"Bulan depan kamu kan harus kembali setelah proyek sudah berjalan lancar. Mbak Jingga pasti ikut juga kan?" tanya Sigit. Dan itu membuat Jingga kaget juga. Karena Fariq belum memberitahunya soal itu."Atau mau tetap tinggal di sini dan kamu yang bakalan bolak-balik ke Nganjuk?" tambah Sigit."Aku belum membahas hal ini dengan Pak Roby. Waktu aku ke kantor itu beliau memang bilang, kalau sudah bisa di tinggal sebaiknya aku segera kembali ke kantor. Mungkin dua minggu sekali atau sebulan sekali aku akan ngecek ke sini."Meski hanya mendengarkan saja, tapi Jingga merasakan pedih. Baru sehari semalam menikah, pagi ini harus mendengarkan kabar lain. Memang ia pun sadar, pada akhirnya akan tetap ikut Fariq. Namun ia tidak berpikir akan secepat ini. Dipikirnya sang suami akan bertahan di sana hingga proyek itu selesai. Bayangan anak-anak didiknya memenuhi benak. Mereka sudah menjadi bagian dari hidupnya.Percakapan mereka terhenti ketika Laras membawakan hidangan ke ruang tamu. Jingga ke be
Jingga masih tidak tenang meskipun tamu suaminya sudah pergi. Kehadiran Mahika cukup mengganggunya hari itu. Walaupun sebelumnya ia telah mendengar banyak hal tentang masa lalu Fariq. Tapi tetap saja tidak ada yang mengenakkan jika mendengar cerita buruk tentang orang yang dicintai. Terlebih itu dari perempuan lain yang ia tahu menyimpan rasa pada pria yang baru saja menikahinya."Ah, itu sebenarnya hanya pelampiasan Mahika yang gagal mendapatkan hati Fariq." Jingga terus menghibur dirinya sendiri. Dia berbicara dalam hati sambil termenung di kamar menunggu suaminya selesai berbincang dengan asistennya di depan."Sebenarnya banyak lho wanita-wanita karier yang menyukai Pak Fariq. Selain cantik, mereka juga sukses." Jelas sekali perkataan Mahika ingin menjatuhkannya sebagai wanita yang hanya berprofesi sebagai guru Taman Kanak-kanak. Jika mereka lebih baik, kenapa Fariq memilihnya sebagai istri? Kenapa bukan mereka? Namun perkataan itu hanya tersekat dalam hati saja. "Saya sudah mend
Pagi ini Jingga masuk mengajar dan Fariq mulai kembali bekerja. Sebenarnya cuti Jingga masih sehari lagi, berhubung Bu Lindi juga mulai cuti untuk mempersiapkan pernikahan, makanya Jingga memutuskan masuk mengajar. Kasihan Bu Sri Redjeki, pasti kewalahan mengurus empat puluh anak sendirian."Pulang jam berapa nanti?" tanya Fariq ketika Jingga membantunya melipat lengan kemeja."Jam dua belas. Habis itu nanti aku nyusul Mbak Laras ke toko ya, Mas.""Iya. Nanti pulang kerja Mas jemput.""Hu um."Fariq meraih dagu istrinya. Mengecup bibir Jingga. Keduanya saling tatap dan tersenyum. Sebenarnya Fariq adalah pria yang penuh perhatian, suka memanjakan istrinya. Ketika harus menikahi Karina dan bercerai dengan Embun, menjadikannya pria yang berbeda. Pendiam dan lebih suka menyendiri.Sekarang setelah menemukan lagi tambatan hati, Fariq kembali pada sikap aslinya. Lelaki hangat yang sabar dan perhatian. Terlebih pada Jingga yang usianya selisih jauh dengan dirinya. Perempuan yang masih malu-m
Wajah Mahika terlihat sendu ketika menyambut Fariq melangkah masuk dan duduk di depannya. Hatinya tak menentu duduk berdua seperti itu. Fariq sendiri merasa tidak nyaman. Seharusnya ada Santi di antara mereka, tapi asistennya Mahika sedang cuti hari itu. "Pak Fariq, akan pulang hari ini?" tanya Mahika setelah bersalaman dengan pria yang memakai kemeja warna biru."Ya, Mbak. Setelah pekerjaan saya beres di sini.""Maaf, Pak Fariq, dalam beberapa hari ini supplier kita telat mengirimkan bahan baku karena terkendala cuaca." Mahika menunjukkan file laporan pada Fariq. Pria itu menyimak dengan serius. Sedangkan Mahika justru tertegun memperhatikan lelaki di hadapannya.Jatuh cinta untuk kali kedua, terluka sama dalamnya. Semenjak bergabung dengan perusahaan Om-nya dan mengenal Fariq dia langsung jatuh hati. Serasa memiliki nasib percintaan yang sepadan, dipikir akan memudahkan mereka untuk berdekatan. Ternyata perkiraannya salah. Fariq jatuh cinta pada perempuan yang dianggapnya tak sepa
Dingin. Jingga meringkuk di bawah selimut sambil mendekap guling. Sebenarnya ia kecewa karena Fariq tidak jadi pulang hari itu. Kecewa karena tadi siang banyak orang yang bertanya mana suaminya? Kenapa datang sendirian? Ia hanya kecewa karena Fariq belum bisa pulang saja, sedangkan apapun pertanyaan mereka, bagi Jingga tidak sulit menjawabnya. Tadi siang dia juga bertemu Aditya di pernikahan Bu Lindi. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya dan sekarang hanya tinggal kenangan. Sungguh menyakitkan, ketika hati diberikan dengan penuh kepercayaan, nyatanya tersia-siakan. Ternyata dikhianati teman terdekat tidak hanya ada dalam cerita saja. Dalam dunia nyata juga banyak yang jauh lebih mengenaskan."Mas Fariq mana?" tanya Aditya ketika mereka bertemu saat laki-laki itu ingin mengucapkan selamat pengantin baru pada Bu Lindi usai acara temu manten."Mas Fariq ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal."Aditya terdiam sejenak."Bisa aku minta waktumu sebentar untuk bicara. Ada yang ingin aku kas
Pagi masih berkabut ketika dua mobil yang saling mengikuti bergerak meninggalkan Desa Ngliman. Di langit sebelah timur matahari masih tertutup awan kelabu, membuat sinarnya yang ingin menyentuh bumi terhalangi.Mobil milik Fariq yang dikemudikan oleh Erwin melaju di depan, sedangkan satu mobil milik proyek di kendarai Adam mengikuti di belakang. Mereka berangkat pagi supaya lebih awal sampai. Sepanjang perjalanan Fariq yang duduk di bangku tengah, menggenggam erat tangan istrinya yang sudah berdandan cantik pagi itu. Sementara dirinya hanya memakai celana hitam dan kemeja warna biru langit. Jasnya di biarkan tergantung di bagasi belakang."Hari ini kita akan bertemu keluarga besar yang tidak bisa ikut di pernikahan kita waktu itu.""Ya," jawab Jingga singkat karena dadanya berdebar-debar. Satu perkenalan baru akan ia hadapi hari ini. Terlebih ia akan bertemu dengan mantan istri dari suaminya. * * *Kedatangan rombongan keluarga Jingga disambut oleh para kerabat yang berkumpul di rum
"Aku jadi insecure berhadapan dengan mantan istri, Mas. Dia nggak hanya cantik tapi juga sangat tulus dan baik." Jingga berkata setelah mereka berbaring di ranjang, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.Fariq tersenyum lantas mengecup kening istrinya. "Dia sudah menjadi masa lalu, Sayang. Sekarang kamulah masa depan Mas." Pria itu akan berkata apapun supaya istrinya merasa nyaman.Jingga diam menatap langit-langit kamar. Begitu indahnya plafon itu, terlihat berkelas dan mewah. Dalam angannya masih terbayang wajah cantik Embun yang tersenyum padanya. Namun ia melihat ada sesuatu yang tak kasat mata hadir dibalik sorot mata Fariq dan Embun. Sebuah kenangan yang telah terkubur, tapi masih tampak terlihat. Ia juga melihat kemesraan Embun pada suami dan perhatian pada putra-putranya. Dua anak yang sangat menggemaskan. Dari balik selimut, Jingga meraba perutnya. Semoga dirahimnya nanti tumbuh buah cintanya dengan Fariq. Bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini? Mereka harus
"Jingga, kamu belum siap-siap, Nak?" tegur Bu Salim ketika melihat sang menantu sedang membantu Sumi memasak di dapur."Sebentar lagi, Bu. Saya biasa langsung masak sehabis Salat Subuh. Setelah sarapan kami baru berangkat.""Lepas saja jilbabmu. Di sini nggak ada laki-laki lain selain Fariq."Jingga tersenyum sambil mengangguk. Ia tahu, tapi malu karena rambutnya masih basah. Suaminya tidak memiliki hairdryer. Dan ia harus merencanakan untuk segera membelinya nanti. Jingga malu hendak bertanya pada ibu mertua.Mereka berangkat jam tujuh pagi setelah selesai sarapan. Bu Salim mengantarkan hingga ke halaman. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari mama kalau kalian sudah sampai," pesan Bu Salim. "Ya, Ma." Fariq dan Jingga masuk ke dalam mobil setelah mencium tangan sang mama.Wanita itu memandangi mobil hingga tak tampak lagi setelah berbelok di tikungan. Sekarang Bu Salim tidak pernah membahas soal anak dengan putranya. Cukup mendoakan dalam hati saja. Semoga doanya kali ini akan terk