Waktu acara menikmati hidangan, Jingga yang duduk sambil menyangga piring berisi menu yang diambilnya, dihampiri oleh Embun. Kedua wanita itu saling bersalaman."Maaf, waktu kamu opname Mbak nggak bisa jenguk. Pas kebetulan Amara lagi demam, jadi nggak bisa Mbak tinggal," ucap Embun kemudian duduk di kursi sebelah Jingga. Tidak jauh dari mereka, ada Fariq yang sedang berbincang dengan Andrean dan Hendriko."Nggak apa-apa, Mbak. Saya cuman opname tiga hari waktu itu.""Syukurlah kalau kamu nggak pendarahan. Mbak nggak nyangka juga Karina bisa senekat itu."Dua perempuan itu saling bercerita. Embun mengakui walaupun masih sangat muda, Jingga cukup tegas dan berani mengambil sikap. Tidak seperti dirinya yang dulu lebih banyak pasrahnya. Mungkin jika ia seberani Jingga untuk menentang kehendak orang tua Fariq, atau melawan Karina yang sering menyakitinya, pasti dia tidak sampai berpisah dari Fariq.Namun itu hanya andaian. Sekarang mereka telah berbahagia dengan kehidupan masing-masing. F
"Mas yang akan nganterin kamu ke rumah sakit." Yuda menghampiri Aisyah. Beberapa orang di dalam menepi, memberi ruang pada Yuda.Wanita yang duduk di tepi pembaringan itu mengangguk pelan. Ia harus mengambil keputusan cepat dan menepiskan egonya. Harus ada penanganan segera karena bayinya akan lahir di usia kehamilan delapan bulan sepuluh hari. Maju satu bulan dari perkiraan bidan dan dokter kandungan. Mungkin karena akhir-akhir ini dia kecapekan dan banyak pikiran."Mbak Aisyah sudah pembukaan satu, Mas Yuda." Bidan Atik yang ada di dalam kamar bicara pada Yuda. "Maju sangat jauh dari perkiraan sebelumnya."Yuda mengangguk paham. Makanya dia tadi juga kaget bercampur heran saat sang mertua memberitahu kalau Aisyah hendak melahirkan. Sekilas Yuda melihat kaki mantan istrinya bengkak."Ayo, Yuda. Jangan buang waktu," kata Budhe Maryam yang menenteng tas berisi perlengkapan persalinan Aisyah.Tanpa berpikir panjang, Yuda segera membopong tubuh Aisyah untuk di bawa ke mobilnya. Ia tidak
Tinggallah Aisyah di temani Yuda yang duduk di kursi sebelahnya. "Mau makan roti? Mas bukain ya?" Yuda meraih tas kresek yang terletak di cabinet sebelah ranjang. Membuka roti dengan isian cokelat, lalu memberikannya pada Aisyah.Wanita yang sedang duduk itu sesekali mendesis sambil mengusap-usap perutnya jika rasa nyeri datang. Yuda hanya memerhatikan tanpa bisa berbuat apa-apa, meski hanya sekedar mengusapnya. "Sakit?"Aisyah tersenyum, lantas melanjutkan menguyah roti."Nanti Mas temani di sini ya?"Aisyah menggeleng. "Jangan, Mas.""Mas akan duduk di sebelah atas. Mas nggak akan melihatnya."Aisyah menatap tajam pria di sebelahnya. Lebih tepatnya mendelik karena Yuda memaksa."Boleh, ya?""Nggak usah, nanti saja setelah bayinya lahir Mas yang azani."Yuda akur. Dia mengangguk. Padahal ingin sekali menyaksikan putranya dilahirkan. Meski mungkin ia tidak bisa hanya sekedar memberikan lengan untuk dicakar ketika Aisyah merasakan kesakitan. Setidaknya dia ada bersama di ruangan itu."
Pagi itu matahari malu-malu bersembunyi di balik awan kelabu. Sinarnya tidak secerah biasanya. Mungkin karena memang sudah memasuki musim penghujan, jadi terkadang masih pagi mendung sudah menggantung di angkasa.Sama seperti wajah Nency yang tak seceria biasanya. Wanita itu memerhatikan Roy yang tengah sarapan nasi goreng. "Ada yang salah? Kenapa mandanginya seperti itu?" tanya Roy yang menyadari sedang diperhatikan sang istri semenjak tadi."Yang, kamu kelihatan keren pagi ini," jawab Nency sambil mengoleskan selai kacang pada roti tawar.Roy tersenyum. "Apa biasanya nggak keren?""Tiap mau ke kampus pasti dandan keren." Nency menyindir suaminya. Padahal Roy tetap berpakaian seperti biasanya. Celana jeans dan kaus, kadang memakai hem.Roy yang sadar sedang dicemburui segera menggeser duduknya. Tangannya mengusap perut sang istri yang tengah hamil enam bulan. "Mamamu cemburu, By."Wajah Nency tambah cemberut. Gimana tidak cemburu, beberapa mahasiswi datang ke bengkel dengan alasan n
Sementara Aisyah ingat nasehat ibunya setelah Yuda dan Budhenya pulang tadi pagi. "Aish, Yuda banyak berubah dalam beberapa bulan ini. Cobalah memikirkan untuk bisa menerimanya kembali. Kamu nggak akan hina jika menerima Yuda lagi. Seorang anak akan lebih baik tumbuh di tengah keluarga yang lengkap. Nggak ada rumah tangga tanpa badai. Setiap hubungan ada ujiannya masing-masing. Yuda memang telah melakukan kesalahan, tapi nggak sampai ke ranah zina. Dia masih menjaga itu, Aish. Terlepas dari apa yang pernah terjadi dengan mereka dulu. Tapi itu sudah menjadi masa lalu. Dan kamu bisa menerimanya ketika memutuskan menikah dengannya. Memang sampai kapanpun kalian akan tetap berkomunikasi dengan Mahika karena ada Jelita. Hal itu bisa kalian bicarakan secara baik-baik. Dan sampai sekarang Mahika sendiri juga menahan diri, nggak memberitahu Jelita bahwa dia adalah ibu kandungnya. Karena dia juga mengikuti saran Yuda. Menunggu hingga Jelita siap untuk tahu kenyataan yang sebenarnya. Hargai jug
Kasus penganiyaan yang dilakukan Karina pada Jingga, membuatnya harus mendekam di penjara selama lima bulan. Karena kasus itu dikategorikan dalam penganiayaan ringan. Tidak menyebabkan cacat permanen bagi korbannya.Berapapun uang yang ditawarkan keluarga Karina untuk menebus, tapi pihak pengadilan tidak bisa di tawar. Fariq dan Jingga sendiri menyerahkan kasus itu sepenuhnya pada para penegak hukum. Mereka mengikuti sidang yang mesti di jalani dan tatanan yang harus patuhi. Sudah beberapa kali keluarga Karina berusaha lewat jalur belakang untuk membeli kebebasan putrinya, tapi Fariq mengawal ketat kasus itu hingga tak ada celah untuk sebuah kecurangan. Setidaknya ada nama besar Pak Salim yang mencegah oknum tidak bertanggungjawab berbuat nista dengan menerima uang suap.Akhirnya wanita itu tetap menjadi hukumannya plus terapi oleh seorang psikiater yang dibayar keluarga Karina. Satu bulan lagi setelah Karina selesai menjalani hukumannya, pihak keluarga telah sepakat untuk mengirim
Aisyah baru saja selesai menyusui Yusuf sore itu, ketika seorang wanita setengah baya datang ke rumah. Bu Khodijah mempersilakan Bu Darmo masuk dan mereka duduk bertiga di ruang tengah. Di karpet depan televisi.Tampaknya ada yang ingin dibicarakan tetangga depan rumah itu. Sebab kemarin beliau juga membantu acara aqiqah baby Yusuf seharian di rumah. Sempat ingin menyampaikan sesuatu, tapi selalu diurungkan karena banyak kerabat di rumah."Hmm, dia bobok lagi setelah kenyang," ujar Bu Darmo sambil memandangi wajah mungil yang tidur di tempat tidur bayi portabel."Iya, Budhe. Habis mandi langsung nenen terus tidur.""Sebenarnya sejak kemarin ibu mau nanyain sesuatu, tapi nggak enak karena masih ramai orang." Bu Darmo memulai percakapan setelah dirasa waktunya pas untuk bicara."Ya, ada apa, Budhe?" tanya Aisyah."Aish, apa bener kamu akan rujuk dengan Nak Yuda?" Wanita itu bertanya sangat kalem dan terkesan hati-hati.Aisyah mengangguk sambil menatap wajah wanita di depannya yang tampa
"Assalamu'alaikum." Yuda mengucapkan salam pada ketiga orang yang tengah menunggunya. "Wa'alaikumsalam." Hanya Bu Raul yang menjawab salamnya. Pak Raul diam memandang kehadiran Yuda beserta ibu dan anaknya."Hai!" seru Mahika menyapa gadis kecil yang tengah di gandeng oleh Yuda "Hai, Tante." Jelita menyalami dan mencium tangan semua orang yang hadir di sana. Mahika memeluk dan menciumi wajah perempuan kecil itu. Kemudian dia mengambil boneka kuda poni dari godie bag dan menunjukkannya pada Jelita. "Untukmu, Sayang!""Terima kasih, Tante May." Jelita memeluk boneka itu lantas duduk di kursi sebelah ayahnya."Maaf, kalau kelamaan menunggu," ucap Yuda.Sejenak suasana terasa kaku. Pak Raul memandang gadis kecil yang tengah memeluk boneka di hadapannya. Melihat Jelita, seolah dirinya flashback jauh ke belakang. Ketika Mahika masih seumuran gadis kecil itu.Mahika sendiri tidak bisa leluasa berbicara karena ada Bu Yekti di sana. Dulunya wanita itu sangat baik ketika dirinya dan Yuda masi