Jingga masih tidak tenang meskipun tamu suaminya sudah pergi. Kehadiran Mahika cukup mengganggunya hari itu. Walaupun sebelumnya ia telah mendengar banyak hal tentang masa lalu Fariq. Tapi tetap saja tidak ada yang mengenakkan jika mendengar cerita buruk tentang orang yang dicintai. Terlebih itu dari perempuan lain yang ia tahu menyimpan rasa pada pria yang baru saja menikahinya."Ah, itu sebenarnya hanya pelampiasan Mahika yang gagal mendapatkan hati Fariq." Jingga terus menghibur dirinya sendiri. Dia berbicara dalam hati sambil termenung di kamar menunggu suaminya selesai berbincang dengan asistennya di depan."Sebenarnya banyak lho wanita-wanita karier yang menyukai Pak Fariq. Selain cantik, mereka juga sukses." Jelas sekali perkataan Mahika ingin menjatuhkannya sebagai wanita yang hanya berprofesi sebagai guru Taman Kanak-kanak. Jika mereka lebih baik, kenapa Fariq memilihnya sebagai istri? Kenapa bukan mereka? Namun perkataan itu hanya tersekat dalam hati saja. "Saya sudah mend
Pagi ini Jingga masuk mengajar dan Fariq mulai kembali bekerja. Sebenarnya cuti Jingga masih sehari lagi, berhubung Bu Lindi juga mulai cuti untuk mempersiapkan pernikahan, makanya Jingga memutuskan masuk mengajar. Kasihan Bu Sri Redjeki, pasti kewalahan mengurus empat puluh anak sendirian."Pulang jam berapa nanti?" tanya Fariq ketika Jingga membantunya melipat lengan kemeja."Jam dua belas. Habis itu nanti aku nyusul Mbak Laras ke toko ya, Mas.""Iya. Nanti pulang kerja Mas jemput.""Hu um."Fariq meraih dagu istrinya. Mengecup bibir Jingga. Keduanya saling tatap dan tersenyum. Sebenarnya Fariq adalah pria yang penuh perhatian, suka memanjakan istrinya. Ketika harus menikahi Karina dan bercerai dengan Embun, menjadikannya pria yang berbeda. Pendiam dan lebih suka menyendiri.Sekarang setelah menemukan lagi tambatan hati, Fariq kembali pada sikap aslinya. Lelaki hangat yang sabar dan perhatian. Terlebih pada Jingga yang usianya selisih jauh dengan dirinya. Perempuan yang masih malu-m
Wajah Mahika terlihat sendu ketika menyambut Fariq melangkah masuk dan duduk di depannya. Hatinya tak menentu duduk berdua seperti itu. Fariq sendiri merasa tidak nyaman. Seharusnya ada Santi di antara mereka, tapi asistennya Mahika sedang cuti hari itu. "Pak Fariq, akan pulang hari ini?" tanya Mahika setelah bersalaman dengan pria yang memakai kemeja warna biru."Ya, Mbak. Setelah pekerjaan saya beres di sini.""Maaf, Pak Fariq, dalam beberapa hari ini supplier kita telat mengirimkan bahan baku karena terkendala cuaca." Mahika menunjukkan file laporan pada Fariq. Pria itu menyimak dengan serius. Sedangkan Mahika justru tertegun memperhatikan lelaki di hadapannya.Jatuh cinta untuk kali kedua, terluka sama dalamnya. Semenjak bergabung dengan perusahaan Om-nya dan mengenal Fariq dia langsung jatuh hati. Serasa memiliki nasib percintaan yang sepadan, dipikir akan memudahkan mereka untuk berdekatan. Ternyata perkiraannya salah. Fariq jatuh cinta pada perempuan yang dianggapnya tak sepa
Dingin. Jingga meringkuk di bawah selimut sambil mendekap guling. Sebenarnya ia kecewa karena Fariq tidak jadi pulang hari itu. Kecewa karena tadi siang banyak orang yang bertanya mana suaminya? Kenapa datang sendirian? Ia hanya kecewa karena Fariq belum bisa pulang saja, sedangkan apapun pertanyaan mereka, bagi Jingga tidak sulit menjawabnya. Tadi siang dia juga bertemu Aditya di pernikahan Bu Lindi. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya dan sekarang hanya tinggal kenangan. Sungguh menyakitkan, ketika hati diberikan dengan penuh kepercayaan, nyatanya tersia-siakan. Ternyata dikhianati teman terdekat tidak hanya ada dalam cerita saja. Dalam dunia nyata juga banyak yang jauh lebih mengenaskan."Mas Fariq mana?" tanya Aditya ketika mereka bertemu saat laki-laki itu ingin mengucapkan selamat pengantin baru pada Bu Lindi usai acara temu manten."Mas Fariq ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal."Aditya terdiam sejenak."Bisa aku minta waktumu sebentar untuk bicara. Ada yang ingin aku kas
Pagi masih berkabut ketika dua mobil yang saling mengikuti bergerak meninggalkan Desa Ngliman. Di langit sebelah timur matahari masih tertutup awan kelabu, membuat sinarnya yang ingin menyentuh bumi terhalangi.Mobil milik Fariq yang dikemudikan oleh Erwin melaju di depan, sedangkan satu mobil milik proyek di kendarai Adam mengikuti di belakang. Mereka berangkat pagi supaya lebih awal sampai. Sepanjang perjalanan Fariq yang duduk di bangku tengah, menggenggam erat tangan istrinya yang sudah berdandan cantik pagi itu. Sementara dirinya hanya memakai celana hitam dan kemeja warna biru langit. Jasnya di biarkan tergantung di bagasi belakang."Hari ini kita akan bertemu keluarga besar yang tidak bisa ikut di pernikahan kita waktu itu.""Ya," jawab Jingga singkat karena dadanya berdebar-debar. Satu perkenalan baru akan ia hadapi hari ini. Terlebih ia akan bertemu dengan mantan istri dari suaminya. * * *Kedatangan rombongan keluarga Jingga disambut oleh para kerabat yang berkumpul di rum
"Aku jadi insecure berhadapan dengan mantan istri, Mas. Dia nggak hanya cantik tapi juga sangat tulus dan baik." Jingga berkata setelah mereka berbaring di ranjang, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.Fariq tersenyum lantas mengecup kening istrinya. "Dia sudah menjadi masa lalu, Sayang. Sekarang kamulah masa depan Mas." Pria itu akan berkata apapun supaya istrinya merasa nyaman.Jingga diam menatap langit-langit kamar. Begitu indahnya plafon itu, terlihat berkelas dan mewah. Dalam angannya masih terbayang wajah cantik Embun yang tersenyum padanya. Namun ia melihat ada sesuatu yang tak kasat mata hadir dibalik sorot mata Fariq dan Embun. Sebuah kenangan yang telah terkubur, tapi masih tampak terlihat. Ia juga melihat kemesraan Embun pada suami dan perhatian pada putra-putranya. Dua anak yang sangat menggemaskan. Dari balik selimut, Jingga meraba perutnya. Semoga dirahimnya nanti tumbuh buah cintanya dengan Fariq. Bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini? Mereka harus
"Jingga, kamu belum siap-siap, Nak?" tegur Bu Salim ketika melihat sang menantu sedang membantu Sumi memasak di dapur."Sebentar lagi, Bu. Saya biasa langsung masak sehabis Salat Subuh. Setelah sarapan kami baru berangkat.""Lepas saja jilbabmu. Di sini nggak ada laki-laki lain selain Fariq."Jingga tersenyum sambil mengangguk. Ia tahu, tapi malu karena rambutnya masih basah. Suaminya tidak memiliki hairdryer. Dan ia harus merencanakan untuk segera membelinya nanti. Jingga malu hendak bertanya pada ibu mertua.Mereka berangkat jam tujuh pagi setelah selesai sarapan. Bu Salim mengantarkan hingga ke halaman. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari mama kalau kalian sudah sampai," pesan Bu Salim. "Ya, Ma." Fariq dan Jingga masuk ke dalam mobil setelah mencium tangan sang mama.Wanita itu memandangi mobil hingga tak tampak lagi setelah berbelok di tikungan. Sekarang Bu Salim tidak pernah membahas soal anak dengan putranya. Cukup mendoakan dalam hati saja. Semoga doanya kali ini akan terk
Ketika beranjak remaja dan hatinya mulai digetarkan oleh perasaan cinta, Jingga hanya bermimpi untuk memiliki Aditya saja. Seorang putra bos meubel yang menjadi teman masa kecilnya. Berdampingan dengan Aditya bagi Jingga adalah sebuah keberuntungan. Nyatanya Allah telah memberinya yang lebih dari seorang Aditya.Jam sebelas siang Fariq mengajak Jingga untuk keluar vila. Hunting makan siang dilanjutkan jalan-jalan sebentar di Batu Plaza."Lihat gaun itu, bagus kan? Kita beli. Kamu pasti makin seksi." Fariq menunjuk lingerie warna merah jambu yang terpasang di manekin sebuah toko pakaian."Kulitku nggak sesuai dengan warna itu, Mas.""Siapa bilang? Kamu pantes pakai warna apapun.""Oke," jawab Jingga sambil tersenyum. Ia harus kembali percaya diri.Sebenarnya sejak dulu Jingga tidak pernah mempermasalahkan warna kulitnya. Ia percaya diri dan justru bangga dengan kulitnya yang eksotis, halus, dan menawan dengan bulu halus di permukaannya. Namun ketika bertemu Embun, dia mulai meragu. Mun
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su