Dingin. Jingga meringkuk di bawah selimut sambil mendekap guling. Sebenarnya ia kecewa karena Fariq tidak jadi pulang hari itu. Kecewa karena tadi siang banyak orang yang bertanya mana suaminya? Kenapa datang sendirian? Ia hanya kecewa karena Fariq belum bisa pulang saja, sedangkan apapun pertanyaan mereka, bagi Jingga tidak sulit menjawabnya. Tadi siang dia juga bertemu Aditya di pernikahan Bu Lindi. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya dan sekarang hanya tinggal kenangan. Sungguh menyakitkan, ketika hati diberikan dengan penuh kepercayaan, nyatanya tersia-siakan. Ternyata dikhianati teman terdekat tidak hanya ada dalam cerita saja. Dalam dunia nyata juga banyak yang jauh lebih mengenaskan."Mas Fariq mana?" tanya Aditya ketika mereka bertemu saat laki-laki itu ingin mengucapkan selamat pengantin baru pada Bu Lindi usai acara temu manten."Mas Fariq ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal."Aditya terdiam sejenak."Bisa aku minta waktumu sebentar untuk bicara. Ada yang ingin aku kas
Pagi masih berkabut ketika dua mobil yang saling mengikuti bergerak meninggalkan Desa Ngliman. Di langit sebelah timur matahari masih tertutup awan kelabu, membuat sinarnya yang ingin menyentuh bumi terhalangi.Mobil milik Fariq yang dikemudikan oleh Erwin melaju di depan, sedangkan satu mobil milik proyek di kendarai Adam mengikuti di belakang. Mereka berangkat pagi supaya lebih awal sampai. Sepanjang perjalanan Fariq yang duduk di bangku tengah, menggenggam erat tangan istrinya yang sudah berdandan cantik pagi itu. Sementara dirinya hanya memakai celana hitam dan kemeja warna biru langit. Jasnya di biarkan tergantung di bagasi belakang."Hari ini kita akan bertemu keluarga besar yang tidak bisa ikut di pernikahan kita waktu itu.""Ya," jawab Jingga singkat karena dadanya berdebar-debar. Satu perkenalan baru akan ia hadapi hari ini. Terlebih ia akan bertemu dengan mantan istri dari suaminya. * * *Kedatangan rombongan keluarga Jingga disambut oleh para kerabat yang berkumpul di rum
"Aku jadi insecure berhadapan dengan mantan istri, Mas. Dia nggak hanya cantik tapi juga sangat tulus dan baik." Jingga berkata setelah mereka berbaring di ranjang, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.Fariq tersenyum lantas mengecup kening istrinya. "Dia sudah menjadi masa lalu, Sayang. Sekarang kamulah masa depan Mas." Pria itu akan berkata apapun supaya istrinya merasa nyaman.Jingga diam menatap langit-langit kamar. Begitu indahnya plafon itu, terlihat berkelas dan mewah. Dalam angannya masih terbayang wajah cantik Embun yang tersenyum padanya. Namun ia melihat ada sesuatu yang tak kasat mata hadir dibalik sorot mata Fariq dan Embun. Sebuah kenangan yang telah terkubur, tapi masih tampak terlihat. Ia juga melihat kemesraan Embun pada suami dan perhatian pada putra-putranya. Dua anak yang sangat menggemaskan. Dari balik selimut, Jingga meraba perutnya. Semoga dirahimnya nanti tumbuh buah cintanya dengan Fariq. Bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini? Mereka harus
"Jingga, kamu belum siap-siap, Nak?" tegur Bu Salim ketika melihat sang menantu sedang membantu Sumi memasak di dapur."Sebentar lagi, Bu. Saya biasa langsung masak sehabis Salat Subuh. Setelah sarapan kami baru berangkat.""Lepas saja jilbabmu. Di sini nggak ada laki-laki lain selain Fariq."Jingga tersenyum sambil mengangguk. Ia tahu, tapi malu karena rambutnya masih basah. Suaminya tidak memiliki hairdryer. Dan ia harus merencanakan untuk segera membelinya nanti. Jingga malu hendak bertanya pada ibu mertua.Mereka berangkat jam tujuh pagi setelah selesai sarapan. Bu Salim mengantarkan hingga ke halaman. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari mama kalau kalian sudah sampai," pesan Bu Salim. "Ya, Ma." Fariq dan Jingga masuk ke dalam mobil setelah mencium tangan sang mama.Wanita itu memandangi mobil hingga tak tampak lagi setelah berbelok di tikungan. Sekarang Bu Salim tidak pernah membahas soal anak dengan putranya. Cukup mendoakan dalam hati saja. Semoga doanya kali ini akan terk
Ketika beranjak remaja dan hatinya mulai digetarkan oleh perasaan cinta, Jingga hanya bermimpi untuk memiliki Aditya saja. Seorang putra bos meubel yang menjadi teman masa kecilnya. Berdampingan dengan Aditya bagi Jingga adalah sebuah keberuntungan. Nyatanya Allah telah memberinya yang lebih dari seorang Aditya.Jam sebelas siang Fariq mengajak Jingga untuk keluar vila. Hunting makan siang dilanjutkan jalan-jalan sebentar di Batu Plaza."Lihat gaun itu, bagus kan? Kita beli. Kamu pasti makin seksi." Fariq menunjuk lingerie warna merah jambu yang terpasang di manekin sebuah toko pakaian."Kulitku nggak sesuai dengan warna itu, Mas.""Siapa bilang? Kamu pantes pakai warna apapun.""Oke," jawab Jingga sambil tersenyum. Ia harus kembali percaya diri.Sebenarnya sejak dulu Jingga tidak pernah mempermasalahkan warna kulitnya. Ia percaya diri dan justru bangga dengan kulitnya yang eksotis, halus, dan menawan dengan bulu halus di permukaannya. Namun ketika bertemu Embun, dia mulai meragu. Mun
Mobil perlahan bergerak ke depan, ketika melewati rumah bercat biru Mahika menoleh ke kanan. Sepeda motor yang dikendarai perempuan tadi terparkir di samping rumah. Namun pintu rumah tertutup rapat.Ke mana anak perempuan kecil itu? Ini hari Minggu tentunya dia libur sekolah. Mahika terus melaju kemudian berhenti di perempatan, putar balik lagi dan berhenti tidak jauh dari rumah tadi.Cukup lama gadis itu termenung di sana. Selama menunggu tidak ada sesiapapun keluar dari rumah sederhana itu. Apakah mereka sedang bepergian?Ketika Mahika telungkup di atas setir mobil, ada yang mengetuk kaca hingga membuatnya mengangkat wajah dan kaget. Degup jantungnya berdetak kencang. Segera diturunkannya kaca mobil. "Nur," panggilnya pada gadis yang tadi naik motor. Mahika segera turun dari kendaraannya."Untuk apa Mbak ke sini?" Gadis berhijab abu-abu itu bertanya dengan ketus. Tatapan matanya juga tajam kepada Mahika. Membuat Mahika gelagapan mau menjawabnya."Nggak mungkin sekedar lewat kan? Dar
Jingga menyesap jeruk hangat baru bercerita. "Dulu ketika aku masih kecil. Aku nggak ingat umur berapa. Aku masih SD waktu itu. Mungkin kelas tiga kalau nggak kelas empat. Pulang dari mengajar, Mas Adam membawakan kami buah apel. Waktu itu aku nggak tau jenis apel apa. Membawa cuman dua biji saja. Diberikan padaku satu dan Mbak Laras satu. Aku ingat Mbak Laras sedang hamil Lanang. Buah itu kuciumi karena baunya yang wangi dan segar. Sepanjang malam kutaruh apel itu di atas bantal. Nggak kumakan karena sangat sayang." Jingga tampak tersenyum mengingat kenangan itu. Sedangkan Fariq terdiam dengan perasaan yang sulit di gambarkan."Besoknya Mas Adam memberikan lagi satu buah apel untukku. Besoknya lagi juga. Hingga buah itu terkumpul empat biji di dekat bantalku. Suatu sore Mas Adam melihatnya dan tanya kenapa aku nggak memakannya. Aku jawab kalau sayang untuk di makan. Mas Adam tersenyum lantas mendekapku erat."Jingga berhenti sejenak. "Waktu itu, apel sangat istimewa bagiku," ucap Jin
"Masya Allah, Alhamdulillah. Kamu hamil, Ga. Lihat ini, garis dua." Laras begitu antusias dan bahagia. Sedangkan Jingga masih diam memperhatikan benda pipih dengan perasaan tak percaya.Hamil? Dengan kisah masa lalu Fariq, tentu saja membuat Jingga kaget. Secepat ini ... begitu mudahnya .... Alhamdulillah, ia berucap syukur dalam hati."Suamimu pasti bahagia mendengar kabar ini." Laras tidak bisa membayangkan bagaimana bahagianya Fariq nanti."Untuk melihat kondisi janin, sebaiknya segera dilakukan USG, Mbak. Kalau dilihat dari tanggal terakhir menstruasi, mungkin janinnya sekitar umur enam mingguan." Dokter Wiwid menjelaskan."Terima kasih, Bu Wiwid. Nanti kalau suaminya sudah pulang, biar mereka ke dokter kandungan," jawab Laras.Bidan desa Ngliman itu memberikan vitamin dan obat penambah darah pada Jingga. Juga memasukkan testpack ke dalam plastik dan menjadikan satu dengan obat yang diberikan pada Jingga untuk dibawa pulang. "Maaf, saya nggak bisa lama-lama karena harus segera be