"Hale? Kau mau ke mana?"
Suara Catherine terdengar merengek dan dia menghambur ke arah Hale. Catherine memeluk Hale dengan erat karena firasatnya mengatakan Hale akan pergi meninggalkannya.
"Jangan pergiii...."
Tangan Hale menghalau pelukan Catherine menyebabkan wanita itu semakin histeris. Tapi Hale tetap melangkah, membawa Brandon keluar dari apartemen mereka.
Catherine berbalik pada Esme. Ditatapnya sepupunya itu dengan pandangan bertanya, sekaligus marah.
"Kenapa kau biarkan mereka pergi?" Catherine masih merasa tak senang. Sekalipun dia tidak tahu permasalahan sesungguhnya, dia merasa Esme-lah yang mengusir Hale.
"Sudahlah Cath, mereka berniat tidak baik pada kita."
"Tidak baik bagaimana? Dia pacarku!"
"Iya, aku tau! Tapi pacarmu itu sudah menjebakmu agar mengkonsumsi narkoba!"
"Omong kosong!"
"Aku tidak
"Cath, ayo kita jalan-jalan. Sekalian kita ke supermarket membeli berbagai bahan makanan. Aku kepingin masak sendiri. Rasanya makanan di sini kurang pas di lidahku."Esme mengetuk pintu kamar Catherine dan mengucapkan kalimat panjang itu, berharap Catherine bersedia melupakan kejadian yang tak mengenakkan bersama Hale.Esme menunggu beberapa saat, tapi Catherine tak kunjung menjawab."Catherine! Cath! Ayolah, kita jalan-jalan mengusir suntuk." Esme masih berusaha mengajaknya lagi. Beberapa kali sudah dia mengambil napas dalam-dalam demi mempertebal kesabarannya. Tapi jawaban dari Catherine tak kunjung muncul.Hingga saat Esme berbalik hendak pergi dari sana, tiba-tiba pintu terbuka dan Catherine keluar dari kamarnya. Sepupunya itu tak menyapanya, tak juga menjawab pertanyaannya sedari tadi. Gadis itu melewatinya dengan dagu terangkat dan tatapan lurus ke depan."Cath...." Esme me
Bip. Bip.Catherine sedang mengambil kopi dingin dari kulkas saat mendengar ponselnya berbunyi. Bunyi pesan?Sudah sejak hari di mana Hale diusir pulang dari apartemennya oleh Esme, pria itu tak pernah membalas pesannya dan tak pernah juga mengangkat panggilan teleponnya. Catherine rasanya ingin menyerah. Tapi dia begitu merindukan Hale.Hampir setiap detik dia teringat akan wajah tampan Hale, canda tawa pria itu, hingga sentuhan hangat Hale padanya. Bagaimana mereka menghabiskan malam bersama waktu itu masih sangat membekas di benaknya. Dia ingin mengulangnya lagi. Dia ingin merasakannya lagi. Dia ingin bersama Hale lagi.Jika semua itu tak bisa terulang lagi, lantas untuk apa dia berada di negara ini?Saat ponselnya berbunyi, Catherine langsung tahu bahwa itu pesan dari Hale. Hanya Esme dan Hale yang mengetahui nomornya. Gegas dia menutup kulkas dan meraih ponsel yang tadi diletakkanny
Bunyi musik berdentam dentum, menyaingi musik di night club, terdengar dari unit yang baru disewa Hale. Bukan hanya suara musik yang memenuhi ruangan, tapi juga beberapa teman Hale yang diundang datang untuk melihat hunian barunya. Mereka berjoget, hilir mudik melihat-lihat hunian beserta furnitur berkelas itu dengan takjub, serta menyomot kue-kue kecil dan bir, yang baru dibeli Catherine tadi sore.Hale menjadi tuan rumah yang sangat bangga. Baru kali ini dia bisa menyelenggarakan pesta seperti ini. Terlebih lagi sosok Alicia di sampingnya yang terus menatapnya dengan pandangan memuja."Thank you, Baby. Karena kau, aku jadi bisa tinggal di tempat yang nyaman. Kau pun jadi bisa datang ke sini lebih sering. Tidak perlu aku yang datang ke tempatmu."Hale menarik pinggang Catherine masuk dalam pelukannya. Dicecapnya bibir wanita itu dan dilumatnya penuh gelora. Tentu saja dia senang. Sudah lama dia mengidamkan tinggal di ap
"Uhm ... Ehm ...."Jika tak ada bunyi musik yang membahana keras di apartemen Hale, desahan Catherine mungkin terdengar jelas. Tapi bunyi musik menutupinya dan hanya Hale yang mendengarnya.Bibir keduanya sedang saling berkejaran menggapai hantaran listrik yang mampu membangkitkan hasrat di dalam diri mereka. Dan saat hasrat itu sudah memuncak, Hale menarik Catherine hingga kedua kaki wanita itu melingkar di pinggangnya. Diangkatnya wanita itu berjalan memasuki kamar. Hiruk pikuk para temannya di luar kamar tak digubrisnya.Sampai di kamar, Hale menutup pintu dengan kakinya. Dia pun merebahkan tubuh Catherine di atas tempat tidur. Mereka kembali berpagutan yang saling mengejar. Seakan jika sedetik saja pagutan mereka terlepas, maka semuanya akan berakhir.Tangan Hale menjelajah tubuh Catherine dan mulai menyusup di balik kaos baju wanita itu. Dia meraih dada besar Cahterine dan membelainya dengan penuh gelora.Dengan segera, Hale mulai melep
"Menurutmu mereka di kamar?"Sesaat setelah melontarkan pertanyaan itu, Esme merutuki dirinya sendiri. Pertanyaan bodoh. Sudah tentu Catherine di kamar bersama Hale. Apa lagi yang akan mereka perbuat jika sudah bersama."Iya. Ayo, kita ketuk."Darren kembali menarik tangan Esme. Gadis itu merasakan lagi kehangatan tangan Darren. Kehangatan yang membuatnya merona.Mereka tiba di depan pintu kamar yang tertutup. Darren melirik Esme sejenak sebelum dia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu.Tiga ketukan yang mantap dan mereka menunggu. Semenit berlalu tapi pintu tak jua dibuka.Darren mengetuk lebih keras lagi. Masih juga pintu tak dibuka."Kau akan mendobrak?" tanya Esme saat melihat Darren sudah siap mengambil kuda-kuda untuk mendobrak.Darren mengangguk, mengumpulkan tenaganya, dan mulai menghantamkan tubuhnya ke daun pintu. Pintu masih bergeming, tak sedikitpun terbuka. Darren menunggu sembari menatap Esme.
Darren terbelalak merasakan bibir yang selama ini merupakan bagian personal tubuhnya, kini dicecap oleh bibir Esme. Rasa yang hangat, lembut, dan bagai sengatan listrik berdesir mengaliri sekujur tubuhnya. Seketika segala yang ada di benaknya menguap. Bahkan jika ditanya siapa dirinya saat ini, Darren pasti tak mampu mengingat lagi jati dirinya.Tautan bibir mereka terasa berlangsung lama. Ataukah memang waktu sengaja berhenti agar mereka bisa menyecap rasanya lebih lama?Esme sendiri merasakan jantungnya berdegup kencang menyecap bibir Darren yang terlihat begitu menggiurkan. Aliran darah yang hangat terasa mendebarkan hatinya. Dan saat telah merasakannya, semua itu tidaklah cukup. Dia menginginkan lebih.Tapi Darren tidak bergerak. Pria itu tidak membalas kecupannya. Tak juga mengejar untuk melanjutkan pagutan mereka. Hingga Esme terpaksa memundurkan wajahnya, menjauh dari Darren. Dia malu. Dan wajahnya merona merah.Pria itu pun terlihat seperti baru
Catherine merasa dadanya seakan hendak meledak setiap kali dia melihat Esme. Di benaknya terbayang-bayang pesan yang dituliskan Hale padanya kemarin. Hale mengatakan bahwa Esme dan Darren mendatangi apartemen yang baru mereka sewa siangnya. Dan kedatangan mereka sudah tentu bukan untuk bercakap ramah.Darren juga ternyata mengambil barang Hale, yang sangat mahal. Bahkan dia mengikat tangan Hale di jendela! Sedangkan Esme membawa dirinya pulang. Lancang sekali mereka berdua! Mereka pikir, mereka siapa?! Hah!Catherine kembali emosi. Rasanya dia ingin melemparkan semua barang yang ada ke wajah Esme, terlebih-lebih Darren.Akan tetapi, misteri terbesar bagi Catherine adalah bagaimana Esme dan Darren bisa mengetahui hunian baru Hale? Misteri ini juga yang membekap Hale hingga pemuda itu malah menuduh bahwa dia-lah yang membocorkannya pada Esme. Sudah tentu Catherine semakin marah.Karenanya, saat Esme masuk ke dapur, Catherine segera mengakhiri makann
Esme terbangun dengan kedua tangannya terikat ke belakang. Dia didudukkan di sebuah kursi kayu dan tangannya diikat ke bagian belakang sandaran kursi. Sedangkan kakinya tidak terikat.Gadis itu berusaha menggerak-gerakkan tangannya, tapi tak berhasil. Ikatan simpulnya sangat kencang. Yang ada malahan tangannya terasa sakit."Tidak perlu berusaha." Sebuah suara menyita perhatian Esme. Suara itu milik Brandon, yang ternyata berada di belakangnya. Saat Esme menoleh dan melihatnya, pemuda itu sedang memegang pisau, mengupas mangga dan memakannya. Sembari mengunyah, dia menatap Esme lagi dan tersenyum keji. "Kau takkan bisa melepaskannya."Setelahnya, Brandon kembali mengunyah potongan mangganya dengan nikmat."Apa mau kalian? Kenapa mengikatku seperti ini?" Esme bertanya dengan suaranya yang bergetar antara takut, marah, dan bingung.Brandon bangun dari duduknya dan menghampiri Esme. Dia meletakkan pisau dan mangganya, dan mendekatkan wajahnya pada Esm
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me