"Ini, Pak Sulaiman, silahkan diambil."
Sekali lagi, Sulaiman menatap Kun dengan tatapan penuh terima kasih sekaligus bingung hendak berkata apa.
"Ta-tapi saya tidak bisa berjanji kapan bisa mengembalikannya, Pak Kun," ucap Sulaiman terbata.
Kun tertawa kecil demi mendapatkan lelaki didepannya berkata ragu.
"Pak Sulaiman tidak perlu mengembalikannya."
Terkesiap Sulaiman mendapati Kun berbicara demikian. Matanya membelalak tidak percaya.
"Maksud ... Pak Kun?" tanya Sulaiman dengan dahi mengkerut.
"Bapak tidak perlu mengembalikan uang itu. Itu saya berikan percuma kepada Raisa sebagai mahar."
Senyum Sulaiman yang sejak tadi merekah, kini menguncup sempurna. Pikirannya berkecamuk, ternyata pria di depannya tidak sepenuhnya ikhlas membantunya yang sedang terjepit kasus piutang. Ada maksud lain di balik sikapnya yang begitu baik untuk membantu Sulaiman.
"Maaf, Pak. Saya tidak begitu paham dengan maksud Pak Kun. Mahar?"
"Saya ingin menikahi putri Bapak."
"Tapi, Pak ...."
"Bapak tenang saja, saya serius ingin menikahi anak Bapak. Saya memang sudah lama ingin menikah, tapi belum menemukan calon yang cocok. Entah kenapa setelah melihat Raisa saya langsung jatuh cinta, dan ... saya rasa Raisa adalah wanita yang salihah."
Rasa tidak percaya masih menggelayuti pikiran Sulaiman. Melihat wajah pria di depannya, rasa ragu yang sebelumnya menyembul kini perlahan memudar.
Kapan lagi bisa mempunyai menantu Kepala Desa? Apalagi Kun adalah anak dari keluarga orang terkaya di desa. Pendidikannya juga tinggi, menurut berita yang beredar pria itu menyelesaikan pendikikan pasca sarjananya di salah satu universitas di London.
Senyumnya perlahan kembali mengembang. Melihat gurat wajah Sulaiman yang berubah cerah, segera Kun menyambarnya dengan kalimat-kalimat meyakinkan.
"Uang itu saya berikan percuma kepada Bapak. Untuk mahar, saya akan serahkan setelah selesai akad nikah. Insya Allah dua kali lipat dari itu. Bukankah kata Nabi mahar semakin banyak maka semakin baik?"
Sulaiman terkejut bukan main. Kalimat Kun membuat Sulaiman semakin tergiur. Wajah legamnya berbingkai senyum. Tidak salah lagi, pria itu benar-benar memiliki paket komplit yang lebih dari layak untuk dijadikan menantu. Sulaiman menerawang jauh, jemarinya mengetuk-ketuk pahanya yang terbalut celana kain belel. Berpikir porspektif.
"Bagaimana, Pak?"
"Baik ... baik, Pak. Saya setuju." Senyum Sulaiman mengembang, matanya berbinar.
Akhirnya. Kun melempar senyum pada lelaki paruh baya di depannya yang akan segera menjadi mertuanya.
"Saya ingin secepatnya pernikahan ini dilaksanakan, Pak."
"Tentu, Pak, tentu."
Setelah berbincang beberapa kalimat, Kun akhirnya minta diri. Pria itu beranjak dari duduknya yang kemudian menyalami Sulaiman. Mengucapkan salam dan melangkah keluar.
Di halaman rumah, pria itu secara kebetulan berpapasan dengan Raisa yang baru saja pulang dari warung. Kun tersenyum saat keduanya bersitatap. Raisa mencoba membalas tersenyum meskipun terlihat tanggung, kemudian menunduk dan masuk ke dalam rumah dengan langkah lebih cepat.
***
"Raisa, itu apa?" tanya Sulaiman setelah melihat amplop cokelat berserakan di atas meja. Sedang Raisa tengah menulis sesuatu di atas kertas folio.
"Buat lamar kerja, Pak. Kebetulan ada temen nawarin lowongan kerja." Raisa menoleh selintas lalu pada bapaknya yang berdiri di ambang pintu kamar, kemudian kembali melanjutkan tulisan yang belum selesai.
"Lamar kerja?"
"Iya, Pak. Raisa mau ngumpulin biaya untuk kuliah. Bapak pengen Raisa kuliah, kan?" Raisa kembali menolehkan wajahnya pada Sulaiman dengan senyum menyungging.
Sulaiman menegakkan badan yang sebelumnya bersandar pada kosen pintu, menghela napas. Perubahan itu begitu cepat. Kini ada sesuatu yang memberatkan hatinya untuk menyutujui Raisa untuk kuliah.
"Bapak mau bicara sebentar."
"Mau bicara apa?" Raisa menghentikan gerakan tangannya. Meletakkan pulpen di atas kertas folio. Memandang Sulaiman yang melangkah mendekat lalu duduk di bibir dipan.
"Kamu tidak perlu kerja atau kuliah," ucap Sulaiman pelan, menatap anak sulungnya dengan wajah serius.
Raisa mengernyit mendengar ucapan bapaknya tersebut. Benaknya meraba-raba apa yang terjadi sehingga membuat Sulaiman berkata demikian. Bukankah dia yang berkeinginan Raisa untuk melanjutkan sekolah? Apakah gara-gara utang yang belum mampu dia bayar? Namun, kenapa pula dia tidak memperbolehkan Raisa untuk bekerja?
"Maksud Bapak?"
"Pak Kun melamar kamu."
Jantung Raisa berdentam dengan ritme lebih cepat, tidak beraturan, ketika mendengar kalimat pendek bapaknya. Matanya membulat. Menolak percaya.
"A-apa?" Mata Raisa mengerjap, mulutnya bertanya tergagap.
"Bapak sudah menerimanya, Raisa."
Kalimat berikutnya membuat jantung Raisa seolah berhenti berdetak. Kepalanya tergeleng dengan bola mata yang perlahan mulai berkaca-kaca. Sungguh di luar dugaan, laki-laki yang paling di hormatinya telah melakukan tindakan yang sulit di percaya. Menerima lamaran pria yang sama sekali tidak dikenalnya dengan sepihak.
"Pak ... kenapa? Raisa belum mau menikah, Pak." Air mata itu merebak tanpa dapat dibendung. Suaranya serak menahan isak.
Sulaiman terdiam. Rasa tidak tega menyeruak. Rasa bersalah kini mengkungkung rongga dadanya. Harusnya dia meminta pendapat terlebih dahulu pada Raisa sebelum menerima pinangan Kun meski ia tahu Raisa adalah anak yang tidak pernah menolak perintah bapaknya.
Namun, keyakinan kuat bahwa pria yang akan menjadi suami Raisa adalah laki-laki yang akan membuatnya bahagia dengan segala yang dimiliki, membuatnya mensugesti hatinya agar menepis jauh-jauh rasa bersalah. Ia harus menjelaskan kepada Raisa tentang kelebihan-kelebihan Kun, tentu saja memendam dalam-dalam pasal uang seratus juta yang baru saja diterimanya.
"Dengarkan Bapak, Nak. Pak Kun itu pria baik-baik, pendidikannya tinggi, bibit botonya sangat jelas. Banyak sekali orang yang mengidamkan pria sepertinya untuk dijadikan mantu."
Raisa masih terisak, wajahnya kini menunduk menekuri lantai papan di bawahnya. Betapa pun hatinya memberontak dengan keputusan bapaknya, ia tidak akan bisa untuk mengeluarkannya meskipun hanya dengan kata-kata. Doktrin yang didapatnya sejak kecil untuk tidak melawan orang tua membuatnya selalu menurut apa yang orang tuanya inginkan selama masih dalam batas wajar dan tidak mangkir dari garis agama.
"Lagi pula, bapak tidak memiliki biaya untuk kamu kuliah. Bapak berpikir lebih baik kamu menikah saja. Salah satu dari lima perkara yang harus disegerakan adalah menikahkan anak gadis. Iya to?"
Raisa mendongak dengan sisa-sisa tangis masih merayapi wajahnya. Ia menatap bapaknya lamat-lamat. Kulit wajah Sulaiman yang mulai menampakkan garis-garis kentara tanda usia sudah senja membuat Raisa selalu merasa kasihan. Raisa memejamkan mata yang seketika membuat bulir bening melesat merayap di antara pipinya.
Kamar 3x3 meter itu lengang.
"Maafkan bapak, Raisa."
Sulaiman menunduk. Memejamkan mata sebelum akhirnya mendongak untuk melontarkan kalimat dengan ragu.
"Bapak ... bapak bisa batalkan kalau kamu gak mau nikah sama Pak Kun."
Raisa mendongak untuk melihat wajah Sulaiman ketika mendapati kalimat itu. Mata laki-laki paruh baya itu terlihat kuyu, bibirnya menyungging tipis membentut kerutan di atasnya. Raisa tahu, kalimat itu terlontar karena besarnya kasih sayang. Sulaiman lebih memilih mengalah untuk anak-anaknya.
Rasa iba dan cinta pada Sulaiman mengalahkan segalanya. Betapa bapaknya harus menanggung malu jika membatalkan pernikahan yang telah disetujuinya? Belum lagi Raisa tersadar bahwa bapaknya sedang terhimpit hutang 100 juta yang harus segera lunas dalam tempo satu minggu. Sulit sekali, bahkan mustahil bagi mereka mendapat uang sebanyak itu dalam waktu seminggu.
Tiba-tiba gawai Raisa bergetar. Sebuah pesan masuk, membuyarkan lamunannya. Deretan angka tanpa nama yang mengirim pesan.
[Raisa, kenapa kamu ganti nomor? Berkali-kali aku coba hubungi tapi tidak bisa. Ini aku Pras]
Membaca sebuah nama di ujung kalimat, membuat rasa sakit menghimpit dadanya. Air mata kembali luruh saat pikirannya kembali mengulang potongan-potongan kisah menyakitkan yang disuguhkan oleh lelaki bernama Prasetya Nugraha.
Entah sadar atau tidak, bibirnya berucap, "Raisa mau, Pak."
BERSAMBUNG
Raisa tidak membalas setiap pesan yang masuk ke dalam gawainya, membacanya pun tidak. Pun panggilan-panggilan dari lelaki itu dibiarkannya berakhir begitu saja. Seminggu terakhir, Raisa telah menyiapkan segenap jiwa raganya untuk menghadapi hari pernikahannya dengan Kun yang terbilang cukup tergesa.Berlalu tujuh hari, pernikahan itu akan dilaksanakan beberapa menit lagi, dirumahnya, dengan cara yang sangat sederhana. Hanya akan dihadiri oleh penghulu, dua saksi, dan beberapa keluarga dekat serta tetua kampung.Untuk kesekian kalinya, gawainya bergetar. Hatinya kian dongkol, untuk apa lelaki yang bersamanya dua tahun terakhir itu kembali meneleponnya? Untuk apa laki-laki yang telah menorehkan luka di hatinya itu kembali memasuki kehidupannya? Untuk apa ....Raisa menarik napas dalam-dalam. Mungkin jika ia mengatakan bahwa akan menikah hari ini lelaki itu berhenti mengganggunya. Melupakan semua omong kosong yang sempat membuat Raisa menaruh harap padanya. G
Kun menurunkan Raisa di depan pintu kamar. Perempuan itu kembali dibuat takjub saat melihat ke dalam kamar yang luasnya hampir menyerupai luas rumahnya di desa. Setelah tubuh keduanya berada di dalam, Kun bergegas menarik Raisa menuju ranjang empuk dan mendorongnya dengan kasar. Kun tidak dapat lagi menguasai nafsunya yang memburu.“Mas, aku capek. Nanti saja, ya.”Terlihat Kun tidak peduli dengan ucapan Raisa. Dadanya yang sudah terbuka, terlihat turun naik menahan gejolak birahi yang memberontak. Maka, pasrah adalah pilihan satu-satunya yang bisa Raisa lakukan. Toh, dirinya sudah menjadi milik Kun seutuhnya, baiknya dia juga menikmati surga dunia yang banyak dibicarakan orang-orang.Ketika ritual foreplay baru saja dimulai, Kun dibuat kesal oleh suara dering ponsel yang melengking dari dalam tas kecil Raisa.Kun mendengkus kesal, “Sial!”Pria yang sudah bertelanjang dada itu bangkit dan bergegas merogoh ponsel yang terus m
Sepanjang jalan taxi online yang ditumpangi Pras lengang, hanya terdengar deru halus dari mesin mobil. Sesekali driver melirik kaca spion kecil di atas kepalanya, mencari tahu apa sebab laki-laki di bangku belakang terlihat sedih.Pras menatap keluar, menyapu kampung halaman yang tidak banyak berubah sejak setahun lalu. Hanya perubahan-perubahan kecil seperti tanah-tanah kosong yang sudah mulai ditanami bangunan-bangunan dengan folding gate. Sepertinya orang-orang desa sudah mulai berpikir maju dengan mendirikan ruko-ruko kecil sebagai tempat usaha, pikirnya.“Pak ... Pak, berhenti sebentar.” Pras meminta driver untuk menghentikan mobil ketika berada di depan rumah Sulaiman. Dia memasang mata dengan seksama, memperhatikan setiap jengkal halaman dan rumah tua itu. Pras memicingkan mata, benaknya mulai menduga-duga bahwa Raisa telah berbohong jika telah menikah, sebab Pras tidak melihat tanda-tanda diadakannya pesta pernikahan.“Ini
Kun yang ingin melangkah ke dalam terpaksa urung setelah melihat Raisa tengah berdiri di samping tembok pembatas teras. Entah sejak kapan Raisa berada disitu? Keterkejutan jelas berjejak di mata Kun yang membulat. “Raisa!” Kun terlonjak. Mendapati ekspresi Kun, Raisa mengernyit bingung. “Kenapa, Mas? Kok, seperti lihat hantu gitu?” Kun mengembuskan napas pelan saat tidak melihat gurat curiga dari wajah sang istri. Ia menyunggingkan senyum, keterkejutannya seketika menghilang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Em, tidak.” Kun mengangkat bahu. Lalu pandangan Raisa beralih pada sosok wanita yang berada di belakang Kun. Kepalanya dijubeli tanda tanya saat wanita itu terlihat habis menangis. Kun memutar kepalanya kebelakang. “Sayang, perkenalkan dia Delila.” Kun menunjuk Delila yang mematung dengan wajah datar. Raisa melangkah mendekat sambil tersenyum, meskipun rasa heran masih menggantung di wajahnya, bertanya-tanya kenap
“Pakai ini!”Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.“Apa ini, Mas?”“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih l
Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel.Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.“Mas ke mana?”“Aku?”“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.“Bukannya aku ada
Raisa mengirimi Kun pesan WhatsApp.[Mas, pulang kan hari ini?]Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?[Tidak tahu]Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi