was. Bagaimana kalau tiba-tiba ia tidak mendapatkan haid lagi? Otomatis janin entah milik siapa tumbuh di rahimnya. Atau tiba-tiba ia di vonis dokter mengidap HIV, AIDS, atau penyakit lainnya. Masih sehat saja dikucilkan, bagaimana jika sakit? Sungguh menyedihkan.Maka keputus
Nency tidak segan untuk mengakui perasaannya. Dia gadis yang punya pemikiran terbuka. Sementara Roy diam menatap kejauhan. Dirinya juga merasa sangat berat jika harus membiarkan Nency menerima perjodohan itu. Roy tidak ingin kehilangan. Tapi apa yang mesti ia lakukan? Tiga tahun ia sudah berjuang mengambil hati orang tua gadis kesayangannya. Namun tidak ada respon yang baik dari mereka. Bahkan ia di ultimatum keras ketika bertemu terakhir setahun yang lalu."Jangan temui anak saya lagi!" perintah tegas dari Pak Aziz. Namun jika ada kesempatan mereka masih bertemu.Sebenarnya mereka tidak ada ikrar menjadi sepasang kekasih. Tujuannya memang ingin langsung menikah, hanya saja restu belum juga di kantongi. Mereka bukan sedang pacaran, tapi mereka saling menjaga. Tidak juga berlabuh pada hati lain setelah tahu tidak pernaj di restui."Aku nggak ingin menerima perjodohan itu. Sebelum mereka datang melamar, maukah kamu bertemu mamaku. Beliau lebih melunak ketimbang papa."Siapa bilang? Hany
"Ada apa Mas Roy menelepon, Mas?" tanya Jingga."Dia ingin ke sini malam ini. Ada yang mau dibicarakan dengan Mas. Tapi Mas tidak tahu tentang apa.""Kenapa nggak ngomong waktu kita ketemuan tadi siang?""Mungkin ini sifatnya lebih pribadi.""Kalian begitu dekat ya?"Fariq tersenyum. "Dulu kami memang sangat dekat. Dan tetap berhubungan baik meski Mas sudah berpisah dengan kakaknya.""Mbak Embun juga sangat baik. Selama bercerita denganku tadi. Sama sekali dia nggak cerita tentang masa lalunya yang kandas dengan Mas. Apalagi memburukkan Mas dan mama.""Ya, Embun memang baik." Perkataan spontan Fariq membuat Jingga menarik tubuhnya dari dekapan sang suami. Melihat perubahan wajah istrinya, Fariq kembali mendekap Jingga sambil tersenyum. "Seperti kamu, Sayang. Kamu juga sangat baik," ucap Fariq untuk menenangkan kembali keadaan. Dia sangat peka soal begini. Perempuan di mana-mana sama. Dia yang memulai, akhirnya dia juga yang tersulut kecemburuan. Terlebih perempuan hamil itu tingakat k