Di saat Darren seakan ingin menyerah, pandangannya tak sengaja tertuju pada seseorang di trotoar jalanan yang berada di seberangnya. Sosok itu sesuai dengan yang disebutkan security tadi. Tinggi, botak, berkulit hitam, berjaket putih dengan angka 88 di dada jaket itu. Masalahnya, pria itu memainkan gitarnya sembari bernyanyi dengan suara yang sangat merdu. Di sampingnya, tampak sebuah ember kecil yang menjadi tempat uang bagi para pengunjung yang menikmati suara merdunya.
Apakah pria itu menyamar sebagai pengamen?
Tetapi, rasanya tidak benar. Dia tidak tampak sebagai bawahan penculik yang menyamar sebagai pengamen. Dia terlihat benar-benar mahir dalam hal gitar dan suaranya yang begitu merdu. Kecil kemungkinan jika dia menyamar sebagai pengamen.
Lalu, apakah mungkin dia merangkap dua pekerjaan yang sangat bertolak belakang?
Darren menghampirinya dengan gemuruh kekalutan yang hendak meledak dari dadanya.
Tanpa banyak berkata-kata, karena sudah terla
Catherine terbangun dari tidur panjangnya yang penuh dengan isak tangis. Hatinya merasa sakit oleh luka yang ditorehkan Kyle padanya lewat kebohongan pria itu. dengan langkah gontai dan tak bersemangat, Catherine melangkah keluar kamar.Gadis itu merasa heran dengan keadaan ruko mereka yang sangat sepi. Dia pun turun ke bawah, dan masih tak mendapati ESme. KE mana sepupunya itu? Pergi sepagi ini? Di pagi yang sedingin ini?Ah, Esme, Esme. Cahterine terkadang merasa sepupunya itu terlalu rajin mengelola bakery mereka. Catherine pun memutuskan untuk membuat sarapan seraya menunggu kepulangan Esme. Akan tetapi, hingga habis sarapannya, Esme belum juga pulang. Ke mana sepupunya itu?Selagi menunggu, ponselnya berbunyi. Catherine melihat nama ayahnya tertera di layar ponsel. Dengan malas, dia menjawab panggilan telepon dari ayahnya itu.“Ya, Dad?” tanyanya.“Kau di mana?” tanya sang ayah.&ldq
Catherine turun dari taxi dan masuk ke halaman rumah ayahnya. Beberapa pengawal sang ayah mengangguk penuh hormat pada gadis itu. Catherine pun menaikkan dagunya dan melangkah tegap dengan kaki jenjangnya, melewati mereka semua.Sampai di pintu utama rumah, Catherine mengetuk.Pintu ganda tebal itu dibuka oleh ibunya. Wanita paruh baya dengan rambut ikal pendek seleher, yang sebagian sudah memutih menggantikan warna aslinya yang pirang, menatapnya dengan binar mata penuh suka cita.“Catherine! Oh, Sayang. Kau akhirnya datang ke rumah,” seru ibunya sembari mengeratkan pelukan pada Catherine.Mereka berpelukan beberapa saat lamanya, hingga langkah kaki yang berat tiba di dekat mereka.Ayahnya berdiri di belakang sang ibu.“Daddy!” seru Catherine menghambur ke pelukan ayahnya. Mereka juga berpelukan erat beberapa saat lamanya, hingga sang ibu bertanya, “Mana Esme?”Mendengar pertanyaan it
“Ya, halo, Darren? Ada apa menelpon pagi-pagi begini?”Archie yang baru saja akan bersiap dengan rutinitas paginya untuk berangkat ke kantor, menyempatkan diri menjawab panggilan telepon dari Darren. Tidak biasanya Darren menelepon di pagi-pagi begini.“Apa? Kau akan menyelidiki gudang bekas milik Britney Anderson?” tanya Archie lagi, terheran-heran. Apa yang merasuki Darren hingga tiba-tiba property atas nama orang lain ingin diselidikinya.Terdengar jawaban ‘ya’ di ujung teleponnya. Archie pun menghela napas dalam. “Baiklah, kirimkan saja alamatnya. Nanti aku bersama yang lain menyusul ke sana. Lima menit lagi aku akan menuju kantor.”Selesai dengan pembicaraan via teleponnya bersama Darren, Archie membatalkan sarapannya. Dia hanya meminum kopi kemudian menuju mobil.Setibanya di kantor, Archie menyempatkan diri memeriksa alamat yang dikirimkan Darren. Setelah data yang tertera seperti
“Aku tidak pernah sombong. Aku selalu mengatakan apa adanya, Parut!” Darren menjawab ejekan Tom dengan ejekan yang dia tekankan pada fisik pria itu.Dan benar saja, mendengar sebutan kasar Darren padanya, Tom berang dan murka. Dia menghampiri Darren dengan cepat dan menendang pipi pria itu dengan lututnya.Tetapi, Darren mengelak dan membiarkan Tom kehilangan keseimbangannya. Saat itu, Darren menendang mata kaki Tom hingga pria itu jatuh terjungkal.Melihat bos mereka terjungkal memalukan akibat tendangan Darren yang tidak seharusnya melawan, Riley melepaskan tembakan.Dor!!Esme menjerit dalam bekapan lakban dengan bersimbah air mata di pipinya.Tom bangun dari posisi terjatuhnya. Dia mengebas debu yang menempel di kemeja bajunya. Dia juga membenarkan kerah kemejanya yang tertekuk. Setelah itu, dia memandang hina pada Darren dari atas pria itu.Sementara itu, Darren harus menahan rasa sakit yang luar biasa saat peluru yan
Setelah kecupan hangat itu, Darren memundurkan tubuh Esme sedikit. Dan dia menunggu Tom agar tiba dekat dengan persembunyian mereka.Tepat saat Tom melangkah sejajar dengannya, Darren menghantam wajah pria itu dengan sundulan kepalanya.Tom terhuyung-huyung sembari berteriak dan memegangi batang hidungnya.“Aaaarrrrggghhh!!!!” teriaknya sangat keras tanpa henti-hentinya. Tangannya menampung darah segar yang mengalir dari hidungnya. Tom tak berhenti berteriak karena apa yang dirasakannya saat ini sangat sakit. Dan saat dia meraba batang hidungnya, terasa tulang itu telah mencuat ke atas dan menembus kulitnya.Tom semakin kuat berteriak. Selain karena kesakitan juga karena dia sangat murka, hidungnya kembali terkena dan menjadi benar-benar patah. Napasnya sendiri sudah terputus-putus akibat menahan sakit yang hampir membuat ubun-ubunnya retak dan terbelah dua.Sakit yang teramat sangat dirasakan Tom hingga pria itu tak mampu lagi berpikir
Esme merasakan tubuhnya sangat ringan dan bagai melayang. Dia berada di awan-awan yang tinggi dan terbaring di atasnya. Lembut, empuk, dan begitu halus rasa awan-awan itu di kulitnya.Dan sedang menikmati kelembutan itu, cahaya matahari tampak menyelinap dan menyinarinya. Bagitu terang dan menyilaukan. Setelahnya, awan-awan itu hilang. Dia membuka mata dan mendapati dirinya terbaring lemah di sebuah ruang perawatan.Tangannya terasa perih akibat jarum infus menancap di punggungnya. Tubuhnya lemas tak berdaya. Udara dingin terasa menembus kulitnya. Kecuali satu, tangan kanannya yang terasa hangat karena digenggam setiap detiknya.Esme menoleh dan mendapati Darren duduk tertidur di kursi dengan kondisi yang lebih menyedihkan darinya. Lengan kiri pria itu dibalut dan diberi penopang kain. Sedangkan yang menggenggam tangannya adalah tangan kanan Darren. Rasanya begitu hangat dan begitu menentramkan.Tanpa sadar, Esme membelai tangan Darren yang
“Ada apa?” tanya Esme pada Darren yang mendadak menjadi melankolis.“Menikahlah denganku, agar aku bisa menjagamu dengan segenap hidupku.”Esme merasakan permukaan matanya perih dan berair. Itu adalah kalimat yang telah dinantinya sejak lama.Dan kini, kalimat itu tiba.Esme mengangguk. Tetapi Darren menggeleng, dan berkata lagi, “Maksudku, kita menikah malam ini.”Esme ternganga. Dia tak tahu apa yang harus dia katakana lagi. Yang pasti, dia merasa terenyuh. Mungkin semua ini efek dari kejadian penculikan tadi pagi, di mana kematian begitu dekat dengan mereka berdua, hingga rasanya setelah ini mereka tak kan sanggup lagi untuk berpisah meski sedetik saja.Perlahan, Esme menganggukkan kepalanya, mengiyakan permintaan Darren. Senyum lebar penuh haru merekah di bibir Darren. Dia pun mengecupi seluruh wajah Esme sebagai tanda bahagia yang meluap dari hatinya. Setelah itu, Darren
“Bagaimana kalau kita mandi bersama?” Senyum jahil merekah di wajah Darren.ESme merona sekalipun bibir wanita itu menyuarakan ‘tidak’.Pintu ditutup dengan cepat, dan Darren terkekeh senang. Rasanya menyenangkan bisa menggoda istrinya dan melihat rona merah di wajah Esme. Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, Darren menuju dapur dan membuat makan malam yang mudah.Aroma tumisan daging cincang segera tercium di udara. Dan saat Esme telah selesai mandi, dengan mengenakan bath robe putih, gadis itu keluar dari kamar mandi dan segera mencium aroma lezat masakan Darren. Air liurnya langsung menetes.Esme mengelap rambut basahnya dengan handuk, kemudian menuju ke dapur. Kini, terdengar desingan yang cukup kuat di sana. Darren sedang menggoreng telur.Berpikir untuk membalas kejahilan Darren di masa dulu, Esme berdiri di pintu dapur. Dia memanggil suaminya itu dengan suara terlembut yang pernah dia keluarkan.