DesirePart 123 Suatu Sore I Arak-arakan kabut menutupi pandangan Aisyah karena cerita yang dipaparkan Jelita membuat dadanya terasa sesak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada. Itu hak Yuda untuk menentukan langkahnya, toh di antara mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Walaupun kemarin laki-laki itu sempat mengajaknya kembali rujuk. Tapi ... siapa yang tahu isi hati dan perubahan pikiran manusia. Aisyah hanya butuh waktu untuk menetralkan kembali perasaannya. Bukankah ia sudah bilang pada Mbak Iin, kalau sekarang akan fokus pada tumbuh kembang janinnya saja.Dia juga tidak boleh stres, supaya tidak mengganggu janin dalam perutnya. "Bunda, adiknya nanti laki-laki apa perempuan?" tanya Jelita sambil mengusap permukaan perut Aisyah."Dokter bilang kemarin laki-laki.""Oh ya?" Mata bening gadis kecil itu berbinar-binar. Surprise sekali dia akan memiliki adik laki-laki."Kapan dia akan lahir?""Masih lama, Sayang. Lima bulanan lagi.""Jelita nggak sabar untuk m
Namun Karina makin menjadi setelah tahu tidak ditanggapi. Perempuan itu tambah berani mengungkapkan hubungannya dengan Fariq hingga ke ranah yang paling pribadi. Jingga tetap bertahan supaya tidak terpancing oleh perkataan mantan istri dari suaminya. Kalau ditanggapi apa bedanya antara dirinya dengan wanita itu."Kamu nggak cemburu?" tanya Karina ketika melihat Jingga tetap tenang.Jingga menggeleng. "Buat apa cemburu, Mbak. Kisah kalian hanya masa lalu, sedangkan aku dan anak-anakku yang sekarang menjadi kehidupan dan masa depan Mas Fariq." Jawaban tenang Jingga justru membuat Karina yang akhirnya tersulut kecemburuan. Wanita itu tiba-tiba emosi. Menuding Jingga sebagai perempuan gunung yang buruk rupa. Namun Jingga tetap menahan emosinya dan mencegah Cak Pri yang hendak mengusir Karina."Kamu itu nggak cantik. Apa istimewanya kamu?" Pertanyaan yang sangat menyakiti. Padahal Jingga menerima Karina sebagai tamu yang terhormat."Saya memang nggak secantik, Mbak Karina. Bukan anak orang
Untuk beberapa saat Yuda dan Aisyah terdiam. Untungnya tempat duduk mereka membelakangi para pengunjung lainnya. Jadi mereka tidak tahu apa yang terjadi di antara mantan pasangan suami istri itu.Mata Aisyah berkaca-kaca. "Jika ini Mas ucapkan di awal sidang cerai kita, mungkin aku bisa percaya. Sekarang aku hanya merasa menjadi tempat pelarianmu saja. Aku dicari saat sedang Mas butuhkan. Apa Mas dikecewakan lagi oleh Mbak Mahika?"Sesak dada Yuda mendengar jawaban dan pertanyaan Aisyah baru saja. "Bukankah di chat WA waktu itu Mas dan Mbak Mahika merencanakan pernikahan setelah bercerai denganku?""Waktu itu memang ada pembicaraan mengenai pernikahan. Tapi bukan Mas yang merencanakan." Yuda mengakuinya."Mas, memang diam saja. Tapi, Mas, juga nggak membantahnya, bukan? Aku masih ingat kok isi chat kalian." Aisyah diam sejenak. Hatinya bergejolak. Siapa yang bisa menjamin kalau Mahika tidak akan datang di antara mereka lagi?Hening. Semilir angin sore terasa menyejukkan. Suasana bert
Waktu acara menikmati hidangan, Jingga yang duduk sambil menyangga piring berisi menu yang diambilnya, dihampiri oleh Embun. Kedua wanita itu saling bersalaman."Maaf, waktu kamu opname Mbak nggak bisa jenguk. Pas kebetulan Amara lagi demam, jadi nggak bisa Mbak tinggal," ucap Embun kemudian duduk di kursi sebelah Jingga. Tidak jauh dari mereka, ada Fariq yang sedang berbincang dengan Andrean dan Hendriko."Nggak apa-apa, Mbak. Saya cuman opname tiga hari waktu itu.""Syukurlah kalau kamu nggak pendarahan. Mbak nggak nyangka juga Karina bisa senekat itu."Dua perempuan itu saling bercerita. Embun mengakui walaupun masih sangat muda, Jingga cukup tegas dan berani mengambil sikap. Tidak seperti dirinya yang dulu lebih banyak pasrahnya. Mungkin jika ia seberani Jingga untuk menentang kehendak orang tua Fariq, atau melawan Karina yang sering menyakitinya, pasti dia tidak sampai berpisah dari Fariq.Namun itu hanya andaian. Sekarang mereka telah berbahagia dengan kehidupan masing-masing. F
"Mas yang akan nganterin kamu ke rumah sakit." Yuda menghampiri Aisyah. Beberapa orang di dalam menepi, memberi ruang pada Yuda.Wanita yang duduk di tepi pembaringan itu mengangguk pelan. Ia harus mengambil keputusan cepat dan menepiskan egonya. Harus ada penanganan segera karena bayinya akan lahir di usia kehamilan delapan bulan sepuluh hari. Maju satu bulan dari perkiraan bidan dan dokter kandungan. Mungkin karena akhir-akhir ini dia kecapekan dan banyak pikiran."Mbak Aisyah sudah pembukaan satu, Mas Yuda." Bidan Atik yang ada di dalam kamar bicara pada Yuda. "Maju sangat jauh dari perkiraan sebelumnya."Yuda mengangguk paham. Makanya dia tadi juga kaget bercampur heran saat sang mertua memberitahu kalau Aisyah hendak melahirkan. Sekilas Yuda melihat kaki mantan istrinya bengkak."Ayo, Yuda. Jangan buang waktu," kata Budhe Maryam yang menenteng tas berisi perlengkapan persalinan Aisyah.Tanpa berpikir panjang, Yuda segera membopong tubuh Aisyah untuk di bawa ke mobilnya. Ia tidak
Tinggallah Aisyah di temani Yuda yang duduk di kursi sebelahnya. "Mau makan roti? Mas bukain ya?" Yuda meraih tas kresek yang terletak di cabinet sebelah ranjang. Membuka roti dengan isian cokelat, lalu memberikannya pada Aisyah.Wanita yang sedang duduk itu sesekali mendesis sambil mengusap-usap perutnya jika rasa nyeri datang. Yuda hanya memerhatikan tanpa bisa berbuat apa-apa, meski hanya sekedar mengusapnya. "Sakit?"Aisyah tersenyum, lantas melanjutkan menguyah roti."Nanti Mas temani di sini ya?"Aisyah menggeleng. "Jangan, Mas.""Mas akan duduk di sebelah atas. Mas nggak akan melihatnya."Aisyah menatap tajam pria di sebelahnya. Lebih tepatnya mendelik karena Yuda memaksa."Boleh, ya?""Nggak usah, nanti saja setelah bayinya lahir Mas yang azani."Yuda akur. Dia mengangguk. Padahal ingin sekali menyaksikan putranya dilahirkan. Meski mungkin ia tidak bisa hanya sekedar memberikan lengan untuk dicakar ketika Aisyah merasakan kesakitan. Setidaknya dia ada bersama di ruangan itu."
Pagi itu matahari malu-malu bersembunyi di balik awan kelabu. Sinarnya tidak secerah biasanya. Mungkin karena memang sudah memasuki musim penghujan, jadi terkadang masih pagi mendung sudah menggantung di angkasa.Sama seperti wajah Nency yang tak seceria biasanya. Wanita itu memerhatikan Roy yang tengah sarapan nasi goreng. "Ada yang salah? Kenapa mandanginya seperti itu?" tanya Roy yang menyadari sedang diperhatikan sang istri semenjak tadi."Yang, kamu kelihatan keren pagi ini," jawab Nency sambil mengoleskan selai kacang pada roti tawar.Roy tersenyum. "Apa biasanya nggak keren?""Tiap mau ke kampus pasti dandan keren." Nency menyindir suaminya. Padahal Roy tetap berpakaian seperti biasanya. Celana jeans dan kaus, kadang memakai hem.Roy yang sadar sedang dicemburui segera menggeser duduknya. Tangannya mengusap perut sang istri yang tengah hamil enam bulan. "Mamamu cemburu, By."Wajah Nency tambah cemberut. Gimana tidak cemburu, beberapa mahasiswi datang ke bengkel dengan alasan n
Sementara Aisyah ingat nasehat ibunya setelah Yuda dan Budhenya pulang tadi pagi. "Aish, Yuda banyak berubah dalam beberapa bulan ini. Cobalah memikirkan untuk bisa menerimanya kembali. Kamu nggak akan hina jika menerima Yuda lagi. Seorang anak akan lebih baik tumbuh di tengah keluarga yang lengkap. Nggak ada rumah tangga tanpa badai. Setiap hubungan ada ujiannya masing-masing. Yuda memang telah melakukan kesalahan, tapi nggak sampai ke ranah zina. Dia masih menjaga itu, Aish. Terlepas dari apa yang pernah terjadi dengan mereka dulu. Tapi itu sudah menjadi masa lalu. Dan kamu bisa menerimanya ketika memutuskan menikah dengannya. Memang sampai kapanpun kalian akan tetap berkomunikasi dengan Mahika karena ada Jelita. Hal itu bisa kalian bicarakan secara baik-baik. Dan sampai sekarang Mahika sendiri juga menahan diri, nggak memberitahu Jelita bahwa dia adalah ibu kandungnya. Karena dia juga mengikuti saran Yuda. Menunggu hingga Jelita siap untuk tahu kenyataan yang sebenarnya. Hargai jug