Pagi ini Jingga masuk mengajar dan Fariq mulai kembali bekerja. Sebenarnya cuti Jingga masih sehari lagi, berhubung Bu Lindi juga mulai cuti untuk mempersiapkan pernikahan, makanya Jingga memutuskan masuk mengajar. Kasihan Bu Sri Redjeki, pasti kewalahan mengurus empat puluh anak sendirian."Pulang jam berapa nanti?" tanya Fariq ketika Jingga membantunya melipat lengan kemeja."Jam dua belas. Habis itu nanti aku nyusul Mbak Laras ke toko ya, Mas.""Iya. Nanti pulang kerja Mas jemput.""Hu um."Fariq meraih dagu istrinya. Mengecup bibir Jingga. Keduanya saling tatap dan tersenyum. Sebenarnya Fariq adalah pria yang penuh perhatian, suka memanjakan istrinya. Ketika harus menikahi Karina dan bercerai dengan Embun, menjadikannya pria yang berbeda. Pendiam dan lebih suka menyendiri.Sekarang setelah menemukan lagi tambatan hati, Fariq kembali pada sikap aslinya. Lelaki hangat yang sabar dan perhatian. Terlebih pada Jingga yang usianya selisih jauh dengan dirinya. Perempuan yang masih malu-m
Wajah Mahika terlihat sendu ketika menyambut Fariq melangkah masuk dan duduk di depannya. Hatinya tak menentu duduk berdua seperti itu. Fariq sendiri merasa tidak nyaman. Seharusnya ada Santi di antara mereka, tapi asistennya Mahika sedang cuti hari itu. "Pak Fariq, akan pulang hari ini?" tanya Mahika setelah bersalaman dengan pria yang memakai kemeja warna biru."Ya, Mbak. Setelah pekerjaan saya beres di sini.""Maaf, Pak Fariq, dalam beberapa hari ini supplier kita telat mengirimkan bahan baku karena terkendala cuaca." Mahika menunjukkan file laporan pada Fariq. Pria itu menyimak dengan serius. Sedangkan Mahika justru tertegun memperhatikan lelaki di hadapannya.Jatuh cinta untuk kali kedua, terluka sama dalamnya. Semenjak bergabung dengan perusahaan Om-nya dan mengenal Fariq dia langsung jatuh hati. Serasa memiliki nasib percintaan yang sepadan, dipikir akan memudahkan mereka untuk berdekatan. Ternyata perkiraannya salah. Fariq jatuh cinta pada perempuan yang dianggapnya tak sepa
Dingin. Jingga meringkuk di bawah selimut sambil mendekap guling. Sebenarnya ia kecewa karena Fariq tidak jadi pulang hari itu. Kecewa karena tadi siang banyak orang yang bertanya mana suaminya? Kenapa datang sendirian? Ia hanya kecewa karena Fariq belum bisa pulang saja, sedangkan apapun pertanyaan mereka, bagi Jingga tidak sulit menjawabnya. Tadi siang dia juga bertemu Aditya di pernikahan Bu Lindi. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya dan sekarang hanya tinggal kenangan. Sungguh menyakitkan, ketika hati diberikan dengan penuh kepercayaan, nyatanya tersia-siakan. Ternyata dikhianati teman terdekat tidak hanya ada dalam cerita saja. Dalam dunia nyata juga banyak yang jauh lebih mengenaskan."Mas Fariq mana?" tanya Aditya ketika mereka bertemu saat laki-laki itu ingin mengucapkan selamat pengantin baru pada Bu Lindi usai acara temu manten."Mas Fariq ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal."Aditya terdiam sejenak."Bisa aku minta waktumu sebentar untuk bicara. Ada yang ingin aku kas
Pagi masih berkabut ketika dua mobil yang saling mengikuti bergerak meninggalkan Desa Ngliman. Di langit sebelah timur matahari masih tertutup awan kelabu, membuat sinarnya yang ingin menyentuh bumi terhalangi.Mobil milik Fariq yang dikemudikan oleh Erwin melaju di depan, sedangkan satu mobil milik proyek di kendarai Adam mengikuti di belakang. Mereka berangkat pagi supaya lebih awal sampai. Sepanjang perjalanan Fariq yang duduk di bangku tengah, menggenggam erat tangan istrinya yang sudah berdandan cantik pagi itu. Sementara dirinya hanya memakai celana hitam dan kemeja warna biru langit. Jasnya di biarkan tergantung di bagasi belakang."Hari ini kita akan bertemu keluarga besar yang tidak bisa ikut di pernikahan kita waktu itu.""Ya," jawab Jingga singkat karena dadanya berdebar-debar. Satu perkenalan baru akan ia hadapi hari ini. Terlebih ia akan bertemu dengan mantan istri dari suaminya. * * *Kedatangan rombongan keluarga Jingga disambut oleh para kerabat yang berkumpul di rum
"Aku jadi insecure berhadapan dengan mantan istri, Mas. Dia nggak hanya cantik tapi juga sangat tulus dan baik." Jingga berkata setelah mereka berbaring di ranjang, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.Fariq tersenyum lantas mengecup kening istrinya. "Dia sudah menjadi masa lalu, Sayang. Sekarang kamulah masa depan Mas." Pria itu akan berkata apapun supaya istrinya merasa nyaman.Jingga diam menatap langit-langit kamar. Begitu indahnya plafon itu, terlihat berkelas dan mewah. Dalam angannya masih terbayang wajah cantik Embun yang tersenyum padanya. Namun ia melihat ada sesuatu yang tak kasat mata hadir dibalik sorot mata Fariq dan Embun. Sebuah kenangan yang telah terkubur, tapi masih tampak terlihat. Ia juga melihat kemesraan Embun pada suami dan perhatian pada putra-putranya. Dua anak yang sangat menggemaskan. Dari balik selimut, Jingga meraba perutnya. Semoga dirahimnya nanti tumbuh buah cintanya dengan Fariq. Bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini? Mereka harus
"Jingga, kamu belum siap-siap, Nak?" tegur Bu Salim ketika melihat sang menantu sedang membantu Sumi memasak di dapur."Sebentar lagi, Bu. Saya biasa langsung masak sehabis Salat Subuh. Setelah sarapan kami baru berangkat.""Lepas saja jilbabmu. Di sini nggak ada laki-laki lain selain Fariq."Jingga tersenyum sambil mengangguk. Ia tahu, tapi malu karena rambutnya masih basah. Suaminya tidak memiliki hairdryer. Dan ia harus merencanakan untuk segera membelinya nanti. Jingga malu hendak bertanya pada ibu mertua.Mereka berangkat jam tujuh pagi setelah selesai sarapan. Bu Salim mengantarkan hingga ke halaman. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari mama kalau kalian sudah sampai," pesan Bu Salim. "Ya, Ma." Fariq dan Jingga masuk ke dalam mobil setelah mencium tangan sang mama.Wanita itu memandangi mobil hingga tak tampak lagi setelah berbelok di tikungan. Sekarang Bu Salim tidak pernah membahas soal anak dengan putranya. Cukup mendoakan dalam hati saja. Semoga doanya kali ini akan terk
Ketika beranjak remaja dan hatinya mulai digetarkan oleh perasaan cinta, Jingga hanya bermimpi untuk memiliki Aditya saja. Seorang putra bos meubel yang menjadi teman masa kecilnya. Berdampingan dengan Aditya bagi Jingga adalah sebuah keberuntungan. Nyatanya Allah telah memberinya yang lebih dari seorang Aditya.Jam sebelas siang Fariq mengajak Jingga untuk keluar vila. Hunting makan siang dilanjutkan jalan-jalan sebentar di Batu Plaza."Lihat gaun itu, bagus kan? Kita beli. Kamu pasti makin seksi." Fariq menunjuk lingerie warna merah jambu yang terpasang di manekin sebuah toko pakaian."Kulitku nggak sesuai dengan warna itu, Mas.""Siapa bilang? Kamu pantes pakai warna apapun.""Oke," jawab Jingga sambil tersenyum. Ia harus kembali percaya diri.Sebenarnya sejak dulu Jingga tidak pernah mempermasalahkan warna kulitnya. Ia percaya diri dan justru bangga dengan kulitnya yang eksotis, halus, dan menawan dengan bulu halus di permukaannya. Namun ketika bertemu Embun, dia mulai meragu. Mun
Mobil perlahan bergerak ke depan, ketika melewati rumah bercat biru Mahika menoleh ke kanan. Sepeda motor yang dikendarai perempuan tadi terparkir di samping rumah. Namun pintu rumah tertutup rapat.Ke mana anak perempuan kecil itu? Ini hari Minggu tentunya dia libur sekolah. Mahika terus melaju kemudian berhenti di perempatan, putar balik lagi dan berhenti tidak jauh dari rumah tadi.Cukup lama gadis itu termenung di sana. Selama menunggu tidak ada sesiapapun keluar dari rumah sederhana itu. Apakah mereka sedang bepergian?Ketika Mahika telungkup di atas setir mobil, ada yang mengetuk kaca hingga membuatnya mengangkat wajah dan kaget. Degup jantungnya berdetak kencang. Segera diturunkannya kaca mobil. "Nur," panggilnya pada gadis yang tadi naik motor. Mahika segera turun dari kendaraannya."Untuk apa Mbak ke sini?" Gadis berhijab abu-abu itu bertanya dengan ketus. Tatapan matanya juga tajam kepada Mahika. Membuat Mahika gelagapan mau menjawabnya."Nggak mungkin sekedar lewat kan? Dar