"Rujuk?" tanya Mbak Iin. Wanita itu kaget ketika Aisyah menceritakan percakapannya dengan Yuda tadi malam. Di mana lelaki itu mengutarakan niat untuk mengajaknya rujuk lagi.Aisyah mengangguk."Kamu sendiri bagaimana?"Aisyah tersenyum getir sambil menerawang ke langit sore. "Kurasa dia hanya kecewa pada masa lalunya, kemudian ingin kembali padaku, Mbak. Kalau dia bahagia dengan Mahika, mana mungkin akan mencariku lagi." Aisyah menarik napas perlahan. "Aku merasakan jadi istri yang dimuliakan hanya dua bulan setelah pernikahan. Karena kami masih dalam momen bulan madu. Sisanya dia sibuk dengan masa lalunya. Sibuk chat diam-diam dengan wanita itu."Mbak Iin juga menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya dia ikut sakit hati atas perlakuan Yuda pada adik sepupunya, tapi di sisi lain ia juga kasihan bayi yang dikandung Aisyah jika lahir tanpa orang tua yang lengkap. Kasihan juga pada pria itu. Kelihatan sekali kalau ia sangat tertekan. Apalagi melihat Aisyah hamil, tentu nalurinya sebagai seo
Aisyah. Yuda teringat mantan istrinya. Apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Ia juga ingat perut Aisyah tempat bayinya berada. Sudah makin besar dan pasti sudah diketahui jenis kelaminnya. Kemarin ia tak sempat menanyakan hal itu. Yuda memerhatikan sang ibu yang mendengarkan Jelita bercerita tentang sekolahnya hari ini. Gadis kecil itu yang membuat Bu Yekti berdamai dengan hubungannya yang memburuk dengan sang putra. Meskipun tidak akan bisa menerima Mahika.Nur juga selalu menelepon dan menenangkan ibunya. "Ibu nggak usah terlalu banyak pikiran. Entar kalau ibu sakit siapa yang jagain. Aku jauh, Bu." Itu pesan Nur. Dan Bu Yekti patuh pada pendapat anak bungsunya, karena beliau juga tidak ingin membuat Nur susah hati. Gadisnya sedang meniti karir sekarang."Bagaimana dengan rencanamu besok?" Bu Yekti bertanya pada putranya. Meskipun ia tidak menyukai keinginan Mahika yang selalu terburu-buru dan memaksakan kehendak. Namun beliau sadar, bagaimanapun juga wanita itu adalah ibu biolog
Matahari pagi muncul dari balik Gunung Anjasmoro, menghangatkan bumi dari hawa dingin di musim kemarau. Sinar kuning keemasan menyapu pelataran rumah besar yang kini tampak lebih semarak dengan kehadiran dua bayi tampan.Fariq menggendong Farras dengan lengan kanannya dan Farel di lengan kirinya. Dia menimang bayi yang belum genap berumur sebulan itu di dekat jendela kamar. Binar bahagia terlihat di wajahnya yang segar karena habis mandi. Sedangkan dari kamar mandi terdengar Jingga membersihkan diri."Mas, kok digendong bersamaan, sih!" tegur Jingga saat keluar dan kaget mendapati sang suami menggendong si kembar. Membuat wanita itu was-was."Mas bisa!" jawab Fariq sambil tersenyum."Nanti jatuh gimana? Aduh, sini!" Jingga meletakkan handuk basahnya begitu saja di sandaran kursi. Kemudian mengambil Farel dari lengan kiri papanya dan menidurkan di ranjang mereka. Dia langsung teringat dua malam yang lalu, saat Farras hampir terjatuh dari pangkuan Fariq karena suaminya itu ketiduran ket
Yuda keluar kamar dengan pakaian rapi. Hem warna biru dengan lengan digulung hingga ke siku dan celana jeans warna yang sama. Pria itu berpandangan sejenak dengan sang ibu yang tampak cemas. "Aku akan pulang cepat, Bu."Bu Yekti hanya mengangguk. Meski perasaannya tidak rela dan masih sakit atas peristiwa bertahun yang lalu, tapi mau tak mau semua ini harus dijalani.Setelah berpamitan dan mencium tangan Bu Yekti, ayah dan anak itu berangkat ke Jombang. Kenapa harus mereka yang ke Jombang? Kenapa tidak Mahika dan keluarganya saja yang datang? Sebab Yuda sendiri yang menghendaki seperti ini. Dia tidak ingin para warga tahu pertemuan mereka yang akan kembali menjadi buah bibir di antara para tetangga. Yuda tidak ingin menambah beban pikiran ibunya, terlebih ia masih sangat berharap kalau Aisyah akan memberikan kesempatan padanya untuk bersama lagi.Jelita banyak bertanya dan bercerita sepanjang tol Kertosono-Jombang. Membuat perjalanan mereka tidak terasa sunyi. Gadis kecil itu dengan a
Beberapa pengunjung rumah makan di rest area tol Jombang-Nganjuk memperhatikan Yuda dan Jelita yang sedang makan bakso. Gadis kecil nan cantik itu menarik perhatian karena makan sambil bercerita sangat riang dengan ayahnya.Kehadiran mereka tanpa seorang wanita yang menemani menjadikan Yuda dikagumi beberapa pengunjung perempuan. Begitu telatennya seorang ayah, sendirian mengajak sang anak perjalanan jauh dan melayani putrinya dengan sabar. Apalagi anaknya masih kecil."Yah, tadi Tante May bilang kalau kapan-kapan akan mengajak Jelita menginap di rumahnya!""Terus ... Lita jawab apa?""Lita nggak mau kalau sendirian. Lita bilang kalau Ayah boleh ikut, Lita mau. Kalau Ayah nggak ikut, Lita juga nggak mau."Yuda tersenyum pada gadis kecilnya yang begitu polos. Sambil menunggu Jelita selesai makan, Yuda melihat ponselnya. Terbaca story dari Mahika yang menuliskan kekecewaannya. Ada ucapan sindirian yang tentu ditujukan padanya. Namun Yuda hanya membaca tanpa berniat untuk menanggapi. Sa
Bu Aziz tergesa-gesa menghampiri Nency yang sedang muntah di kamar mandi. Wanita itu masuk dan memijit tengkuk putrinya. Hingga Nency selesai memuntahkan isi perutnya kemudian keluar dengan tubuh lemas dan wajah pucat.Wanita anggun itu membimbing anaknya untuk duduk di sofa ruang keluarga. Pagi tadi Roy mengantarkan Nency ke rumahnya karena hari ini Roy sibuk mengurus administrasi di kampus sekalian mengurusi bengkel.Minyak kayu putih dibalurkan Bu Aziz di sekitar leher dan dada Nency."Tiga mingguan lagi kamu resepsi, lho, Cy. Kira-kira kamu kuat nggak duduk di pelaminan?""Insyaallah, Ma.""Tamu undangan papamu banyak banget. Belum lagi undangan teman-temanmu sama Roy. Kalau kamu ngasih tahu sejak awal, kan kita bisa menundanya."Nency tersenyum. "Aku saja juga baru tahu, Ma. Kupikir telat haid seperti biasanya."Bu Aziz berdiri untuk mengambilkan buah mangga dan apel yang baru saja dikupaskan oleh ART-nya."Kakakmu lagi ada masalah sama suaminya. Tadi malam dia telepon mama," kat
Yuda mengambil ponselnya di atas kasur. Kemudian membuka jendela kamar supaya semilir angin malam menyejukkan ruangan yang mendadak terasa panas oleh debaran perasaannya sendiri.Tatapannya memandang kejauhan sambil menunggu Aisyah menjawab telepon. Semenjak berpisah ini, Aisyah tidak secekatan dulu menerima panggilannya. Apakah ponsel baginya sekarang tidak seberapa penting? Atau Yuda yang sebenarnya tak penting lagi?"Halo, Assalamu'alaikum." Akhirnya dijawab juga."Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?" Pertanyaan sok dekat seperti ketika mereka masih dalam masa pertunangan. Meski rasa canggung menyergap tanpa ampun."Aku barusan selesai Sholat Isya. Ada apa Mas nelepon?"Yuda agak gelagapan untuk memulai percakapan. Tentu ini bukan topik yang layak diperbincangkan. Ia harus menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat Aisyah berprasangka atas pertemuannya dengan Mahika tadi pagi. Padahal itu tidak perlu untuk orang yang sudah tidak memiliki ikatan apa-apa lagi. Namun penting bagi Yuda, karen
"Hati-hati. Kebanyakan yang terjadi, lama punya anak, eh giliran dikasih keturunan akan beruntun dalam jarak berdekatan. Nikmati dulu momen dengan si kembar. Lagian Mbak Jingga biar benar-benar pulih.""Makasih, Dok!"Fariq keluar dari ruangan dokter Sonia. Menyusuri lorong, naik lift, dan kembali ke kamar perawatan istrinya.Di antara sekian tempat kecuali rumahnya, di rumah sakit inilah saksi bisu perjalanan hidup Fariq. Andai tembok-tembok yang ia lewati bisa bicara. Mereka akan menceritakan kisah hidupnya secara detail. Rumah sakit ini merekam jejak kenangan dan kehilangan orang-orang terkasih.Seorang perawat yang dimintai tolong untuk menjaga Jingga, permisi pergi setelah Fariq kembali. Memang tidak ada kerabat yang menjaga istrinya kecuali dirinya. Sang mama juga pulang untuk membantu Mbak Mus mengurus si kembar. Kerabat sibuk karena ada resepsi di salah seorang saudara. Sementara Adam dan Laras juga tidak dikabari dengan apa yang terjadi. Jingga sendiri yang melarangnya daripa