“Pakai ini!”
Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.
“Apa ini, Mas?”
“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.
“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”
“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.
“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi!” suruh Kun, melonggarkan jarak wajahnya dari wajah sang istri.
Raisa menatap jam dinding di pojok kamar. Tanggung, waktu azan Isya sudah kurang sepuluh menit lagi. Tidak bisakah Kun bersabar barang sebentar saja?
“Apa tidak sebaiknya ... setelah Isya saja, Mas? Sebentar lagi azan. Tanggung.”
“Ck! Apa kamu mau salatku nanti tidak khusyuk?”
Baiklah, sepertinya suaminya itu benar-benar sudah tidak bisa menahan keinginannya. Raisa menurut. Bagaimanapun menuruti perintah suami adalah wajib selama perintah itu bukan suatu maksiat, sedangkan salat di awal waktu sunah. Wajib harus diprioritaskan.
Dengan canggung Raisa memakai pakaian itu. Rasa malu dan tidak pede jelas sekali terpampang dari wajah Raisa, dan itu membuat Kun semakin gemas terhadapnya. Kun ingin mengulang kembali menuangkan madu dalam cawan kosong Raisa yang tadi siang sempat gagal. Bukan, bukan gagal. Hanya saja tidak sempurna. Jauh dari sempurna.
***
Dengan perasaan kesal Kun melangkah keluar kamar. Terlalu berharap memang akan mengakibatkan rasa kecewa. Alih-alih mendapatkan kepuasan, kejadian tadi siang kembali terulang. Ada yang aneh dengan diri istrinya. Raisa sama sekali tidak menikmati proses malam pertama itu. Apakah masih terasa sakit? Bukankah itu adalah kedua kalinya mereka lakukan?
Kun menghisap dalam-dalam benda di ditangannya, kemudian mengembuskannya kasar. Menimbulkan kepulan asap putih menggantung di udara.
“Aaah!”
Kun membanting rokok yang baru saja dihisapnya, lalu menginjaknya dengan kasar. Pria itu bangkit dan beranjak dari dari balkon. Melangkah cepat menuruni tangga. Birahi yang tidak sempurna tersalurkan membuat emosinya mendidih.
Setelah berada di lantai dasar dan melewati satu petak ruangan, Kun menatap lekat sebentar sebuah pintu kamar yang sedang tertutup. Itu adalah kamar Delila. Kun menoleh ke belakang, memastikan Raisa tidak melihat ke mana dia saat ini. Setelah dirasa cukup aman, Kun melangkah menuju kamar Delila.
Sudah beberapa kali pintu diketuk, tapi Delila tak kunjung membukanya. Kemana dia? Apakah sudah tidur di jam segini? Kun kembali mengetuk sambil memanggil pelan nama Delila. Sesekali mengedarkan pandangan ke atas lantai dua, khawatir jika Raisa melihatnya.
Kun bernapas lega setelah pintu itu akhirnya terbuka. Delila tampak terkejut setelah melihat pria itu berdiri tanpa memakai baju, hanya mengenakan celena training.
“Mas ...,” serunya tertahan.
“Sssttt!” Kun menempelkan telunjuknya dibibirnya. Mengisyaratkan agar Delila tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian Kun masuk ke dalam kamar itu dan melancarkan aksinya yang sudah sebulan lamanya dirindukan Delila.
***
Malam semakin menua. Raisa sudah sangat mengantuk ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Mas Kun di mana, sih?” gumamnya. Setelah mengeringkan rambut, Raisa memutuskan untuk mencari Kun. Ada rasa khawatir menyeruak ke dalam rongga dadanya. Meskipun Raisa tidak melihat wajah Kun yang kecewa karena tidak menuai kepuasan dalam malam pertamanya, tapi Raisa merasakan Kun berbeda saat meninggalkannya.
Pertama kali keluar kamar, Raisa bingung hendak mencari Kun ke mana di dalam rumah luas ini. Raisa melangkah menuju balkon, tidak ada. Setelah mengedarkan pandangan ke setiap koridor lantai dua, ada perasaan takut menyeruak karena rumah itu begitu sepi. Raisa akhirnya memutuskan untuk menuruni tangga guna mencari Kun di dapur. Raisa melangkah sambil menyerukan nama suaminya.
“Mas?” Suara pelan Raisa menggema memenuhi ruangan.
“Ehem ....” Terdengar deheman berat dari arah belakang Raisa yang sontak membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Laki-laki di atas kursi roda tersenyum ketika Raisa berbalik. Raisa balas tersenyum dan melangkah menghampiri sang mertua.
“Eh, Papa belum tidur?” tanya Raisa lembut.
Sanjaya hanya tersenyum.
“Kamu mencari siapa?” Sanjaya menatap Raisa lamat-lamat.
“Mas Kun, Pa. Apa dia di dalam?” Mendengar ucapan Raisa, sanjaya terlihat mengernyit.
“Bukannya malam ini malam kalian?” goda Sanjaya, membuat wajah Raisa bersemu merah. Kemudian laki-laki itu tertawa kecil saat melihat Raisa menunduk malu-malu.
“Mas Kun keluar sejak sejam yang lalu, Pa. Saya kira dia bersama Papa,” ucap Raisa. “Papa perlu sesuatu?”
“Eh, sebenarnya Papa ingin memanggil Delila, mungkin dia lupa kalau Papa sudah memesan teh hangat tawar padanya.”
“Biar saya saja yang buatkan, Pa,” ucap Raisa.
“Em, asal kamu tidak sedang terburu-buru, Nak.”
“Maksud, Papa?” Raisa mengernyit, tidak paham.
Melihat Sanjaya tersenyum, kemudian Raisa paham dengan apa yang dimaksud oleh mertuanya itu. Untuk kedua kalinya, kedua pipi Raisa menimbulkan semburat warna merah karena malu. Namun, Raisa senang karena dia memiliki mertua yang cukup humoris.
Detik berikutnya Raisa minta diri untuk segera ke dapur. Sanjaya menatap punggung wanita itu lamat-lamat. Tersenyum saat kembali mengingat wajah widia, orang yang masih sangat dia cintai hingga saat ini. Seperti pinang di belah dua, wajah wanita itu benar-benar mirip dengan ibunya.
Raisa melangkah pelan sambil menyapukan pandangan ke setiap penjuru ruangan. Ia memasuki sebuah ruangan yang terdapat TV besar di dalamnya. Itu ruang keluarga. Di samping pintu penghubung dapur dan ruangan itu terdapat satu pintu kamar.
Sunyi menggantung di langit-langit ruangan, membuat derap langkah kaki Raisa terdengar jelas. Satu langkah dari pintu penghubung, sayup-sayup Raisa mendengar satu erangan dari dalam kamar yang berpintu putih di sampingnya. Raisa berhenti melangkah, mematung, dadanya berdentam-dentam tidak keruan.
Pikirannya tiba-tiba teringat akan Kun, sang suami. Namun, segera Raisa menepis pikiran negatif itu. Rasa penasaran membuatnya mendekatkan telinganya pada pintu kamar tersebut untuk memastikan dia tidak salah dengar. Akan tetapi, dia tidak mendengarkan apa-apa kecuali suara degup jantungnya yang seolah terdengar oleh gendang telinganya.
Cukup lama Raisa berada di dalam dapur, karena tidak menemukan air panas. Raisa melangkah dengan membawa teh tawar panas pesanan sang mertua. Ketika melewati pintu penghubung, Raisa dibuat terkejut saat seorang perempuan hampir saja menabraknya setelah keluar dari kamar itu dengan tergopoh.
“Ka-kamu ...? Delila gelagapan sambil memasang kancing yang tidak seluruhnya terpasang. Sedang Raisa meringis menahan perih karena terpercik air panas dari dalam gelas. Masih beruntung gelas yang dipegannya tidak terjatuh.
Raisa melirik ke dalam kamar, tapi segera Delila merapatkan pintu kamar tersebut. Ada yang aneh saat Raisa menangkap wajah Delila yang terlihat pucat.
“Ini untuk Pak Sanjaya?” tanya Delila.
Raisa mengangguk samar, benaknya masih penasaran dengan kejanggalan yang baru saja terjadi di hadapannya.
Raisa meneguk ludah. Benaknya kembali mengingat suara erangan yang tadi di dengarnya, lalu menghubungkan dengan tingkah Delila yang terlihat gugup. Apalagi saat perempuan itu gelagapan membenarkan letak baju yang kancing bagian atasnya tidak terpasang.
Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel.Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.“Mas ke mana?”“Aku?”“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.“Bukannya aku ada
Raisa mengirimi Kun pesan WhatsApp.[Mas, pulang kan hari ini?]Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?[Tidak tahu]Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.Keduanya kemba
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.“Dengarkan penjelasanku ....”“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca.Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.“Semua
Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa.Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”
Malam berlalu. Azan shubuh berkumandang. Berseru agar orang-orang yang masih terlelap lekas bangun untuk menunaikan kewajiban. Mengajak untuk bergegas menyambut kemenangan.“Mas ....” Raisa yang sudah siap dengan pakaian salatnya menggoyang pelan tubuh Kun. Namun, beberapa kali Raisa mencoba membangunkan suaminya, pria itu hanya bergumam tidak jelas sembari merapatkan selimut. Setiap hari Raisa harus membangunkan Kun untuk shalat subuh, tak jarang Kun malah mengumpatnya karena kesal.Raisa menghela napas pelan. Ia turun dari ranjang, melangkah menuju sajadah yang sudah terhampar. Melakukan salat sunah Fajar. Setelah itu barulah ia akan mencoba membangunkan Kun lagi.Beberapa menit berlalu. Salat sunnah Fajar telah selesai Raisa kerjakan. Perempuan itu kembali untuk membangunkan Kun yang masih bergelung di bawah selimut hangatnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk membangunkan Kun, takut jika dia membentaknya lagi seperti tempo hari. N
Betapa kagumnya Sanjaya pada Raisa yang setiap pagi selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Pasti itu turunan dari Widia. Namun, akhir-akhir ini Sanjaya merasakan ada yang aneh pada perempuan yang telah menjadi menantunya itu. Meskipun Raisa memang jarang berbicara dengannya, tapi jelas sekali dari matanya tergambar kesedihan. Ada apa? Apa sedang terjadi sesuatu dengannya dan Kun? “Raisa ....” Raisa sedikit terkejut mendengar suara Sanjaya yang tidak diketahui sejak kapan berada di belakangnya. Sontak dia menoleh menuju sumber suara, menghentikan pekerjaan mencuci piringnya. “Iya, Pa?” tanya Raisa pada laki-laki yang berdiri dengan bantuan kurk. “Em, Kun ke mana?” Sebenarnya Sanjaya sudah tahu Kun sedang mengantar Delila pulang. Delila mendapatkan alasan pas untuk berhenti menjadi caregiver-nya, karena sedang masa pemulihan serta memerlukan istirahat cukup. Apalagi, katanya rumah tangga perempuan itu sedang mengalami masalah. “Mengan
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi