Raisa mengirimi Kun pesan W******p.
[Mas, pulang kan hari ini?]
Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.
Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.
Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?
[Tidak tahu]
Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang tidak bisa melayani suami dengan baik.
Raisa mengetik pesan balasan untuk Kun, beberapa kali pesan dihapus, diketik ulang, dihapus, diketik ulang. Begitu seterusnya. Hingga pada akhirnya Raisa mengirim balasan.
[Jangan sampai telat makan, Mas]
Beberapa menit Raisa menunggu balasan dari Kun, tapi tak kunjung tiba. Raisa menarik napas dalam-dalam. Apa yang harus dia lakukan? Apa perlu dia konsultasi ke dokter? Ya, benar. Apa salahnya dia konsultasi ke dokter tentang kondisinya.
Sejurus kemudian, terdengar pintu diketuk. Raisa segera menyongsong seseorang yang berseru dari depan pintu mengajaknya sarapan.
“Non, sarapan sudah siap.” Bi Imas tersenyum ramah saat pintu pulai terbuka.
“Iya, Bi. Sebentar lagi saya turun,” sahut Raisa, membalas tersenyum pada Bi Imas. Setelah mengambil kerudung instan dan memasangnya Raisa keluar kamar untuk sarapan. Jangan sampai Sanjaya sampai menunggunya, dia tidak akan nyaman pada pria yang terlampau baik padanya itu.
Biasanya, Raisa pagi-pagi sudah akan berada di dapur membantu Bi Imas memasak. Namun, entah kenapa hari ini dia malas sekali untuk bergerak. Pertama kali melihat itu Bi Imas merasa rikuh atas sikap Raisa, bagaimana pun Raisa adalah majikannya, tidak pantas mengerjakan pekerjaan yang harusnya dikerjakan olehnya. Namun, karena Raisa memaksa, akhirnya Bi Imas mulai terbiasa.
“Kun belum pulang?” tanya Sanjaya ketika Raisa baru saja duduk.
“Belum, Pa,” jawab Raisa dengan tersenyum.
Sanjaya mendesah geram karena Kun masih belum pulang juga. Bagaimana bisa Kun bersikap seperti itu. Ingin rasanya Sanjaya mengumpati Kun yang ternyata tidak mengindahkan peringatannya agar jangan pernah menyakiti Raisa.
“Mbak, ayo sarapan bareng,” ajak Raisa setelah melihat Delila baru saja dari arah kamar.
Perempuan itu menatap datar Raisa. Ingin rasanya Raisa bertanya kenapa Delila bersikap begitu dingin kepadanya, tapi belum menemukan waktu yang pas.
Sanjaya menatap Delila sebentar, dibalas dengan senyum oleh Delila.
“Iya, Del. Sebaiknya kamu sarapan bersama.” Sanjaya menimpali.
“Baik, Pak,” jawab Delila takzim. Kemudian melangkah menuju meja makan.
“Rumah ini sangat sepi,” celetuk Sanjaya di tengah-tengah sarapan pagi mereka. Raisa dan Delila mendongak. Keduanya menatap bingung kenapa tiba-tiba Sanjaya berkata demikian. Raisa membenarkan ucapan Sanjaya. Apalagi, saat Kun sedang tidak berada di rumah membuatnya semakin merasa kesepian.
“Papa harap segera memiliki cucu,” sambung Sanjaya. Menatap kearah Raisa sambil tersenyum. Matanya menjelaskan betapa rindunya lelaki itu pada sosok bayi mungil yang akan menemaninya setiap hari.
Raisa mencoba menyunggingkan senyum, tipis. Bagaimana mungkin Raisa bisa memberikan cucu pada Sanjaya sedangkan hubungan biologisnya dengan Kun tidak pernah sempurna. Bahkan tidak pernah sampai pelepasan, baik dirinya maupun Kun.
Kecuali Kun memiliki istri lain, mungkin bisa harapan Sanjaya terkabul. Ah, buru-buru Raisa menepis pikiran itu. Dia tidak akan sanggup jika sampai itu terjadi.
Di ujung meja, diam-diam Delila menahan perih saat memandang Sanjaya membahas itu. Perempuan itu menunduk sambil mengunyah makanan yang tiba-tiba hampir tidak bisa melewati kerongkongannya. Dia baru tersadar kalau keinginannya menikah dengan Kun akan semakin sulit dengan hadirnya Raisa. Dia harus segera mendesak Kun agar segera menikahinya. Jika tidak, terpaksa dia harus memikirkan siasat agar keinginannya bisa terwujud.
Air mata Delila hampir saja luruh mengingat kebodohan yang telah diperbuatnya. Tangannya pelan mengelus perutnya yang semakin menebal.
“Delila ... keluargamu apa kabar?” Sanjaya melibatkan Delila dalam percakapannya.
Sontak Delila mendongak dengan sedikit sunggingan senyum.
“Baik, Pak.” Delila menjawab pendek.
Raisa sempat teringat bahwa Delila sedang tidak baik-baik saja dengan suaminya. Namun, itu sudah setengah bulan yang lalu. Barangkali, sekarang sudah berangsur baik keluarga mereka. Raisa turut senang membayangkannya.
“Syukurlah. Kalau kamu ingin pulang, boleh. Sehari atau dua hari mungkin. Kamu jarang sekali pulang. Untuk sementara biar Raisa menggantikanmu.” Sanjaya menatap Delila teduh. Perempuan itu belakangan terlihat lebih pendiam. Apa ada masalah dengan keluarganya?
Delila hanya mengangguk, tatapannya beralih pada Raisa yang tersenyum memandangnya.
***
“Aku mau kuliah, Bu.” Pras berkata sangat hati-hati. Kedua orang tuanya seketika menoleh ke arah Pras demi mendengar penuturan anaknya itu. Kemudian keduanya saling tatap.
Hamid—bapaknya Pras—mengusap wajah. “Bapak mendukung, Pras. Sangat mendukung niatmu itu. Tapi, kamu tahu sendiri keadaan kita seperti apa.”
Pras paham. Sangat paham. Dengan keadaan ekonomi seperti sekarang, sangat wajar jika mereka berpikir pesimis. Berbeda ketika dulu Pras berangkat untuk kuliah di KL, semuanya biaya ditanggung. Oleh sebab itu, Pras sama sekali tidak ingin membebani mereka dengan menuruti egonya untuk tetap kuliah. Dia sudah memikirkan matang-matang langkah kedepannya jika jadi kuliah. Sambil berjalan mencari beasiswa dan tentu saja dia akan bekerja.
Pras tersenyum. “Pras hanya perlu biaya untuk pendaftaran awal saja, Pak. Nanti Pras bisa sambil cari beasiswa. Pras juga bisa bekerja.”
“Mau kerja apa, Nak?” tanya Murni—ibu Pras.
“Apa saja, Bu. Yang penting halal. Kerja serabutan atau kerja paruh waktu juga boleh.”
Pras menjawab mantap. Sorot matanya perlahan mengikis sedikit keraguan yang sejak tadi menggelayuti wajah kedua orang tuanya.“Tapi kamu harus mulai kuliah dari awal, Pras.” Hamid menimpali. Dia sudah sempat berdiskusi dengan Murni, ada baiknya Pras bekerja saja untuk mengumpulkan biaya nikah.
“Tidak apa, Pak,” jawab Pras. Pria itu sudah mantap dengan keputusannya. Tidak peduli jika harus mengulang dari awal lagi. Tidak peduli jika teman-temannya banyak yang berkeluarga, termasuk Raisa yang memilih untuk meninggalkannya menikah dengan lelaki lain. Namun, dirinya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Semua sudah ada yang mengatur, bukan? Ah, jika mengingatnya, selalu ada rasa perih menusuk-nusuk ulu hatinya.
“Ya, sudah kalau kamu maunya seperti itu.”
Pras tersenyum lebar saat mendengar ucapan bapaknya. Kali ini dia akan menggunakan kesempatan ini dengan baik.
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.Keduanya kemba
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.“Dengarkan penjelasanku ....”“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca.Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.“Semua
Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa.Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”
Malam berlalu. Azan shubuh berkumandang. Berseru agar orang-orang yang masih terlelap lekas bangun untuk menunaikan kewajiban. Mengajak untuk bergegas menyambut kemenangan.“Mas ....” Raisa yang sudah siap dengan pakaian salatnya menggoyang pelan tubuh Kun. Namun, beberapa kali Raisa mencoba membangunkan suaminya, pria itu hanya bergumam tidak jelas sembari merapatkan selimut. Setiap hari Raisa harus membangunkan Kun untuk shalat subuh, tak jarang Kun malah mengumpatnya karena kesal.Raisa menghela napas pelan. Ia turun dari ranjang, melangkah menuju sajadah yang sudah terhampar. Melakukan salat sunah Fajar. Setelah itu barulah ia akan mencoba membangunkan Kun lagi.Beberapa menit berlalu. Salat sunnah Fajar telah selesai Raisa kerjakan. Perempuan itu kembali untuk membangunkan Kun yang masih bergelung di bawah selimut hangatnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk membangunkan Kun, takut jika dia membentaknya lagi seperti tempo hari. N
Betapa kagumnya Sanjaya pada Raisa yang setiap pagi selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Pasti itu turunan dari Widia. Namun, akhir-akhir ini Sanjaya merasakan ada yang aneh pada perempuan yang telah menjadi menantunya itu. Meskipun Raisa memang jarang berbicara dengannya, tapi jelas sekali dari matanya tergambar kesedihan. Ada apa? Apa sedang terjadi sesuatu dengannya dan Kun? “Raisa ....” Raisa sedikit terkejut mendengar suara Sanjaya yang tidak diketahui sejak kapan berada di belakangnya. Sontak dia menoleh menuju sumber suara, menghentikan pekerjaan mencuci piringnya. “Iya, Pa?” tanya Raisa pada laki-laki yang berdiri dengan bantuan kurk. “Em, Kun ke mana?” Sebenarnya Sanjaya sudah tahu Kun sedang mengantar Delila pulang. Delila mendapatkan alasan pas untuk berhenti menjadi caregiver-nya, karena sedang masa pemulihan serta memerlukan istirahat cukup. Apalagi, katanya rumah tangga perempuan itu sedang mengalami masalah. “Mengan
Kun benar-benar kelimpungan saat akan mengambil berkas penting di dalam tasnya tapi tidak menemukannya. Bagaimana bisa ia sampai lupa untuk memasukkan berkas itu?Hari ini adalah Raker (Rapat Kerja) Kepala Desa, Camat, serta BPD (Badan Permusyawatan Daerah) sekabupaten. Dan berkas itu adalah syarat wajib yang harus di bawa olehnya. Acara akan dimulai beberapa menit lagi, tidak mungkin Kun harus pulang untuk mengambilnya.Kun menyugar rambutnya kasar. Satu-satunya jalan adalah meminta orang rumahnya untuk mengantarkan berkas itu, meski ia tahu berkas itu tetap akan terlambat sampai padanya.Kun mencoba menghubungi Raisa, tapi berkali-kali tidak diangkat oleh perempuan itu. Membuatnya mengumpat berkali-kali dalam hati.“Ayolah! Di mana kamu, Raisa?” gumamnya dengan gigi geraham bergemertuk. Mencoba kembali menghubungi nomor Raisa. Akan tetapi panggilannya hanya berakhir begitu saja sebagaimana sebelumnya.“Pak, acara akan segera
"Mas, kamu nginap di sini, kan?" tanya Delila.Semburat jingga sudah mulai menjalar di kaki langit ufuk barat. Delila sejak tadi menelepon Kun agar mengunjungi dirinya di rumah barunya. Perempuan itu lagi-lagi berkata bahwa dia sangat takut sendirian di sana.Kun menghela napas panjang mendengar pertanyaan Delila. Apa boleh buat? Terpaksa dia harus menginap lagi bersama Delila. Mengesampingkan keiinginannya untuk pulang ke rumah asalnya. Bukan untuk menemui Raisa, tapi takut diomeli oleh sang papa, Sanjaya."Ya." Kun menjawab malas. Lalu merogoh ponsel di sakunya dan mulai mencari sebuah kontak.Ketika kontak tersebut ketemu, dengan hati merutuk, Kun segera memanggilnya."Halo, Tuan," sapa seorang laki-laki di seberang sana."Kamu masih ingin bekerja denganku, hah?" umpat Kun."Maksudnya, Tuan?""Kenapa belum juga dapat pembantu yang saya perintahkan!" pekik Kun.Sudah tiga hari Kun memerintahkan anak buahnya untuk
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi