Yuda mengambil ponselnya di atas kasur. Kemudian membuka jendela kamar supaya semilir angin malam menyejukkan ruangan yang mendadak terasa panas oleh debaran perasaannya sendiri.Tatapannya memandang kejauhan sambil menunggu Aisyah menjawab telepon. Semenjak berpisah ini, Aisyah tidak secekatan dulu menerima panggilannya. Apakah ponsel baginya sekarang tidak seberapa penting? Atau Yuda yang sebenarnya tak penting lagi?"Halo, Assalamu'alaikum." Akhirnya dijawab juga."Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?" Pertanyaan sok dekat seperti ketika mereka masih dalam masa pertunangan. Meski rasa canggung menyergap tanpa ampun."Aku barusan selesai Sholat Isya. Ada apa Mas nelepon?"Yuda agak gelagapan untuk memulai percakapan. Tentu ini bukan topik yang layak diperbincangkan. Ia harus menjelaskan sesuatu yang mungkin membuat Aisyah berprasangka atas pertemuannya dengan Mahika tadi pagi. Padahal itu tidak perlu untuk orang yang sudah tidak memiliki ikatan apa-apa lagi. Namun penting bagi Yuda, karen
"Hati-hati. Kebanyakan yang terjadi, lama punya anak, eh giliran dikasih keturunan akan beruntun dalam jarak berdekatan. Nikmati dulu momen dengan si kembar. Lagian Mbak Jingga biar benar-benar pulih.""Makasih, Dok!"Fariq keluar dari ruangan dokter Sonia. Menyusuri lorong, naik lift, dan kembali ke kamar perawatan istrinya.Di antara sekian tempat kecuali rumahnya, di rumah sakit inilah saksi bisu perjalanan hidup Fariq. Andai tembok-tembok yang ia lewati bisa bicara. Mereka akan menceritakan kisah hidupnya secara detail. Rumah sakit ini merekam jejak kenangan dan kehilangan orang-orang terkasih.Seorang perawat yang dimintai tolong untuk menjaga Jingga, permisi pergi setelah Fariq kembali. Memang tidak ada kerabat yang menjaga istrinya kecuali dirinya. Sang mama juga pulang untuk membantu Mbak Mus mengurus si kembar. Kerabat sibuk karena ada resepsi di salah seorang saudara. Sementara Adam dan Laras juga tidak dikabari dengan apa yang terjadi. Jingga sendiri yang melarangnya daripa
DesirePart 123 Suatu Sore I Arak-arakan kabut menutupi pandangan Aisyah karena cerita yang dipaparkan Jelita membuat dadanya terasa sesak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada. Itu hak Yuda untuk menentukan langkahnya, toh di antara mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Walaupun kemarin laki-laki itu sempat mengajaknya kembali rujuk. Tapi ... siapa yang tahu isi hati dan perubahan pikiran manusia. Aisyah hanya butuh waktu untuk menetralkan kembali perasaannya. Bukankah ia sudah bilang pada Mbak Iin, kalau sekarang akan fokus pada tumbuh kembang janinnya saja.Dia juga tidak boleh stres, supaya tidak mengganggu janin dalam perutnya. "Bunda, adiknya nanti laki-laki apa perempuan?" tanya Jelita sambil mengusap permukaan perut Aisyah."Dokter bilang kemarin laki-laki.""Oh ya?" Mata bening gadis kecil itu berbinar-binar. Surprise sekali dia akan memiliki adik laki-laki."Kapan dia akan lahir?""Masih lama, Sayang. Lima bulanan lagi.""Jelita nggak sabar untuk m
Namun Karina makin menjadi setelah tahu tidak ditanggapi. Perempuan itu tambah berani mengungkapkan hubungannya dengan Fariq hingga ke ranah yang paling pribadi. Jingga tetap bertahan supaya tidak terpancing oleh perkataan mantan istri dari suaminya. Kalau ditanggapi apa bedanya antara dirinya dengan wanita itu."Kamu nggak cemburu?" tanya Karina ketika melihat Jingga tetap tenang.Jingga menggeleng. "Buat apa cemburu, Mbak. Kisah kalian hanya masa lalu, sedangkan aku dan anak-anakku yang sekarang menjadi kehidupan dan masa depan Mas Fariq." Jawaban tenang Jingga justru membuat Karina yang akhirnya tersulut kecemburuan. Wanita itu tiba-tiba emosi. Menuding Jingga sebagai perempuan gunung yang buruk rupa. Namun Jingga tetap menahan emosinya dan mencegah Cak Pri yang hendak mengusir Karina."Kamu itu nggak cantik. Apa istimewanya kamu?" Pertanyaan yang sangat menyakiti. Padahal Jingga menerima Karina sebagai tamu yang terhormat."Saya memang nggak secantik, Mbak Karina. Bukan anak orang
Untuk beberapa saat Yuda dan Aisyah terdiam. Untungnya tempat duduk mereka membelakangi para pengunjung lainnya. Jadi mereka tidak tahu apa yang terjadi di antara mantan pasangan suami istri itu.Mata Aisyah berkaca-kaca. "Jika ini Mas ucapkan di awal sidang cerai kita, mungkin aku bisa percaya. Sekarang aku hanya merasa menjadi tempat pelarianmu saja. Aku dicari saat sedang Mas butuhkan. Apa Mas dikecewakan lagi oleh Mbak Mahika?"Sesak dada Yuda mendengar jawaban dan pertanyaan Aisyah baru saja. "Bukankah di chat WA waktu itu Mas dan Mbak Mahika merencanakan pernikahan setelah bercerai denganku?""Waktu itu memang ada pembicaraan mengenai pernikahan. Tapi bukan Mas yang merencanakan." Yuda mengakuinya."Mas, memang diam saja. Tapi, Mas, juga nggak membantahnya, bukan? Aku masih ingat kok isi chat kalian." Aisyah diam sejenak. Hatinya bergejolak. Siapa yang bisa menjamin kalau Mahika tidak akan datang di antara mereka lagi?Hening. Semilir angin sore terasa menyejukkan. Suasana bert
Waktu acara menikmati hidangan, Jingga yang duduk sambil menyangga piring berisi menu yang diambilnya, dihampiri oleh Embun. Kedua wanita itu saling bersalaman."Maaf, waktu kamu opname Mbak nggak bisa jenguk. Pas kebetulan Amara lagi demam, jadi nggak bisa Mbak tinggal," ucap Embun kemudian duduk di kursi sebelah Jingga. Tidak jauh dari mereka, ada Fariq yang sedang berbincang dengan Andrean dan Hendriko."Nggak apa-apa, Mbak. Saya cuman opname tiga hari waktu itu.""Syukurlah kalau kamu nggak pendarahan. Mbak nggak nyangka juga Karina bisa senekat itu."Dua perempuan itu saling bercerita. Embun mengakui walaupun masih sangat muda, Jingga cukup tegas dan berani mengambil sikap. Tidak seperti dirinya yang dulu lebih banyak pasrahnya. Mungkin jika ia seberani Jingga untuk menentang kehendak orang tua Fariq, atau melawan Karina yang sering menyakitinya, pasti dia tidak sampai berpisah dari Fariq.Namun itu hanya andaian. Sekarang mereka telah berbahagia dengan kehidupan masing-masing. F
"Mas yang akan nganterin kamu ke rumah sakit." Yuda menghampiri Aisyah. Beberapa orang di dalam menepi, memberi ruang pada Yuda.Wanita yang duduk di tepi pembaringan itu mengangguk pelan. Ia harus mengambil keputusan cepat dan menepiskan egonya. Harus ada penanganan segera karena bayinya akan lahir di usia kehamilan delapan bulan sepuluh hari. Maju satu bulan dari perkiraan bidan dan dokter kandungan. Mungkin karena akhir-akhir ini dia kecapekan dan banyak pikiran."Mbak Aisyah sudah pembukaan satu, Mas Yuda." Bidan Atik yang ada di dalam kamar bicara pada Yuda. "Maju sangat jauh dari perkiraan sebelumnya."Yuda mengangguk paham. Makanya dia tadi juga kaget bercampur heran saat sang mertua memberitahu kalau Aisyah hendak melahirkan. Sekilas Yuda melihat kaki mantan istrinya bengkak."Ayo, Yuda. Jangan buang waktu," kata Budhe Maryam yang menenteng tas berisi perlengkapan persalinan Aisyah.Tanpa berpikir panjang, Yuda segera membopong tubuh Aisyah untuk di bawa ke mobilnya. Ia tidak
Tinggallah Aisyah di temani Yuda yang duduk di kursi sebelahnya. "Mau makan roti? Mas bukain ya?" Yuda meraih tas kresek yang terletak di cabinet sebelah ranjang. Membuka roti dengan isian cokelat, lalu memberikannya pada Aisyah.Wanita yang sedang duduk itu sesekali mendesis sambil mengusap-usap perutnya jika rasa nyeri datang. Yuda hanya memerhatikan tanpa bisa berbuat apa-apa, meski hanya sekedar mengusapnya. "Sakit?"Aisyah tersenyum, lantas melanjutkan menguyah roti."Nanti Mas temani di sini ya?"Aisyah menggeleng. "Jangan, Mas.""Mas akan duduk di sebelah atas. Mas nggak akan melihatnya."Aisyah menatap tajam pria di sebelahnya. Lebih tepatnya mendelik karena Yuda memaksa."Boleh, ya?""Nggak usah, nanti saja setelah bayinya lahir Mas yang azani."Yuda akur. Dia mengangguk. Padahal ingin sekali menyaksikan putranya dilahirkan. Meski mungkin ia tidak bisa hanya sekedar memberikan lengan untuk dicakar ketika Aisyah merasakan kesakitan. Setidaknya dia ada bersama di ruangan itu."