Catherine terbangun dari tidur panjangnya yang penuh dengan isak tangis. Hatinya merasa sakit oleh luka yang ditorehkan Kyle padanya lewat kebohongan pria itu. dengan langkah gontai dan tak bersemangat, Catherine melangkah keluar kamar.
Gadis itu merasa heran dengan keadaan ruko mereka yang sangat sepi. Dia pun turun ke bawah, dan masih tak mendapati ESme. KE mana sepupunya itu? Pergi sepagi ini? Di pagi yang sedingin ini?
Ah, Esme, Esme. Cahterine terkadang merasa sepupunya itu terlalu rajin mengelola bakery mereka.
Catherine pun memutuskan untuk membuat sarapan seraya menunggu kepulangan Esme. Akan tetapi, hingga habis sarapannya, Esme belum juga pulang. Ke mana sepupunya itu?
Selagi menunggu, ponselnya berbunyi. Catherine melihat nama ayahnya tertera di layar ponsel. Dengan malas, dia menjawab panggilan telepon dari ayahnya itu.
“Ya, Dad?” tanyanya.
“Kau di mana?” tanya sang ayah.
&ldq
Catherine turun dari taxi dan masuk ke halaman rumah ayahnya. Beberapa pengawal sang ayah mengangguk penuh hormat pada gadis itu. Catherine pun menaikkan dagunya dan melangkah tegap dengan kaki jenjangnya, melewati mereka semua.Sampai di pintu utama rumah, Catherine mengetuk.Pintu ganda tebal itu dibuka oleh ibunya. Wanita paruh baya dengan rambut ikal pendek seleher, yang sebagian sudah memutih menggantikan warna aslinya yang pirang, menatapnya dengan binar mata penuh suka cita.“Catherine! Oh, Sayang. Kau akhirnya datang ke rumah,” seru ibunya sembari mengeratkan pelukan pada Catherine.Mereka berpelukan beberapa saat lamanya, hingga langkah kaki yang berat tiba di dekat mereka.Ayahnya berdiri di belakang sang ibu.“Daddy!” seru Catherine menghambur ke pelukan ayahnya. Mereka juga berpelukan erat beberapa saat lamanya, hingga sang ibu bertanya, “Mana Esme?”Mendengar pertanyaan it
“Ya, halo, Darren? Ada apa menelpon pagi-pagi begini?”Archie yang baru saja akan bersiap dengan rutinitas paginya untuk berangkat ke kantor, menyempatkan diri menjawab panggilan telepon dari Darren. Tidak biasanya Darren menelepon di pagi-pagi begini.“Apa? Kau akan menyelidiki gudang bekas milik Britney Anderson?” tanya Archie lagi, terheran-heran. Apa yang merasuki Darren hingga tiba-tiba property atas nama orang lain ingin diselidikinya.Terdengar jawaban ‘ya’ di ujung teleponnya. Archie pun menghela napas dalam. “Baiklah, kirimkan saja alamatnya. Nanti aku bersama yang lain menyusul ke sana. Lima menit lagi aku akan menuju kantor.”Selesai dengan pembicaraan via teleponnya bersama Darren, Archie membatalkan sarapannya. Dia hanya meminum kopi kemudian menuju mobil.Setibanya di kantor, Archie menyempatkan diri memeriksa alamat yang dikirimkan Darren. Setelah data yang tertera seperti
“Aku tidak pernah sombong. Aku selalu mengatakan apa adanya, Parut!” Darren menjawab ejekan Tom dengan ejekan yang dia tekankan pada fisik pria itu.Dan benar saja, mendengar sebutan kasar Darren padanya, Tom berang dan murka. Dia menghampiri Darren dengan cepat dan menendang pipi pria itu dengan lututnya.Tetapi, Darren mengelak dan membiarkan Tom kehilangan keseimbangannya. Saat itu, Darren menendang mata kaki Tom hingga pria itu jatuh terjungkal.Melihat bos mereka terjungkal memalukan akibat tendangan Darren yang tidak seharusnya melawan, Riley melepaskan tembakan.Dor!!Esme menjerit dalam bekapan lakban dengan bersimbah air mata di pipinya.Tom bangun dari posisi terjatuhnya. Dia mengebas debu yang menempel di kemeja bajunya. Dia juga membenarkan kerah kemejanya yang tertekuk. Setelah itu, dia memandang hina pada Darren dari atas pria itu.Sementara itu, Darren harus menahan rasa sakit yang luar biasa saat peluru yan
Setelah kecupan hangat itu, Darren memundurkan tubuh Esme sedikit. Dan dia menunggu Tom agar tiba dekat dengan persembunyian mereka.Tepat saat Tom melangkah sejajar dengannya, Darren menghantam wajah pria itu dengan sundulan kepalanya.Tom terhuyung-huyung sembari berteriak dan memegangi batang hidungnya.“Aaaarrrrggghhh!!!!” teriaknya sangat keras tanpa henti-hentinya. Tangannya menampung darah segar yang mengalir dari hidungnya. Tom tak berhenti berteriak karena apa yang dirasakannya saat ini sangat sakit. Dan saat dia meraba batang hidungnya, terasa tulang itu telah mencuat ke atas dan menembus kulitnya.Tom semakin kuat berteriak. Selain karena kesakitan juga karena dia sangat murka, hidungnya kembali terkena dan menjadi benar-benar patah. Napasnya sendiri sudah terputus-putus akibat menahan sakit yang hampir membuat ubun-ubunnya retak dan terbelah dua.Sakit yang teramat sangat dirasakan Tom hingga pria itu tak mampu lagi berpikir
Esme merasakan tubuhnya sangat ringan dan bagai melayang. Dia berada di awan-awan yang tinggi dan terbaring di atasnya. Lembut, empuk, dan begitu halus rasa awan-awan itu di kulitnya.Dan sedang menikmati kelembutan itu, cahaya matahari tampak menyelinap dan menyinarinya. Bagitu terang dan menyilaukan. Setelahnya, awan-awan itu hilang. Dia membuka mata dan mendapati dirinya terbaring lemah di sebuah ruang perawatan.Tangannya terasa perih akibat jarum infus menancap di punggungnya. Tubuhnya lemas tak berdaya. Udara dingin terasa menembus kulitnya. Kecuali satu, tangan kanannya yang terasa hangat karena digenggam setiap detiknya.Esme menoleh dan mendapati Darren duduk tertidur di kursi dengan kondisi yang lebih menyedihkan darinya. Lengan kiri pria itu dibalut dan diberi penopang kain. Sedangkan yang menggenggam tangannya adalah tangan kanan Darren. Rasanya begitu hangat dan begitu menentramkan.Tanpa sadar, Esme membelai tangan Darren yang
“Ada apa?” tanya Esme pada Darren yang mendadak menjadi melankolis.“Menikahlah denganku, agar aku bisa menjagamu dengan segenap hidupku.”Esme merasakan permukaan matanya perih dan berair. Itu adalah kalimat yang telah dinantinya sejak lama.Dan kini, kalimat itu tiba.Esme mengangguk. Tetapi Darren menggeleng, dan berkata lagi, “Maksudku, kita menikah malam ini.”Esme ternganga. Dia tak tahu apa yang harus dia katakana lagi. Yang pasti, dia merasa terenyuh. Mungkin semua ini efek dari kejadian penculikan tadi pagi, di mana kematian begitu dekat dengan mereka berdua, hingga rasanya setelah ini mereka tak kan sanggup lagi untuk berpisah meski sedetik saja.Perlahan, Esme menganggukkan kepalanya, mengiyakan permintaan Darren. Senyum lebar penuh haru merekah di bibir Darren. Dia pun mengecupi seluruh wajah Esme sebagai tanda bahagia yang meluap dari hatinya. Setelah itu, Darren
“Bagaimana kalau kita mandi bersama?” Senyum jahil merekah di wajah Darren.ESme merona sekalipun bibir wanita itu menyuarakan ‘tidak’.Pintu ditutup dengan cepat, dan Darren terkekeh senang. Rasanya menyenangkan bisa menggoda istrinya dan melihat rona merah di wajah Esme. Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, Darren menuju dapur dan membuat makan malam yang mudah.Aroma tumisan daging cincang segera tercium di udara. Dan saat Esme telah selesai mandi, dengan mengenakan bath robe putih, gadis itu keluar dari kamar mandi dan segera mencium aroma lezat masakan Darren. Air liurnya langsung menetes.Esme mengelap rambut basahnya dengan handuk, kemudian menuju ke dapur. Kini, terdengar desingan yang cukup kuat di sana. Darren sedang menggoreng telur.Berpikir untuk membalas kejahilan Darren di masa dulu, Esme berdiri di pintu dapur. Dia memanggil suaminya itu dengan suara terlembut yang pernah dia keluarkan.
“Aku dipanggil mengikuti rapat dadakan yang disebutkan oleh Inspektur sebagai rapat yang penting dan urgent.”Esme turun memancarkan kekecewaannya. Meski begitu, dia akhirnya berbesar hati. “Pergilah. Aku akan menunggumu pulang.”Darren mengangguk dengan kekesalan yang masih kentara jelas di wajahnya. Pria itu menuju lemari baju dan berganti pakaian. Esme juga mengenakan lagi bath robe nya. Dan setelahnya, mereka kembali berpelukan sebelum Darren akhirnya mengecupi keningnya, kemudian hidung, dan bibir Esme.“Kunci pintu dan jangan bukakan bagi siapa pun. Aku akan segera kembali,” bisik Darren. ***“Baiklah aku akan mulai meeting kita kali ini. Teruntuk Detektif DArre, maaf mengganggu masa pemulihanmu. Tetapi ini benar-benar penting.”Suara berat Inspektur Paul Warmer bergema di ruangan
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me