Tinggallah Aisyah di temani Yuda yang duduk di kursi sebelahnya. "Mau makan roti? Mas bukain ya?" Yuda meraih tas kresek yang terletak di cabinet sebelah ranjang. Membuka roti dengan isian cokelat, lalu memberikannya pada Aisyah.Wanita yang sedang duduk itu sesekali mendesis sambil mengusap-usap perutnya jika rasa nyeri datang. Yuda hanya memerhatikan tanpa bisa berbuat apa-apa, meski hanya sekedar mengusapnya. "Sakit?"Aisyah tersenyum, lantas melanjutkan menguyah roti."Nanti Mas temani di sini ya?"Aisyah menggeleng. "Jangan, Mas.""Mas akan duduk di sebelah atas. Mas nggak akan melihatnya."Aisyah menatap tajam pria di sebelahnya. Lebih tepatnya mendelik karena Yuda memaksa."Boleh, ya?""Nggak usah, nanti saja setelah bayinya lahir Mas yang azani."Yuda akur. Dia mengangguk. Padahal ingin sekali menyaksikan putranya dilahirkan. Meski mungkin ia tidak bisa hanya sekedar memberikan lengan untuk dicakar ketika Aisyah merasakan kesakitan. Setidaknya dia ada bersama di ruangan itu."
Pagi itu matahari malu-malu bersembunyi di balik awan kelabu. Sinarnya tidak secerah biasanya. Mungkin karena memang sudah memasuki musim penghujan, jadi terkadang masih pagi mendung sudah menggantung di angkasa.Sama seperti wajah Nency yang tak seceria biasanya. Wanita itu memerhatikan Roy yang tengah sarapan nasi goreng. "Ada yang salah? Kenapa mandanginya seperti itu?" tanya Roy yang menyadari sedang diperhatikan sang istri semenjak tadi."Yang, kamu kelihatan keren pagi ini," jawab Nency sambil mengoleskan selai kacang pada roti tawar.Roy tersenyum. "Apa biasanya nggak keren?""Tiap mau ke kampus pasti dandan keren." Nency menyindir suaminya. Padahal Roy tetap berpakaian seperti biasanya. Celana jeans dan kaus, kadang memakai hem.Roy yang sadar sedang dicemburui segera menggeser duduknya. Tangannya mengusap perut sang istri yang tengah hamil enam bulan. "Mamamu cemburu, By."Wajah Nency tambah cemberut. Gimana tidak cemburu, beberapa mahasiswi datang ke bengkel dengan alasan n
Sementara Aisyah ingat nasehat ibunya setelah Yuda dan Budhenya pulang tadi pagi. "Aish, Yuda banyak berubah dalam beberapa bulan ini. Cobalah memikirkan untuk bisa menerimanya kembali. Kamu nggak akan hina jika menerima Yuda lagi. Seorang anak akan lebih baik tumbuh di tengah keluarga yang lengkap. Nggak ada rumah tangga tanpa badai. Setiap hubungan ada ujiannya masing-masing. Yuda memang telah melakukan kesalahan, tapi nggak sampai ke ranah zina. Dia masih menjaga itu, Aish. Terlepas dari apa yang pernah terjadi dengan mereka dulu. Tapi itu sudah menjadi masa lalu. Dan kamu bisa menerimanya ketika memutuskan menikah dengannya. Memang sampai kapanpun kalian akan tetap berkomunikasi dengan Mahika karena ada Jelita. Hal itu bisa kalian bicarakan secara baik-baik. Dan sampai sekarang Mahika sendiri juga menahan diri, nggak memberitahu Jelita bahwa dia adalah ibu kandungnya. Karena dia juga mengikuti saran Yuda. Menunggu hingga Jelita siap untuk tahu kenyataan yang sebenarnya. Hargai jug
Kasus penganiyaan yang dilakukan Karina pada Jingga, membuatnya harus mendekam di penjara selama lima bulan. Karena kasus itu dikategorikan dalam penganiayaan ringan. Tidak menyebabkan cacat permanen bagi korbannya.Berapapun uang yang ditawarkan keluarga Karina untuk menebus, tapi pihak pengadilan tidak bisa di tawar. Fariq dan Jingga sendiri menyerahkan kasus itu sepenuhnya pada para penegak hukum. Mereka mengikuti sidang yang mesti di jalani dan tatanan yang harus patuhi. Sudah beberapa kali keluarga Karina berusaha lewat jalur belakang untuk membeli kebebasan putrinya, tapi Fariq mengawal ketat kasus itu hingga tak ada celah untuk sebuah kecurangan. Setidaknya ada nama besar Pak Salim yang mencegah oknum tidak bertanggungjawab berbuat nista dengan menerima uang suap.Akhirnya wanita itu tetap menjadi hukumannya plus terapi oleh seorang psikiater yang dibayar keluarga Karina. Satu bulan lagi setelah Karina selesai menjalani hukumannya, pihak keluarga telah sepakat untuk mengirim
Aisyah baru saja selesai menyusui Yusuf sore itu, ketika seorang wanita setengah baya datang ke rumah. Bu Khodijah mempersilakan Bu Darmo masuk dan mereka duduk bertiga di ruang tengah. Di karpet depan televisi.Tampaknya ada yang ingin dibicarakan tetangga depan rumah itu. Sebab kemarin beliau juga membantu acara aqiqah baby Yusuf seharian di rumah. Sempat ingin menyampaikan sesuatu, tapi selalu diurungkan karena banyak kerabat di rumah."Hmm, dia bobok lagi setelah kenyang," ujar Bu Darmo sambil memandangi wajah mungil yang tidur di tempat tidur bayi portabel."Iya, Budhe. Habis mandi langsung nenen terus tidur.""Sebenarnya sejak kemarin ibu mau nanyain sesuatu, tapi nggak enak karena masih ramai orang." Bu Darmo memulai percakapan setelah dirasa waktunya pas untuk bicara."Ya, ada apa, Budhe?" tanya Aisyah."Aish, apa bener kamu akan rujuk dengan Nak Yuda?" Wanita itu bertanya sangat kalem dan terkesan hati-hati.Aisyah mengangguk sambil menatap wajah wanita di depannya yang tampa
"Assalamu'alaikum." Yuda mengucapkan salam pada ketiga orang yang tengah menunggunya. "Wa'alaikumsalam." Hanya Bu Raul yang menjawab salamnya. Pak Raul diam memandang kehadiran Yuda beserta ibu dan anaknya."Hai!" seru Mahika menyapa gadis kecil yang tengah di gandeng oleh Yuda "Hai, Tante." Jelita menyalami dan mencium tangan semua orang yang hadir di sana. Mahika memeluk dan menciumi wajah perempuan kecil itu. Kemudian dia mengambil boneka kuda poni dari godie bag dan menunjukkannya pada Jelita. "Untukmu, Sayang!""Terima kasih, Tante May." Jelita memeluk boneka itu lantas duduk di kursi sebelah ayahnya."Maaf, kalau kelamaan menunggu," ucap Yuda.Sejenak suasana terasa kaku. Pak Raul memandang gadis kecil yang tengah memeluk boneka di hadapannya. Melihat Jelita, seolah dirinya flashback jauh ke belakang. Ketika Mahika masih seumuran gadis kecil itu.Mahika sendiri tidak bisa leluasa berbicara karena ada Bu Yekti di sana. Dulunya wanita itu sangat baik ketika dirinya dan Yuda masi
Pertanyaan itu justru membuat air mata Mahika tambah deras berderai. Hatinya pilu memandang gadis kecil dengan wajah polos yang tengah menatapnya. Jelita mengambilkan tisu dari atas meja dan memberikannya pad Mahika.Beberapa pengunjung depot memperhatikan yang terjadi di meja mereka. Berbisik-bisik tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi."Dia ibumu, Nak. Yang kamu panggil Tante May itu mama yang melahirkan kamu." Ucapan Pak Raul sungguh mengagetkan. Bahkan bagi Mahika sendiri. Sedangkan Jelita melongo tak mengerti. Yuda dan Bu Yekti menatap tajam pada Pak Raul. Kalau bukan orang tua, Yuda mungkin sudah menampar mulutnya."Ayah," panggil Jelita pada Yuda. "Kenapa ibuku ada dua? Kenapa Opa bilang kalau Tante May juga ibuku?""Aisyah bukan ibu kandungmu. Dia ibu tirimu. Kamu pernah dengar nggak? Ibu tiri itu sejahat apa?" sahut Pak Raul cepat. Membuat Jelita bengong tidak mengerti. Bu Yekti langsung mengendong cucunya untuk menjauh. "Lita, mari ikut Uti.""Begini cara Bapak menjel
"Yah, ibu tiri itu apa? Kenapa Opa kemarin bilang kalau Bunda itu ibu tirinya Jelita? Terus Opa bilang kalau ibu tiri itu juga jahat?" tanya gadis kecil itu sambil menyuap nasi saat sarapan pagi. Yuda berpandangan dengan ibunya. Kemudian kembali beralih pada Jelita yang menunggu jawabannya. Bagaimana ia harus menjelaskan supaya Jelita mudah memahami perkataannya? Dipikir Yuda, Jelita melupakan ucapan itu karena kemarin seharian bersama bundanya, Jelita sama sekali tidak menyinggung soal kalimat yang diucapkan Pak Raul. Bahkan dia asyik menunggui adiknya dan bermain dengan Ica. Tapi pagi ini, Jelita menanyakannya."Sayang, apa selama ini Bunda jahat sama, Lita?"Jelita menggeleng."Bunda sayang kan sama, Lita?""Sayang. Tapi apa benar Tante May itu yang melahirkan Jelita?"Yuda menarik napas dalam-dalam. Bukan dia ingin menutupi kenyataan yang sesungguhnya. Hanya saja terlalu dini untuk mengungkapkan segalanya sekarang ini. Sudah ia rencanakan secara matang, kapan harus memberitahu p
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su