Darren terbelalak merasakan bibir yang selama ini merupakan bagian personal tubuhnya, kini dicecap oleh bibir Esme. Rasa yang hangat, lembut, dan bagai sengatan listrik berdesir mengaliri sekujur tubuhnya. Seketika segala yang ada di benaknya menguap. Bahkan jika ditanya siapa dirinya saat ini, Darren pasti tak mampu mengingat lagi jati dirinya.
Tautan bibir mereka terasa berlangsung lama. Ataukah memang waktu sengaja berhenti agar mereka bisa menyecap rasanya lebih lama?
Esme sendiri merasakan jantungnya berdegup kencang menyecap bibir Darren yang terlihat begitu menggiurkan. Aliran darah yang hangat terasa mendebarkan hatinya. Dan saat telah merasakannya, semua itu tidaklah cukup. Dia menginginkan lebih.
Tapi Darren tidak bergerak. Pria itu tidak membalas kecupannya. Tak juga mengejar untuk melanjutkan pagutan mereka. Hingga Esme terpaksa memundurkan wajahnya, menjauh dari Darren. Dia malu. Dan wajahnya merona merah.
Pria itu pun terlihat seperti baru
Catherine merasa dadanya seakan hendak meledak setiap kali dia melihat Esme. Di benaknya terbayang-bayang pesan yang dituliskan Hale padanya kemarin. Hale mengatakan bahwa Esme dan Darren mendatangi apartemen yang baru mereka sewa siangnya. Dan kedatangan mereka sudah tentu bukan untuk bercakap ramah.Darren juga ternyata mengambil barang Hale, yang sangat mahal. Bahkan dia mengikat tangan Hale di jendela! Sedangkan Esme membawa dirinya pulang. Lancang sekali mereka berdua! Mereka pikir, mereka siapa?! Hah!Catherine kembali emosi. Rasanya dia ingin melemparkan semua barang yang ada ke wajah Esme, terlebih-lebih Darren.Akan tetapi, misteri terbesar bagi Catherine adalah bagaimana Esme dan Darren bisa mengetahui hunian baru Hale? Misteri ini juga yang membekap Hale hingga pemuda itu malah menuduh bahwa dia-lah yang membocorkannya pada Esme. Sudah tentu Catherine semakin marah.Karenanya, saat Esme masuk ke dapur, Catherine segera mengakhiri makann
Esme terbangun dengan kedua tangannya terikat ke belakang. Dia didudukkan di sebuah kursi kayu dan tangannya diikat ke bagian belakang sandaran kursi. Sedangkan kakinya tidak terikat.Gadis itu berusaha menggerak-gerakkan tangannya, tapi tak berhasil. Ikatan simpulnya sangat kencang. Yang ada malahan tangannya terasa sakit."Tidak perlu berusaha." Sebuah suara menyita perhatian Esme. Suara itu milik Brandon, yang ternyata berada di belakangnya. Saat Esme menoleh dan melihatnya, pemuda itu sedang memegang pisau, mengupas mangga dan memakannya. Sembari mengunyah, dia menatap Esme lagi dan tersenyum keji. "Kau takkan bisa melepaskannya."Setelahnya, Brandon kembali mengunyah potongan mangganya dengan nikmat."Apa mau kalian? Kenapa mengikatku seperti ini?" Esme bertanya dengan suaranya yang bergetar antara takut, marah, dan bingung.Brandon bangun dari duduknya dan menghampiri Esme. Dia meletakkan pisau dan mangganya, dan mendekatkan wajahnya pada Esm
Hari bahkan belum menyentuh sore saat Darren menyambar jaketnya dan berlari keluar dari unitnya. Saat tiba di depan lift, Darren berhenti dan teringat akan Catherine. Dia tidak melihat wanita itu di rekaman CCTV. Lagipula, Hale sempat terlambat keluar dari sana dan Catherine tidak bersama mereka. Lalu, di mana dia?Jangan-jangan ...Darren berbalik dan kembali ke unit Catherine. Dia mengetuk pintu dengan segala pikiran buruk menghantuinya. Dia takut Hale berbuat jauh lebih buruk, yaitu membunuh Catherine. Biar bagaimanapun, orang yang sudah gelap mata cenderung bertindak nekat.Sedetik kemudian, pintu unit itu terbuka dan wajah Catherine muncul di baliknya. Darren merasa lega di satu bagian. Tapi di benaknya, keadaan Esme masihlah mengkhawatirkan.Jadi, saat Catherine muncul dari balik pintu, Darren sudah menyemburkan kekhawatirannya."Pacarmu itu menculik Esme!" katanya tajam, kering, dan sangat dingin. Catherine menelan ludahnya
“Kalian pulanglah dulu. Aku ingin menenangkan diriku dulu.” Sejujurnya, hati Catherine masih terpecah menjadi dua, antara membenci Hale atas apa yang terjadi barusan, juga menginginkan Hale dan siap memaafkannya. Untuk itu, dia ingin memikirkannya dengan duduk menyendiri di kafe. Lagipula, dia teringat akan motor Darren. Tidak mungkin pria itu memboncengnya dan Esme sekaligus, bukan? Kalaupun dia ikut pulang ke apartemen, sudah pasti dia akan naik taxi. Entah Esme akan mengikutinya atau Darren.“Lebih baik kau pulang saja, Cath.” Esme memandangnya dengan wajah memelas. Setelah apa yang terjadi, dia tidak ingin berpisah dari Catherine. Esme merasa perlu membicarakannya secara personal. Dan setelah rentetan kejadian yang terjadi selama di Hawaii, Esme pun merasa perlu membicarakan rencana pelarian mereka selanjutnya. Tetap di Hawaii-kah? Pindah ke tempat lain? Atau … pulang?“Aku tidak akan lama, Little Girl. Kau pulanglah dulu dengan Darren. Dan Darren, thanks a lot sud
Darren kembali ke unit apartemennya dengan perasaan hati yang aneh. Ada keinginan yang kuat untuk memeluk Esme dan memberikannya rasa nyaman demi menghapus keterkejutan dan ketakutannya atas perlakuan Hale pada gadis itu. Dia ingin sekali bisa membisikkan kata yang menenangkan pada Esme, bahwa dia ada untuk gadis itu dan akan selalu ada untuk melindunginya. Nyatanya, lidahnya kelu. Bahkan otot tubuhnya seakan membeku tak mampu untuk sekadar memberikan pelukan menenangkan. Gadis itu terlihat begitu memesona dengan kepolosan dan kerentanannya. Seperti vas yang terbuat dari kaca, gadis itu berada di tepian tebing, sangat beresiko untuk jatuh dan pecah. Darren begitu ingin merengkuh vas itu, sekaligus begitu takut vasnya terpecah.Darren bergegas membasuh wajahnya dengan air untuk menghapus bayangan wajah Esme yang begitu rapuh. Entah apa yang akan dia kerjakan sekarang. Rasanya obsesinya untuk memburu Don Signoraz sudah menyurut. Yang dia inginkan adalah kembali ke unit di depann
“Sambungkan aku dengan Martinez!” Suara Marco terdengar rendah tapi tetap menggelegar . Begitu panggilannya dijawab Martinez, Marco langsung menyembur, “Kapan jadwal pesawat kita ke Honolulu?” “Sore ini, Tuan.” “Lalu apa yang kau kerjakan sekarang?” “Aku hendak memberi pelajaran pada orang yang menjual identitas palsu pada Nona Esme dan Catherine, Bos.” “Kenapa baru sekarang?! Baiklah! Jangan sampai telat!!” “Baik, Tuan,” jawab Martinez lagi. Marco menutup teleponnya dan mendorong pintu kamarnya. Dia memandangi Margaritta yang terbaring di atas ranjangnya. Luka di tubuh istrinya terlihat semakin parah. Andai Marco mau mengakuinya, beberapa luka yang dia torehkan dengan sarung samurainya itu terlihat semakin terang dan melebar. Bau daging yang bernanah mulai tercium samar di ruangan itu. Akan tetapi, kemarahannya pada sang istri tidak membuat dia menyadari seberapa parah yang dia lihat, dan seberapa busuk yang tercium in
“BAgaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?!” Esme panic dan dia benar-benar kehilangan akal sehatnya. Wajahnya pucat dan ketakutan. Teringat di benaknya ucapan Darren sebelumnya yang mengkhawatirkan pembalasan dari Hale. “Ap- apakah ini perbuatan Hale?” “Aku rasa iya,” jawab Darren sambil memandang sekelilingnya. “Ayo!” Darren berlari menuju toko penyewaan motor. Mereka menyewa motor dan gegas mengejar jejak mobil tadi. Sampai di persimpangan jalan raya, tidak ada lagi jejak mobil yang masih tersisa di sana. Esme merasa terhempas jatuh dari pohon tinggi. Bagaimana ini? “Kita kembalikan motor ini, kemudian pulang ke apartemen. Aku akan menghubungi temanku yang bisa melacak ponsel. Kau tenang saja, ya. Hale tidak akan berani macam-macam. Orang seperti dia hanya mampu mengancam. Dan yang dia butuhkan adalah uang. Jadi, dia tidak akan berani macam-macam.” Darren berusaha menenangkan Esme. Kemudian, laju motor itu kembali ke area pantai yang ramai. Sesam
Honolulu International AirportMarco Bandares turun dari pesawat pribadi mereka dengan menggunakan kacamata hitam. Di sampingnya adalah sang adik, Rodriguez Bandares, pun dengan mengenakan kacamata hitam. Martinez berjalan di depan mereka, memastikan situasi aman.Meskipun mereka landing di jalur tersendiri, tapi keadaan di bandara teramat ramai. Mereka tidak bisa mengambil resiko akan dikenali public atau pihak berwenang setempat. Dengan berjalan mantap, Marco dan Rodriguez dituntun Martinez hingga ke pintu keluar, yang tersembunyi dari khalayak umum.Limousin yang disiapkan Martinez lewat rekannya di Honolulu telah menunggu kedatangan mereka. Marco dan Rodriguez melesak masuk. Dan begitu Martinez masuk dan menutup pintu, Marco langsung memerintahkannya, “Cepatlah lacak nomor ponsel mereka!”“Baik, Tuan!”Martinez mengeluarkan laptop dan segala peralatannya. Setelah berkutat selama beberapa menit