Dokter menyerahkan resep kepada Darren yang duduk di kursi depan meja kerja sang dokter. Sedangkan Esme dipapah suster menuruni examination table dengan hati-hati menuju kursi di sebelah Darren. Wajah pria itu tetap datar dan tak berubah sedari tadi.
"Ini resep untuk pain killer dan salep olesnya. Untuk pain killer bisa diminum tiga kali sehari. Jika sudah tidak sakit, bisa distop. Untuk salep boleh dioles sesering yang diinginkan."
Selesai menjelaskan, sang dokter tersenyum pada Darren, kemudian menatap Esme yang meringis menahan sakit.
"Kalau kekasihnya belai penuh rasa sayang, pasti akan cepat sembuh," celetuk dokter yang terlihat berusia pertengahan lima puluh tahun itu, dengan tersenyum penuh arti kepada Esme.
Gadis itu merona mendengar ucapan salah paham sang dokter. Diliriknya Darren yang ternyata malah mengangguk kecil. "Terima kasih, Dokter."
"Maaf, dokter tadi jadi salah paham mengira kau kekasihku," kata Esme saat mereka telah keluar dari ruang dokter dan menuju apotik untuk menebus obat.
"No problem. Mau tebus resepnya sekarang?"
Dengan dipapah Darren dan sambil meringis menahan sakit, Esme akhirnya mampu tiba di apotik yang berjarak cukup jauh dari ruang dokter tadi.
"Ah, nanti saja." Esme merona lagi.
"Kenapa nanti?"
"Err ... aku lupa membawa uang." Esme merasakan pipinya semakin panas.
"Biar kubayarkan dulu."
"Ah, jangan. Aku tidak mau merepotkanmu lebih banyak lagi. Kau mengantarku ke sini saja sudah merepotkanmu. Maafkan aku."
"Tidak apa-apa. Aku tidak repot. Aku ke sini juga dalam rangka liburan."
"Oh, begitu. Baiklah, kalau begitu terima kasih. Akan kuganti saat sudah pulang nanti."
"Tidak masalah." Dan Darren menyerahkan resep yang sedari tadi dipegangnya pada petugas di apotik.
***
"Kau bisa jalan?"
Esme mengangguk sembari menahan ringisan. Dia sudah malu sedari tadi merintih sakit dan Darren dengan sabarnya memapah dan membantunya berjalan. Kini, mereka baru saja turun dari taxi dan hendak masuk ke gedung apartemen.
"Masih sakit?" tanya Darren lagi setelah membantunya turun dari taxi dan membayar.
"Sedikit."
Mendengar jawaban Esme, Darren menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Entah kenapa. Esme merasakan jantungnya berdebar-debar dan pipinya seakan ingin mengembang dan meletuk, seperti kue pie yang telah matang jika tak segera diangkat, maka akan meletuk dan retak.
Sedetik kemudian, pertanyaan Esme dalam benaknya terjawab. Darren tiba-tiba menggendongnya ala bridal style dan membawanya masuk ke dalam apartemen. Esme berteriak malu. "Dar- Darren, aku bisa jalan sendiri."
"Iya, aku tau. Tapi terlalu lambat."
Daren berjalan cepat memasuki gedung apartemen hingga tiba di lift. Esme tetap di gendongannya. Wajahnya sudah merona bak kepiting rebus. Hingga mereka tiba di lantai 17 dan menuju unit Esme, Darren tetap mrnggendongnya.
Tiba di depan pintu pun, Darren hanya memencet bel tanpa menurunkan Esme. Dan saat wajah Catherine muncul dari balik pintu, Esme merasa ingin hilang saja. Ditelan bumi mungkin menjadi pilihan yang lebih bagus.
"Ah? Kalian?" Hanya itu yang sanggup diucapkan Catherine saat melihat Esme dalam gendongan Darren.
"Kakiku terkilir. Tadi Darren mengantarku ke rumah sakit." Esme menjelaskannya dengan malu-malu, sedangkan pria yang menggendongnya terlihat biasa saja. Raut wajahnya tetap datar dan seakan tak peduli.
Catherine sendiri sudah tersenyum-senyum simpul pada Esme. Dia seakan merasakan debaran kencang jantung Esme yang semakin tak karuan.
Darren akhirnya menurunkan Esme dari gendongannya. Pria itu juga menyerahkan obat yang baru ditebusnya tadi.
"Terima kasih. Kau mau masuk dulu? Sekalian kuambil uang untuk mengganti uangmu tadi."
"Tidak usah ganti. Aku pulang dulu. Bye."
"Ah, iya. Bye, Darren. Dan terima kasih."
Pria tinggi dengan tubuh atletis itu melangkah keluar. Dan begitu pintu ditutup, tatapan Catherine sudah menantinya dengan sorot menunggu penjelasan.
"Kami bertemu saat mau jogging."
"Oh, begitu. Lantas?"
"Lantas kami jogging bersama."
"Lalu kau pura-pura keseleo? Euw, itu sungguh taktik kuno."
"Aku sungguhan keseleonya," pekik Esmeralda tertahan. Tapi gadis itu juga menahan tawanya.
"Aku tak percaya!" tandas Catherine menertawai Esme.
"Itu kalau kau yang terkilir. Sudah pasti rekayasa."
"Hahaha, begitu ya?"
"Iya, hahaha."
"Oh, baiklah. Tapi sayang sekali jika kau keseleo. Bagaimana dengan rencana kita hari ini?"
"Memangnya rencana apa kita hari ini?"
"Kemarin kan sudah kubilang, kita akan keluar bersama pemuda-pemuda tampan?"
Esme mengangguk, tapi kemudian bertanya lagi. "Lalu, apa hubungannya dengan kaki keseleoku?"
"Ya, ada lah! Bagaimana kau bisa jalan?"
"Bisa. Hanya lambat."
"What? Jadi, Darren menggendongmu hanya karena jalanmu lambat?"
"Yeah," jawab Esme lagi menyembunyikan rona di kedua pipinya.
"Ya, sudah. Kau beristirahat dulu. Sore nanti temanku datang menjemput."
"Teman? Bagaimana kau bisa mempunyai teman di sini?"
"Oh, Little Girl. Lewat ponsel, Baby."
***Sore datang dengan cepat dan Catherine telah siap dengan dandanannya yang wah, full make-up, dan pakaian yang minim menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya serta asetnya yang besar dan menggiurkan.
Catherine mengenakan tanktop putih dengan tali tipis dan kerah berbentuk V yang jatuh tepat di tengah-tengah dadanya. Belahan dadanya terlihat berlekuk tambun. Untuk bawahannya dia mengenakan hot pants yang hanya menutupi setengah bokongnya.
Esme sendiri mengenakan kaus kasual biasa, tanpa lengan, yang dipadankan dengan Jeans ketat yang jatuh di lututnya. Catherine melihatnya dan memutar matanya. "Kenapa kau tidak memakai yang seksi? Yang hot? Agar pemuda-pemuda di luar sana yang melihatmu terbakar geloranya, hahaha. Juga mumpung ayahmu tidak ada di dekat sini!"
"Hehe, tidak ah. Rasanya risih. Aku masih terbayang, bukan hanya Dad yang akan memarahiku jika pakaianku minim sepertimu. Tapi juga Enrique. Huh! Kakak yang menyebalkan! Hahaha."
"Urgh! Kau benar. Enrique sama membosankannya dengan ayahmu. Sudah jangan bicarakan dia lagi. Ayo! Teman-temanku sudah menunggu!"
Catherine meraih heels 10 cm-nya, sementara Esme mengenakan flat shoes karena kakinya yang masih sedikit sakit.
Mereka menuju pintu. Dan saat keluar, Darren juga sedang membuka pintu unitnya untuk pergi keluar.
"Kakimu sudah sembuh?" tanyanya spontan saat melihat Spencer bersaudara akan pergi keluar.
"Belum," jawab Esme. "Tapi sudah mendingan." Gadis itu merasa seperti anak yang tertangkap saat hendak menyelinap keluar.
"Ya, yang penting kau berhati-hati saat berjalan."
"Iya. Thanks atas perhatiannya."
"No problem," jawab Darren. Pria itu mengangguk singkat meski tanpa senyum dan melangkah cepat mendahului mereka berdua. Esme tak lepas memandang punggung pria itu hingga menghilang dari koridor.
"Bangun, Little Girl. Kuperkirakan umurnya sudah 30-an. Masa kau sama pria setua itu? Aku saja tak mau!" senggol Catherine pada bahu sepupunya itu.
Esme merona. Apakah rasa sukanya terlihat sejelas itu? Ataukah Catherine saja yang memang pintar menebak-nebak perasaan orang lain?
"Menurutku dia seumur denganmu."
"Tidak mungkin! Aku yakin sekali kalau dia sudah 30 tahun!"
Esme tertawa menanggapi Catherine yang sangat menggebu pada keyakinannya. Hingga sepupunya itu menunjuk di depan pintu masuk gedung apartemen mereka. "Tuh, teman-temanku sudah datang. Ayo!"
Esme berusaha keras tiba di sana karena Catherine berjalan dengan cepat menghampiri teman-temannya.
Ada 4 laki-laki serta 2 perempuan seumuran Catherine. Kedua perempuan itu wajahnya juga full make-up seperti Catherine. Sedangkan keempat lelaki itu terlihat ... berandalan?
Ada 4 pria dan 2 wanita yang diakui Catherine sebagai teman-temannya. Ke empat pria itu berpakaian kaos kasual dengan celana panjang jeans yang sobek di lutut, di paha, ataupun di betis. Dua di antara mereka memakai topi terbalik. Dua lagi yang tidak memakai topi memiliki rambut yang warnanya di cat hijau dan abu-abu, atau biru bercampur merah.Esme melirik tato di lengan pemuda-pemuda itu. Mereka memasang tato bergambang sama di lengan kanan mereka. Tato bergambar elang yang sedang berdiam di daratan.Selain tato, hal lain yang membuat Esme merasa tidak nyaman adalah motor gede yang mereka bawa. Dia akan ikut naik motor? Yang benar saja! Esme belum pernah naik motor! Perasaannya berkecamuk antara takut tapi juga antusias. Sepertinya naik motor akan terasa seru. Tapi, berada dekat pemuda-pemuda itu membuatnya terintimidasi. Mereka terlihat seperti pemberontak jalanan."Hai semua! Ini adikku, Leah. Dan Leah, ini Hale, Akoni, Ek
Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua."Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta
"Bagaimana?" tanya Hale begitu dia melihat Catherine, alias Alicia, mendekat."Sudah beres! Dia akan tidur."Catherine menatap yang lainnya. "Silakan kalian bisa anggap rumah sendiri. Asal jangan ganggu adikku saja. Dia tidur di kamar yang sana."Brandon dan yang lainnya mengangguk. Catherine kemudian meninggalkan mereka semua di sofa ruang tengah, untuk mengambil minum."Aku rasa kalian kusajikan soft drinks saja ya. Di club tadi sudah minum beralkohol." Catherine mengucapkannya sambil lalu menuju dapur. Dia tahu Hale mengikutinya, sehingga ucapannya itu ditujukannya pada Hale.Sesampainya di dapur, saat hendak meraih pintu kulkas, lengan kokoh Hale sudah melingkar di pinggangnya. Hangat napas pria itu sudah terasa di tengkuk Catherine."Uhm ... Baby?" tanya Catherine tidak jadi membuka kulkas. Desiran di tubuhnya lebih menguasai otaknya hingga dia lupa apa yang h
"Oh, Baby, wanna try this? This is amazing!" tanya Hale tanpa beban."Kau! Kau gila! Kenapa membawa barang seperti itu ke sini?" Amarah Catherine terasa mendidih di kepalanya. Tidak perlu dijelaskan. Sekali lihat saja siapapun akan tahu bahwa itu adalah bubuk obat terlarang.Tentu saja Catherine marah. Obat seperti ini ilegal di Hawaii dan hampir di seluruh negara. Pemakai dan pengedarnya bisa dihukum belasan tahun hingga seumur hidup di penjara.Habislah dia dan Esme jika sampai terlibat hal seperti itu di Hawaii. Sekalipun jika dia tidak memakai ataupun mengedarkan, tapi jika huniannya yang menjadi tempat untuk memakainya, dia tetap akan terseret.Catherine tidak menginginkan itu! Ayahnya sering berkata agar jangan pernah menyentuh dan mencicipi obat terlarang. Bahkan jika hanya satu kali dan dalam dosis kecil sekalipun. Efek candu dari obat itu akan menjeratmu!"Wohooo ... tenang dulu
"LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU, JAHANAM!!""Hahaha, kau takkan kulepaskan. Kau harus menerima pemberianku ini. Aku sudah susah payah membelinya untukmu. Sekarang terimalah!" Brandon mulai menarik rambut Esme untuk bisa mengendalikan gadis itu.Dililitnya rambut panjang Esme di tangannya hingga Esme tak bisa menggerakkan kepalanya. Setelahnya, Brandon mulai mendorong Esme menuju meja. Didorongnya kepala Esme agar mendekat ke meja, mendekat ke bubuk putih terlarang yang disebutnya bubuk bahagia itu.Esme berusaha menahan dorongan Brandon. Menahan wajahnya agar tidak semakin dekat pada bubuk putih itu. Tapi tenaga Brandon teramat sangat kuat hingga yang mampu Esme lakukan hanyalah menangis.Dalam hatinya dia memanggil-manggil ayahnya. Dia juga memanggil Enrique, kakaknya. Tapi suara itu hanya memantul dalam benaknya dan wajahnya hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari meja.Esme memegang tangan
"Hale? Kau mau ke mana?"Suara Catherine terdengar merengek dan dia menghambur ke arah Hale. Catherine memeluk Hale dengan erat karena firasatnya mengatakan Hale akan pergi meninggalkannya."Jangan pergiii...."Tangan Hale menghalau pelukan Catherine menyebabkan wanita itu semakin histeris. Tapi Hale tetap melangkah, membawa Brandon keluar dari apartemen mereka.Catherine berbalik pada Esme. Ditatapnya sepupunya itu dengan pandangan bertanya, sekaligus marah."Kenapa kau biarkan mereka pergi?" Catherine masih merasa tak senang. Sekalipun dia tidak tahu permasalahan sesungguhnya, dia merasa Esme-lah yang mengusir Hale."Sudahlah Cath, mereka berniat tidak baik pada kita.""Tidak baik bagaimana? Dia pacarku!""Iya, aku tau! Tapi pacarmu itu sudah menjebakmu agar mengkonsumsi narkoba!""Omong kosong!""Aku tidak
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me