Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.
Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.
Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.
Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua.
"Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Mereka semua duduk berpasang-pasangan. Sudah tentu Esme dipasangkan dengan Brandon.
Mereka semua memesan. Selesai memesan, Esme tak bisa berpaling lagi dari tingkah laku Catherine yang terlihat sangat mesra dengan Hale. Ditatapnya tajam sepupunya itu, meminta penjelasan, singkat sekalipun. Tapi Catherine sepertinya tidak menggubris tatapan Esme. Hanya senyum penuh arti yang dilayangkannya pada Esme.
Kemudian untuk menggoda Esme, sepupunya itu semakin sengaja bergelanyut mesra dalam pelukan Hale. Bahkan sebelah tangannya mengelus dada bidang Hale tanpa henti, dengan tatapan penuh senyum yang terarah pada Esme.
Kesal akan tingkah Catherine, Esme akhirnya membuang tatapannya dari Catherine. Pikirannya kini melayang pada bulan-bulan sebelumnya saat mereka merencanakan pelarian ini.
Esme seperti baru tersadar bahwa selama ini dia sudah disetir Catherine dengan mudahnya. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Catherine selalu mengajak Esme melarikan diri dari rumah.
"Memangnya kau tidak bosan hanya di rumah saja, hidup dalam pengawasan ayahmu, dan segala yang ingin kau lakukan harus mendapat persetujuan ayahmu?"
"Hidup ini cuma sekali, Esme! Jika masa mudamu terlewatkan, kau takkan bisa mengulangnya lagi. Jika kau tidak berani mengambil resiko, hidupmu akan berakhir seperti yang ayahmu gariskan. Dalam beberapa tahun ke depan, kau pastilah akan dinikahkan dengan pria pilihan ayahmu. Dan siapa yang tau pria seperti apa? Masih bagus jika seperti ayahmu yang tampan, ramah, dan penyayang. Tapi jika dia tua, pendek, berperut buncit dengan kumis melenting konyol di atas bibirnya yang bau rokok bercampur bawang, apa kau mau?"
"Look at you! Aku yakin kau bahkan belum pernah berciuman! Dan kau sudah hampir 20 tahun. Mau sampai kapan kau hidup dikurung?"
Semua itu adalah hal-hal yang diucapkan Catherine saat membujuknya agar mengikuti rencananya melarikan diri dari rumah dan bersembunyi di Hawaii.
Yeah, Hawaii. Esme sering heran, kenapa harus Hawaii? Jika hanya karena pantai, banyak negara lain yang mempunyai pantai nan indah.
"Ini masalah iklim dan cuaca, Little Girl. Hawaii beriklim hangat, cuaca dan udaranya pun hangat. Di sana kita pasti akan merasakan kenyamanan yang tidak bisa kita dapatkan selama di tempat kita ini."
Mexico juga cukup hangat, pikir Esme pada waktu itu. Namun tidak dia suarakan. Dan sekarang dia baru memahami, kenapa Catherine memilih Hawaii. Semua karena Hale.
Setelah menghabiskan minumnya, Catherine menarik Hale ke lantai dansa. Di sana dia meliuk-liuk sensual. Sesekali dia melompat dengan kepala menggeleng-geleng tak karuan. Tangannya terangkat dan dia terlihat senang sekali. Catherine merupakan perwujudan dari kata cantik, bebas, dan liar.
Esme memperhatikan tawa lepas Catherine pada Hale dan dia merasa iri pada semua itu. Akankah dia bisa selepas Catherine, menikmati setiap hal dalam hidup tanpa banyak mempertimbangkan segala tetek bengek yang ada?
"C'mon, let's dance!" ajak Brandon. Sebelah tangannya terulur pada Esme.
"No, I can't dance," tolak Esme.
"Masa sih? C'mon! Hanya gerakkan saja tubuhmu semaumu!" bujuk Brandon lagi.
Esme akhirnya menyerah dan dia mengikuti Brandon ke dance floor.
Pada awalnya, Esme hanya melihat saja Brandon yang mulai bergoyang. Tak lama kemudian, dia mulai lupa akan kakinya yang masih sedikit sakit. Tubuhnya mulai merespon pada ritme musik yang mengiringi mereka.
Emse menggeleng-gelengkan kepalanya, mengikuti tingkah Catherine. Esme juga mengangkat kedua tangannya. Esme meliukkan tubuhnya. Perasaan lepas dan bebas mulai melingkupinya. Dia mulai menyatu dengan musik dan tubuhnya melompat-lompat mengikuti irama house music yang berdentum-dentum.
Entah berapa lama Esme membebaskan dirinya sendiri untuk menari. Saat musik berubah pelan, Esme terkesiap karena tangan Brandon sudah merengkuh pinggangnya dan tubuh tegap pemuda itu sudah hampir menempel dengan tubuhnya.
"Ak- aku sudahan jogetnya, ya. Capek!" Esme berpura-pura. Dia hanya berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan lengan Brandon di pinggulnya.
"Oh, ayolah! Kenapa kau berhenti sekarang? This is the best part." Brandon menatap kepergian Esme dengan kesal. Dia membuang pandangannya ke sekelilingnya dan menemukan tatapan Hale padanya. Temannya itu menaikkan kedua alisnya seraya menunjuk Catherine yang sudah berada dalam pelukannya.
Hale mengejeknya. Brandon tahu itu sehingga dia bertambah kesal. Pemuda itu memutuskan untuk mengejar Esme. Gadis itu sudah berada di dekat toilet saat Brandon berhasil menggapainya.
"Aww! Kenapa kau ini?" Esme terkejut dan merasakan sakit saat Brandon menarik lengannya dengan kasar.
"Kau yang kenapa? Ini saatnya kita berdansa. Kenapa kau malah mau kabur?" desisnya di depan wajah Esme. Kedua tangannya menangkup wajah Esme dan membuat wanita itu menengadah menatapnya.
"Dance with me!" perintahnya dalam desisan.
"Aku tak mau!" jawab Esme dengan suara seperti tercekik.
Detik itu juga tubuh Esme didorong hingga ke tembok dan bibir Brandon mengejar sekujur wajahnya dengan membabi buta. Esme yang merasakan wajahnya lengket terkena liur pria itu semakin meronta dari ciuman paksa Brandon. Setelahnya, bibir itu mulai mengejar lehernya.
Esme mendorong kuat tubuh Brandon, tapi tidak ada hasilnya. Pria itu mengerahkan tenaganya dengan maksimal untuk menghukum Esme. Bahkan kedua tangan Esme mulai ditahan Brandon di samping tubuhnya.
Esme mulai ketakutan. Apalagi tidak banyak pengunjung yang melewati tempat Brandon menyerangnya. Hanya beberapa saja, itu pun tak ada yang memedulikannya. Mungkin dia dan Brandon terlihat sebagai sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Hingar bingar musik sudah menelan suara teriakannya.
Dan saat tangan Brandon mulai menjelajah tubuhnya, dan mulai menangkup sebelah dadanya, Esme mulai menangis. Dia tidak menginginkan ini, tapi kenapa pria di depannya ini, yang baru dikenalnya memaksakannya untuk menerima ciumannya?
Detik itu juga, perasaan menyesal menyelimutinya. Dia menyesal telah meninggalkan rumah ayahnya. Dia menyesal telah membenci pengawasan ayahnya. Dia menyesal telah melawan kehendak ayahnya.
Andai dia diam di rumah seperti yang diarahkan ayahnya. Andai dia tidak terbujuk ide liar Catherine. Andai dia tetap menjadi Mommy's little girl, saat ini dia pastilah sedang mendengarkan cerita ibunya, sambil duduk di sofa, menyantap camilan sedap, dan menonton film keluaran Marvel's.
Esme sangat merindukan rumah dan kedua orang tuanya. Dan saat pikirannya kembali meratapi pemaksaan Brandon, tubuh bawah pira itu sudah menempel padanya. dia bisa merasakan sesuatu yang menjadi pusat gairah pria itu sudah terbangkitkan.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta
"Bagaimana?" tanya Hale begitu dia melihat Catherine, alias Alicia, mendekat."Sudah beres! Dia akan tidur."Catherine menatap yang lainnya. "Silakan kalian bisa anggap rumah sendiri. Asal jangan ganggu adikku saja. Dia tidur di kamar yang sana."Brandon dan yang lainnya mengangguk. Catherine kemudian meninggalkan mereka semua di sofa ruang tengah, untuk mengambil minum."Aku rasa kalian kusajikan soft drinks saja ya. Di club tadi sudah minum beralkohol." Catherine mengucapkannya sambil lalu menuju dapur. Dia tahu Hale mengikutinya, sehingga ucapannya itu ditujukannya pada Hale.Sesampainya di dapur, saat hendak meraih pintu kulkas, lengan kokoh Hale sudah melingkar di pinggangnya. Hangat napas pria itu sudah terasa di tengkuk Catherine."Uhm ... Baby?" tanya Catherine tidak jadi membuka kulkas. Desiran di tubuhnya lebih menguasai otaknya hingga dia lupa apa yang h
"Oh, Baby, wanna try this? This is amazing!" tanya Hale tanpa beban."Kau! Kau gila! Kenapa membawa barang seperti itu ke sini?" Amarah Catherine terasa mendidih di kepalanya. Tidak perlu dijelaskan. Sekali lihat saja siapapun akan tahu bahwa itu adalah bubuk obat terlarang.Tentu saja Catherine marah. Obat seperti ini ilegal di Hawaii dan hampir di seluruh negara. Pemakai dan pengedarnya bisa dihukum belasan tahun hingga seumur hidup di penjara.Habislah dia dan Esme jika sampai terlibat hal seperti itu di Hawaii. Sekalipun jika dia tidak memakai ataupun mengedarkan, tapi jika huniannya yang menjadi tempat untuk memakainya, dia tetap akan terseret.Catherine tidak menginginkan itu! Ayahnya sering berkata agar jangan pernah menyentuh dan mencicipi obat terlarang. Bahkan jika hanya satu kali dan dalam dosis kecil sekalipun. Efek candu dari obat itu akan menjeratmu!"Wohooo ... tenang dulu
"LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU, JAHANAM!!""Hahaha, kau takkan kulepaskan. Kau harus menerima pemberianku ini. Aku sudah susah payah membelinya untukmu. Sekarang terimalah!" Brandon mulai menarik rambut Esme untuk bisa mengendalikan gadis itu.Dililitnya rambut panjang Esme di tangannya hingga Esme tak bisa menggerakkan kepalanya. Setelahnya, Brandon mulai mendorong Esme menuju meja. Didorongnya kepala Esme agar mendekat ke meja, mendekat ke bubuk putih terlarang yang disebutnya bubuk bahagia itu.Esme berusaha menahan dorongan Brandon. Menahan wajahnya agar tidak semakin dekat pada bubuk putih itu. Tapi tenaga Brandon teramat sangat kuat hingga yang mampu Esme lakukan hanyalah menangis.Dalam hatinya dia memanggil-manggil ayahnya. Dia juga memanggil Enrique, kakaknya. Tapi suara itu hanya memantul dalam benaknya dan wajahnya hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari meja.Esme memegang tangan
"Hale? Kau mau ke mana?"Suara Catherine terdengar merengek dan dia menghambur ke arah Hale. Catherine memeluk Hale dengan erat karena firasatnya mengatakan Hale akan pergi meninggalkannya."Jangan pergiii...."Tangan Hale menghalau pelukan Catherine menyebabkan wanita itu semakin histeris. Tapi Hale tetap melangkah, membawa Brandon keluar dari apartemen mereka.Catherine berbalik pada Esme. Ditatapnya sepupunya itu dengan pandangan bertanya, sekaligus marah."Kenapa kau biarkan mereka pergi?" Catherine masih merasa tak senang. Sekalipun dia tidak tahu permasalahan sesungguhnya, dia merasa Esme-lah yang mengusir Hale."Sudahlah Cath, mereka berniat tidak baik pada kita.""Tidak baik bagaimana? Dia pacarku!""Iya, aku tau! Tapi pacarmu itu sudah menjebakmu agar mengkonsumsi narkoba!""Omong kosong!""Aku tidak
"Cath, ayo kita jalan-jalan. Sekalian kita ke supermarket membeli berbagai bahan makanan. Aku kepingin masak sendiri. Rasanya makanan di sini kurang pas di lidahku."Esme mengetuk pintu kamar Catherine dan mengucapkan kalimat panjang itu, berharap Catherine bersedia melupakan kejadian yang tak mengenakkan bersama Hale.Esme menunggu beberapa saat, tapi Catherine tak kunjung menjawab."Catherine! Cath! Ayolah, kita jalan-jalan mengusir suntuk." Esme masih berusaha mengajaknya lagi. Beberapa kali sudah dia mengambil napas dalam-dalam demi mempertebal kesabarannya. Tapi jawaban dari Catherine tak kunjung muncul.Hingga saat Esme berbalik hendak pergi dari sana, tiba-tiba pintu terbuka dan Catherine keluar dari kamarnya. Sepupunya itu tak menyapanya, tak juga menjawab pertanyaannya sedari tadi. Gadis itu melewatinya dengan dagu terangkat dan tatapan lurus ke depan."Cath...." Esme me
Bip. Bip.Catherine sedang mengambil kopi dingin dari kulkas saat mendengar ponselnya berbunyi. Bunyi pesan?Sudah sejak hari di mana Hale diusir pulang dari apartemennya oleh Esme, pria itu tak pernah membalas pesannya dan tak pernah juga mengangkat panggilan teleponnya. Catherine rasanya ingin menyerah. Tapi dia begitu merindukan Hale.Hampir setiap detik dia teringat akan wajah tampan Hale, canda tawa pria itu, hingga sentuhan hangat Hale padanya. Bagaimana mereka menghabiskan malam bersama waktu itu masih sangat membekas di benaknya. Dia ingin mengulangnya lagi. Dia ingin merasakannya lagi. Dia ingin bersama Hale lagi.Jika semua itu tak bisa terulang lagi, lantas untuk apa dia berada di negara ini?Saat ponselnya berbunyi, Catherine langsung tahu bahwa itu pesan dari Hale. Hanya Esme dan Hale yang mengetahui nomornya. Gegas dia menutup kulkas dan meraih ponsel yang tadi diletakkanny
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me