"Hei mas bro!"
Aktivitas pada laptop terhenti. Ketika Fariz merangsek masuk tanpa izin. Ia memijit pelipis sejenak melihat ulah Fariz yang seenak jidat, membuatnya pusing.
"Hei, keluar!"
Sekretaris Raka—Anggrekani—masuk. Wajahnya memerah, menahan kemarahan.
"Pak Raka, dia masuk seenaknya tanpa membuat janji terlebih dahulu!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk Fariz.
"Hei, gue udah buat janji, nona galak!" kilah Fariz cepat.
Mata Anggrekani melotot tajam. ''Apa kau bilang—"
"Cukup!" potong Raka cepat. Tangan Raka terancung menghentikan konfrontasi mereka.
"Anggrekani kembali ke meja kamu. Sebelum itu buatkan tamu saya minuman. Segera!" lanjutnya memerintah.
"Baik, Pak!" ucapnya pasrah.
Sebelum keluar, Fariz memberikan kedipan mata pada Anggrekani dan dibalas pelototMalam semakin larut. Namun, kesibukan di ibukota seolah tak pernah surut. Cahaya dari lampu-lampu berpijar mengalahkan indahnya cahaya bintang. Dinginnya semilir angin menembus pori-pori kulit, memaksa Syila merapatkan jaket. Tiba-tiba Alfa memberhentikan motor di tepian jalan. Tentu saja Syila mengernyit. Bukankah kos-kosannya masih jauh."Ada masalah?" tanya Syila sesaat ia turun dari motor Alfa.Alfa melepas helm dan tersenyum. "Ada.""Motornya ada masalah?"Alfa menggeleng. "Bukan motornya. Tapi kamu."Syila semakin dibuat bingung oleh ucapan Alfa. Dia merasa baik-baik saja, tapi sebenarnya ia tidak dalam keadaan baik-baik saja secara batin."Duduk." Alfa menjulurkan tangan, Syila meraihnya dan ikut duduk di trotoar jalan."Kok, kita di sini sih, Fa?" tanya Syila masih dalam mode bingung."Ingat nggak
Jikalau bahagia menghampiri, bolehkah aku berangan-angan di dalam kehampaan. Berharap lebih jika kau masih menggenggam kepingan hatiku. ***Awan mendung tak bisa lagi menahan beban. Akhirnya menyerah dan mengguyur bumi dengan derasnya. Kantin bukan pilihan tepat bagi mahasiswa untuk sekadar menghangatkan diri, tetapi masih ada segelintir mahasiswa memilih memesan minuman hangat termasuk Syila.Sejak tadi ia memandang hujan penuh minat, seakan hujan adalah hidupnya dan angin yang berembus adalah nyawanya. Kala hujan turun aroma petrichor menguar menusuk hidung, hingga membuatnya terhipnotis. Sebentuk wajah tiba-tiba hadir, bolehlah kali ini ia mengingat wajah rupawan itu. Membingkainya dengan kerinduan yang menggebu.Teh hangat yang ia pesan mulai mendin
Kehadiran Raka di kampus yang mendadak sukses membuat Syila terusik. Konsentrasinya terpecah. Sulit membangunnya kembali, sementara pikiran terpusat pada pertemuannya dengan Raka. Hal itu mengakibatkan ia mendapatkan teguran dari dosen dan terpaksa ia disuruh maju ke depan untuk mengulang materi yang disampaikan.Bagaimana ia bisa menjelaskan, bahkan tak ada satu pun hal yang ia tangkap dari apa yang disampaikan dosen. Karena hal itu dosen menyuruh Syila untuk keluar dari kelasnya.Dengan langkah berat, ia berjalan menyusuri sepanjang koridor. Ia melirik jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sebaiknya ia pulang. Toh, tidak ada kelas berikutnya. Lagian juga ia merasa tidak enak badan.Jadi, sisa waktu sebelum sore bisa ia pergunakan untuk istirahat. Karena sorenya ia harus bekerja di Restoran Gorgeous dan membutuhkan tenaga lebih ekstra.“Syila!”
Julian mendesah lega. Setelah sekian lama ia meyakinkan pria bodoh itu, akhirnya ia sadar juga. Pesan terakhir yang ia terima dari pria bodoh itu membuat Julian menggelengkan kepala.Kasih gue pelayanan eksklusif. Begitulah isi pesan dari pria bodoh itu. Walaupun setelah sekian lama mereka bersahabat, Julian tetap masih sulit untuk mengerti jalan pikirannya. Pasti tidak lepas dengan kejutan-kejutan yang sulit ditebak.Sepertinya ia harus bersiap ke dapur dan mempersiapkan keinginan pria bodoh itu, jika tidak ingin rahasianya yang ia kubur sewaktu di New York terkuak. Lalu memikirkan cara yang tepat sebagai balasan yang setimpal bagi pria bodoh itu segera.Sebelum ke dapur, Julian melihat Syila sedang melayani seorang tamu. Ia memanggilnya sesaat setelah Syila selesai melayani dan kini berjalan menuju arah dapur.“Ya, Chef?”
Masih menggunakan pakaian koki, Julian masuk ke ruang kerjanya. Tak masalah baginya menyerahkan urusan dapur pada asisten, ia sudah sepenuhnya mempercayai kinerja mereka yang tak perlu diragukan lagi. Yang terpenting sekarang ialah bertemu dengan pria bodoh itu segera dan tak sabar mendengar apa yang akan disampaikan Raka padanya.“Gimana makan malamnya?” tanya Julian sambil mendaratkan tubuh ke sofa, tepat menghadap Raka.“Lumayan,” Raka menegakkan tubuh, sambil melemparkan senyum persahabatan.“Jadi—?” kata Julian menggantung. Mencari kepastian di kedua mata Raka.“Sorry untuk semua penyangkalan dan ketidakpercayaan gue sama lo. Gue terlalu buta untuk melihat kebenaran dan menghakimi Syila tanpa bukti. Pasti ulahku sangat menyakitinya. Membiarkan dia menanggung beban yang bukan kesalahannya adalah kebodohan gue yang tak termaafka
Nyatanya kenyataan menghantam sisi kesadaran. Bangunlah dari mimpi indah, sebelum semakin sulit melepaskan diri dari belenggu luka. ***Beberapa hari ini Syila merenung akan nasibnya yang jelas-jelas bukan ilusi semata. Banyak hal yang ia pikirkan di kamar kosnya yang tak seberapa luas. Menerawang sambil menatap langit-langit kamar. Kini senyumnya tak lagi palsu seperti yang selama ini ia tunjukan ketika bertemu orang. Melainkan senyum ketulusan dari hati terdalam.Sikap Raka yang berubah kala itu sedikit melambungkan harapan. Namun, kenyataan menohok batin. Mengembalikan kesadaran akan harapan semu. Syila tertawa miris, percuma berharap. Jika kenyataannya status dan kesenjangan ataupun masa lalu, merupakan jurang yang memisahkan antar keduanya."Syil?" Resti melon
Raka melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangan. Sesekali kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tak sabar. Matanya menatap lurus ke arah pintu terminal kedatangan di bandara. Ia yakin jika jadwal kedatangannya adalah sekarang, akan tetapi satu jam telah berlalu, namun sepasang suami-istri-tepatnya orang tuanya-tak kunjung menampakkan diri. Alih-alih ia merasa kesal harus dibuat menunggu."Sebentar lagi," ujar Felisya sambil mengelus lengan Raka.Hanya gumaman tak jelas keluar dari mulut Raka. Selang beberapa detik, orang yang sedari tadi mereka tunggu, akhirnya muncul juga. Mata Raka tertumbuk pada kebahagiaan yang terpancar dari wajah kedua orang tuanya. Ia mendengkus kesal. Dugaannya selama ini tidak pernah meleset. Mereka pasti akan menceritakan hal paling romantis selama berada di tempat liburan setelah ini dan sengaja membuat Raka iri dengan keharmonisan yang mereka ciptakan."Lama sekali," kelu
Sejak dari tadi, Syila tak henti memperhatikan pergerakan Alfa yang tak lepas dari ponsel. Sibuk mengangkat telepon dan tampak kegusaran menghantui wajah Alfa.Sejak satu jam yang lalu, Syila telah berganti pakaian dengan kemeja dan jeans, bahkan sudah mengenakan sepatu flat, tinggal menunggu keduanya berangkat. Akan tetapi, Alfa meminta waktu sejenak untuk mengangkat telepon, namun sampai sekarang tak kunjung selesai. Satu telepon masuk selesai, datang telepon dari yang lain, sehingga Syila merasa sangat bosan."Fa, kalau kamu sibuk kita tunda saja jalan-jalannya," ujar Syila mulai bosan dengan sikap Alfa yang mengabaikan eksistensinya sejak tadi.Alfa menoleh. "Maaf." Ia mengusap wajah dan menatap Syila sendu."Ada apa?" Syila sangat khawatir dengan perubahan wajah Alfa yang tiba-tiba."Mama masuk rumah sakit. Baru saja Kak Aurel telepon," kata Al
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan
Karin berulang kali mendesah. Kakinya begitu lihai membawanya ke depan pintu sebuah kamar hotel. Padahal hatinya terus mengelak. Kalau bukan karena merasa kasihan pada Syila dan ingin membantunya, demi apa pun di dunia ini ia tidak akan sudi merendahkan diri muncul di depan pria brengsek itu.Karin bergelut dengan pikirannya. Dan pada akhirnya ia menyerah dan berinisiatif mengorek informasi kepada resepsionis hotel. Sempat terjadi perang urat saraf dengan wanita pirang bermulut nyinyir—julukan Karin pada resepsionis tersebut—ia akhirnya mengetahui Julian Alexander Widjaya ternyata menginap di hotel yang sama dengannya.Lagi-lagi Karin mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Ia merasa sangat bodoh, berdiri di depan pintu hanya untuk menenangkan dentuman jantungnya yang berisik. Sebenarnya ia belum siap untuk berhadapan dengan Julian. Mengingat betapa ia terburu-buru me-judge Julian sebelum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lantas mencaci makinya tanpa ampun. Ia benar-benar tidak puny
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me