Jingga menyesap jeruk hangat baru bercerita. "Dulu ketika aku masih kecil. Aku nggak ingat umur berapa. Aku masih SD waktu itu. Mungkin kelas tiga kalau nggak kelas empat. Pulang dari mengajar, Mas Adam membawakan kami buah apel. Waktu itu aku nggak tau jenis apel apa. Membawa cuman dua biji saja. Diberikan padaku satu dan Mbak Laras satu. Aku ingat Mbak Laras sedang hamil Lanang. Buah itu kuciumi karena baunya yang wangi dan segar. Sepanjang malam kutaruh apel itu di atas bantal. Nggak kumakan karena sangat sayang." Jingga tampak tersenyum mengingat kenangan itu. Sedangkan Fariq terdiam dengan perasaan yang sulit di gambarkan."Besoknya Mas Adam memberikan lagi satu buah apel untukku. Besoknya lagi juga. Hingga buah itu terkumpul empat biji di dekat bantalku. Suatu sore Mas Adam melihatnya dan tanya kenapa aku nggak memakannya. Aku jawab kalau sayang untuk di makan. Mas Adam tersenyum lantas mendekapku erat."Jingga berhenti sejenak. "Waktu itu, apel sangat istimewa bagiku," ucap Jin
"Masya Allah, Alhamdulillah. Kamu hamil, Ga. Lihat ini, garis dua." Laras begitu antusias dan bahagia. Sedangkan Jingga masih diam memperhatikan benda pipih dengan perasaan tak percaya.Hamil? Dengan kisah masa lalu Fariq, tentu saja membuat Jingga kaget. Secepat ini ... begitu mudahnya .... Alhamdulillah, ia berucap syukur dalam hati."Suamimu pasti bahagia mendengar kabar ini." Laras tidak bisa membayangkan bagaimana bahagianya Fariq nanti."Untuk melihat kondisi janin, sebaiknya segera dilakukan USG, Mbak. Kalau dilihat dari tanggal terakhir menstruasi, mungkin janinnya sekitar umur enam mingguan." Dokter Wiwid menjelaskan."Terima kasih, Bu Wiwid. Nanti kalau suaminya sudah pulang, biar mereka ke dokter kandungan," jawab Laras.Bidan desa Ngliman itu memberikan vitamin dan obat penambah darah pada Jingga. Juga memasukkan testpack ke dalam plastik dan menjadikan satu dengan obat yang diberikan pada Jingga untuk dibawa pulang. "Maaf, saya nggak bisa lama-lama karena harus segera be
Lelaki itu lebih bisa mawas diri dan banyak berubah sekarang. Terlebih ketika Hera tetap bertahan dan masih terus mensupport ketika dia diambang kebangkrutan. Kembali survive dan merubah perilaku. Rusdi sendiri tidak tahu banyak tentang kisah hidup Fariq. Yang ia tahu, laki-laki itu belum lama ini menikah lagi setelah menduda lumayan lama. Jadi pertemuan mereka murni hanya untuk urusan pekerjaan.Kedua pria sebaya itu membicarakan mengenai bagaimana meningkatkan efisiensi pekerjaan. Agar lebih mudah bekerjasama untuk melaksanakan proyek yang akan datang. Merencanakan pembagian tugas dengan memanfaatkan potensi dari masing-masing individu. Dari sini saja, Fariq sudah bisa merasakan betapa sibuk dirinya dalam beberapa bulan ke depan. Pikiran terbagi oleh banyak hal.Makanya Pak Robi tidak mungkin akan mendepaknya hanya karena urusan hati sang keponakan. Fariq sangat potensial dalam memajukan langkah perusahaan. Terlebih dia juga menjadi hak waris dari saham Pak Salim yang ditanam di per
Dulu ketika baru masuk perusahaan, Mahika menilai Fariq adalah sosok pria yang dingin. Namun sangat disiplin dan tegas dalam bekerja serta mengambil keputusan. Hatinya yang diliputi duka lara terpaut pada sosoknya. Jatuh cinta sedalam-dalamnya. Wajah rupawan, tubuh tegap dengan dadanya yang bidang. Banyak wanita yang jadi kolega perusahaan berusaha menarik simpatinya. Namun pria itu justru terpikat pada perempuan berkulit eksotis, guru TK honorer. Jika tidak ada pekerjaan di lereng Wilis, mungkin Fariq tidak akan tergoda di sana.Impiannya sudah melambung tinggi. Diharapkan Fariq bisa dimiliki, menerima dia apa adanya, dan bisa membantu memperbaiki hubungannya dengan Yuda. Bagaimanapun di antara dia dan laki-laki itu ada Jelita. Sebab ia kenal betul siapa Yuda, lelaki itu tidak akan pernah bisa memaafkannya."Pak Fariq, nggak ingin ikut kami keliling kota Jakarta sebelum pulang besok?" Seorang kolega bertanya pada Fariq setelah selesai makan."Maaf Pak, saya di hotel saja. Saya mau is
Setelah melewati hari yang sangat berat, Pak Raul bisa melihat sinar keceriaan dari putrinya saat berkenalan dengan Fariq. Namun sayangnya lelaki itu sepertinya tidak tertarik pada Mahika. Tidak tertarik atau memang takut untuk mendekati hingga dia lebih memilih gadis lain.Banyak kenalannya yang memiliki putra dengan karir sukses, atau para eksekutif muda yang bisa dikenalkan pada Mahika. Tapi apakah mereka mau menerima keadaan Mahika apa adanya? Jika menolak, yang ada hanya akan membuka aib keluarganya saja. Beberapa tawaran perjodohan ia tolak dengan dalih Mahika masih ingin berkarir. Sebab Pak Raul sendiri bisa menilai, mereka orang-orang terpandang yang tentunya ingin memiliki menantu sempurna. Alhasil, Mahika di mata mereka hanya bisa dikagumi tapi susah di dekati. Mahika jadi istimewa karena dipandang sempurna dan tidak mudah disentuh. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Mengingat cuaca yang berubah cerah, tidak ada penundaan penerbangan kali ini. Tepat jam sembilan
"Bidan Wiwid bilang, kita harus melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan sekalian USG, Mas," kata Jingga setelah mereka berbaring di kamar malam itu."Oke, besok kita pergi. Besok masih hari Jum'at kita bisa ke rumah sakit. Mas ada meeting hari Sabtunya. Selesai meeting Mas langsung pulang ke sini lagi.""Mas, nggak capek. Hampir setengah bulan ini sangat sibuk."Fariq menggeleng kemudian melingkarkan lengannya di pinggang sang istri. Secapek apapun ketika mendengar ia akan punya bayi, rasa lelah itu menguap seketika. Sudah berapa kali sejak sore tadi mengucapkan kata hamdalah dan sujud syukur dalam salatnya. "Kalau Mas sibuk aku bisa pergi periksa bersama Mbak Laras.""Jangan, nanti Mas yang akan nganterin kamu." Fariq tentunya khawatir kalau mereka nanti pergi perjalanan jauh dengan naik motor. "Sejak Bidan Wiwid bilang aku hamil. Aku izin nggak mengajar hingga hari ini. Senin nanti aku baru masuk lagi.""Bagaimana kalau berhenti saja dari mengajar?" Fariq bicara secara spontan.
Fariq meraih jemari istrinya untuk di genggam. Memang butuh waktu untuk meluluhkan hati wanita muda di sampingnya. Ia harus sabar dan menyadari, kalau telah menikahi perempuan muda yang masih penuh ambisi dan terbiasa mandiri. Fariq percaya, Jingga pasti akan menjaga buah cinta mereka. Seorang ibu pasti akan melindungi buah hatinya.Jingga bertahan ingin tetap mengajar bukan karena honor yang di dapatnya. Sebab uang bulanan yang ia berikan jauh berkali-kali lipat dari gaji yang diterimanya. Ini hanya soal hati dan sebuah dedikasi. Tentunya menjadi sebuah kebanggaan jika cita-cita bisa kesampaian."Kita sarapan di mana?" tanya Fariq mengurai hening. Setelah mobil memasuki jalan Ahmad Yani."Hmm, di mana ya, Mas?" Jingga tampak berpikir. Yang ia ingat tempat-tempat makan yang ia kenal sewaktu masih kuliah dulu. Apakah mereka masih ada?"Kita ke Nasi Pecel Bledek saja, di sebelah barat Gedung Juang '45. Jadi habis makan kita bisa langsung ke Rumah Sakit Bhayangkara."Dahi Fariq mengernyi
"Mas, masih sering bertemu Mbak Embun?" Jingga mengulang pertanyaan."Tidak. Bahkan Mas baru bertemu lagi dengannya saat ada acara di rumah mama. Dalam waktu tertentu saja Mas bertemu dengan suaminya. Itu pun untuk urusan pekerjaan atau Mas singgah di Rumah Singgahnya." Fariq mengecup kening istrinya. Menaruh kepala Jingga di lengannya."Kamu tahu, Sayang. Berbagai kisah kehidupan ada di rumah singgah itu. Tentang anak jalanan yang tidak punya tempat untuk pulang. Tentang anak di luar nikah yang dibuang. Ada anak SMA yang hamil dan diasingkan keluarga karena orang tuanya malu dia hamil entah dengan siapa. Pacarnya juga tidak mau bertanggung jawab. Ada orang tua yang tidak punya tempat tinggal dan diabaikan anak-anaknya. Ada bekas wanita tuna susila yang tidak diterima lagi dilingkungannya. Bekas preman yang dikucilkan masyarakat. Dan masih banyak lagi cerita di sana."Gelora cemburu perlahan mereda, manik hitam milik Jingga menatap serius pada wajah pria yang begitu dekat dengan wajah