Aisyah baru saja selesai menyusui Yusuf sore itu, ketika seorang wanita setengah baya datang ke rumah. Bu Khodijah mempersilakan Bu Darmo masuk dan mereka duduk bertiga di ruang tengah. Di karpet depan televisi.Tampaknya ada yang ingin dibicarakan tetangga depan rumah itu. Sebab kemarin beliau juga membantu acara aqiqah baby Yusuf seharian di rumah. Sempat ingin menyampaikan sesuatu, tapi selalu diurungkan karena banyak kerabat di rumah."Hmm, dia bobok lagi setelah kenyang," ujar Bu Darmo sambil memandangi wajah mungil yang tidur di tempat tidur bayi portabel."Iya, Budhe. Habis mandi langsung nenen terus tidur.""Sebenarnya sejak kemarin ibu mau nanyain sesuatu, tapi nggak enak karena masih ramai orang." Bu Darmo memulai percakapan setelah dirasa waktunya pas untuk bicara."Ya, ada apa, Budhe?" tanya Aisyah."Aish, apa bener kamu akan rujuk dengan Nak Yuda?" Wanita itu bertanya sangat kalem dan terkesan hati-hati.Aisyah mengangguk sambil menatap wajah wanita di depannya yang tampa
"Assalamu'alaikum." Yuda mengucapkan salam pada ketiga orang yang tengah menunggunya. "Wa'alaikumsalam." Hanya Bu Raul yang menjawab salamnya. Pak Raul diam memandang kehadiran Yuda beserta ibu dan anaknya."Hai!" seru Mahika menyapa gadis kecil yang tengah di gandeng oleh Yuda "Hai, Tante." Jelita menyalami dan mencium tangan semua orang yang hadir di sana. Mahika memeluk dan menciumi wajah perempuan kecil itu. Kemudian dia mengambil boneka kuda poni dari godie bag dan menunjukkannya pada Jelita. "Untukmu, Sayang!""Terima kasih, Tante May." Jelita memeluk boneka itu lantas duduk di kursi sebelah ayahnya."Maaf, kalau kelamaan menunggu," ucap Yuda.Sejenak suasana terasa kaku. Pak Raul memandang gadis kecil yang tengah memeluk boneka di hadapannya. Melihat Jelita, seolah dirinya flashback jauh ke belakang. Ketika Mahika masih seumuran gadis kecil itu.Mahika sendiri tidak bisa leluasa berbicara karena ada Bu Yekti di sana. Dulunya wanita itu sangat baik ketika dirinya dan Yuda masi
Pertanyaan itu justru membuat air mata Mahika tambah deras berderai. Hatinya pilu memandang gadis kecil dengan wajah polos yang tengah menatapnya. Jelita mengambilkan tisu dari atas meja dan memberikannya pad Mahika.Beberapa pengunjung depot memperhatikan yang terjadi di meja mereka. Berbisik-bisik tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi."Dia ibumu, Nak. Yang kamu panggil Tante May itu mama yang melahirkan kamu." Ucapan Pak Raul sungguh mengagetkan. Bahkan bagi Mahika sendiri. Sedangkan Jelita melongo tak mengerti. Yuda dan Bu Yekti menatap tajam pada Pak Raul. Kalau bukan orang tua, Yuda mungkin sudah menampar mulutnya."Ayah," panggil Jelita pada Yuda. "Kenapa ibuku ada dua? Kenapa Opa bilang kalau Tante May juga ibuku?""Aisyah bukan ibu kandungmu. Dia ibu tirimu. Kamu pernah dengar nggak? Ibu tiri itu sejahat apa?" sahut Pak Raul cepat. Membuat Jelita bengong tidak mengerti. Bu Yekti langsung mengendong cucunya untuk menjauh. "Lita, mari ikut Uti.""Begini cara Bapak menjel
"Yah, ibu tiri itu apa? Kenapa Opa kemarin bilang kalau Bunda itu ibu tirinya Jelita? Terus Opa bilang kalau ibu tiri itu juga jahat?" tanya gadis kecil itu sambil menyuap nasi saat sarapan pagi. Yuda berpandangan dengan ibunya. Kemudian kembali beralih pada Jelita yang menunggu jawabannya. Bagaimana ia harus menjelaskan supaya Jelita mudah memahami perkataannya? Dipikir Yuda, Jelita melupakan ucapan itu karena kemarin seharian bersama bundanya, Jelita sama sekali tidak menyinggung soal kalimat yang diucapkan Pak Raul. Bahkan dia asyik menunggui adiknya dan bermain dengan Ica. Tapi pagi ini, Jelita menanyakannya."Sayang, apa selama ini Bunda jahat sama, Lita?"Jelita menggeleng."Bunda sayang kan sama, Lita?""Sayang. Tapi apa benar Tante May itu yang melahirkan Jelita?"Yuda menarik napas dalam-dalam. Bukan dia ingin menutupi kenyataan yang sesungguhnya. Hanya saja terlalu dini untuk mengungkapkan segalanya sekarang ini. Sudah ia rencanakan secara matang, kapan harus memberitahu p
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi