Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.
Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?
“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa.
Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.
“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.
“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.
“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”
Raisa terkesiap. Lekas menggeser video sebelumnya, lalu memutarnya. Di situ terekam dari jauh saat Pras mencekal tangan Raisa ketika menolak untuk menaiki ojek Pras. Siapa yang merekamnya? Kenapa ada yang tega melakukannya? Benak Raisa kembali dijubeli seabrek pertanyaan. Menduga-duga.
Dilihat dari video, perekam video tersebut berada di samping rumah. Jelas sekali bahwa video itu direkam oleh orang dalam, tapi siapa?
Di rumah ini hanya ada tiga orang saat Raisa hendak pergi. Apa mungkin Delila? Raisa segera menyingkirkan pikiran tak berdasar tersebut, meskipun selama ini perempuan itulah yang selalu bersikap dingin pada Raisa.
“Mas ... aku tidak punya hubungan apa-apa dengan dia.”
“Tenang, Raisa. Sekalipun kamu punya hubungan dengannya, aku tidak marah, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau.”
Jantung Raisa terasa terhimpit saat mendengar kalimat Kun.“Mas, kenapa kamu bilang seperti itu? Mas, maafkan aku,” ucap Raisa dengan wajah memelas. Meraih tangan Kun dan menggenggamnya.
“Dengar! Kamu memang cantik, tapi sayang kamu tidak bisa memuaskanku di atas ranjang.”
“Mas ....” Suara Raisa serak.
“Apa?”
“Apa karena itu kamu berubah seperti ini, Mas?”
“Salah satu tujuan berumah tangga adalah menyalurkan kebutuhan biologis, Raisa! Dan kamu ... aku salah menikahi kamu.”
Deg! Raisa tersentak. Jantungnya terasa remuk terhantam godam. Matanya yang sejak tadi mengembun, kini mulai digenangi air bening. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki yang belum genap satu bulan menjadi suaminya.
“Sudahlah jangan cengeng!”
Kun beranjak meninggalkan Raisa yang sedang menangis. Raisa, perempuan itu terduduk sambil terisak. Benaknya tidak pernah berpikir rumah tangganya yang masih hijau akan mengalami guncangan seberat ini. Kun, laki-laki yang warga desa mengenalnya dengan keramahan dan kedermawanannya ternyata memiliki sisi lain yang sangat kontras.
Ah, bukankah Kun bersikap seperti itu disebabkan oleh dirinya yang tidak bisa memuaskan suami. Raisa menyeka matanya yang basah, segera bangkit dan melangkah. Raisa harus menjadi wanita yang tegar. Harus sabar. Harus segera sembuh, agar bisa menjadi istri yang bisa bisa menunaikan kewajibannya pada suami. Jangan sampai sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi dalam rumah tangganya.
Raisa menaiki tangga. Ketika menjejaki lantai dua, ekor matanya menangkap kepulan asap rokok dari balkon. Raisa menatap sekilas, lalu memalingkan wajah saat Kun menatapnya.
“Raisa!” seru Kun. Raisa yang sudah ingin melangkah, menjeda, menoleh. Kun memberi kode dengan kepalanya agar Raisa menghampiri dirinya. Ada yang perlu dibicarakan.
“Iya, Mas?” tanya Raisa gugup sambil meremas-remas jemarinya.
“Jangan sampai Papa tahu tentang masalah kita.” Kun berkata pelan. Kemudian menghisap dalam-dalam benda kecil yang terselip di antara jemarinya.
“Iya,” jawab Raisa pendek. “Maafkan aku, Mas ....”
Kun mendesah pelan. “Kamu sudah berkali-kali meminta maaf, Raisa. Sudahlah, aku sudah memaafkanmu.”
“Terima kasih, Mas ....”
Detik berikutnya Raisa berbalik badan dan melangkah menuju kamar. Kun menatap wanitanya hingga hilang dibalik pintu.
“Benar kata pepatah, tidak ada manusia yang sempurna,” gumam Kun.
Kun merutuki dirinya karena telah menikahi Raisa yang ternyata dibalik kecantikannya memiliki kekurangan. Ah, sungguh bod*h karena bersikap gegabah! Kini, Kun malah terjebak dalam permainannya sendiri. Dia tidak berani menceraikan Raisa. Karena jika sampai itu terjadi, Sanjaya tidak akan segan-segan mengusirnya dan akan mencoret dirinya dari daftar penerima harta warisan Sanjaya. Terlepas dari itu, Kun benar-benar sangat menyayangi papanya tersebut, dia sudah berjanji akan membahagiakan Sanjaya.
Bukan hanya Sanjaya yang akan mengusirnya, tapi juga ayah angkat Kun. Jika sampai Kun dan Raisa berpisah, H. Yusuf—ayah angkatnya—juga tidak akan segan-segan menendangnya dari rumahnya. Sebab hal itu akan membuat nama baik keluarga H. Yusuf tercoreng. Bagi H. Yusuf tidak ada yang lebih penting dari pada harta dan popularitas.
Kun mendengkus memikirkan hal pelik itu. Menyugar rambutnya kasar. Kun tersadar dari lamunannya saat dering ponselnya berbunyi. Gegas pria tampan itu mengangkatnya.
“Halo, bagaimana?”
“Sip, Pak. Rumahnya sudah beres. Sudah siap ditempati.”
“Bagus.”
Kun mematikan sambungan telepon. Melempar pelan ponselnya kembali ke atas meja. Satu masalah sudah akan selesai. Rumah untuk Delila sudah siap dihuni. Perempuan itu sudah membuat Kun kerepotan. Apalagi saat mengancam akan memberitahukan kepada Sanjaya tentang hubungan gelapnya dengan dirinya. Benar-benar menyebalkan!
Kun benar-benar kehabisan akal saat Delila tidak mau disogok untuk menggugurkan kandungan yang menjadi bukti kuat hubungannya dengan dirinya. Bagaimana kalau melenyapkan Delila? Ah, Kun segera mengusir pikiran itu. Kun memang jahat, tapi dia bukan pembunuh.
Kun meraih kembali ponselnya yang tergeletak di atas meja. Membuka aplikasi W******p untuk mengirimi Delila pesan.
[Kamu sudah bisa pindah]
Tidak butuh waktu lama. Notifikasi pesan berbunyi.
[Bagaimana dengan Pak Sanjaya, Mas?]
[Raisa yang akan mengurusnya]
Stroke Sanjaya memang tidak begitu parah, hanya satu kaki. Masih bisa berjalan meski harus dengan bantuan kurk. Raisa bisa menggantikan Delila mengurus Sanjaya.
[Lalu, kapan kita akan melangsungkan pernikahan?]
Kun tercenung setelah membaca pesan Delila. Benar-benar posisi yang sulit. Urusannya dengan Delila bahkan lebih rumit dibanding dengan Raisa. Pria itu mengusap wajah gusar.
[Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang kamu pikirkan alasan yang pas untuk minta izin berhenti dari sini.]
[Tapi, kamu tidak bohong, kan, Mas, akan menikahiku?]
Kun mengembuskan napas kasar.
[Iya. Iya]
***
“Non, biar saya saja.” Bi Imas menghampiri Raisa yang sedang menyapu lantai. Rasa tidak enak kembali menyergap dada Bi Imas, meskipun pemandangan seperti itu telah biasa sejak Raisa tinggal di rumah itu.
Raisa mengentikan aktifitasnya sebentar, menegakkan badan lalu tersenyum. “Ah, Bibi. Tidak apa, Bi.”
“Tapi ini pekerjaan saya, Non.”
“Aku sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah, Bi. Lagian, saya bosan kalau tidak mengerjakan apa-apa.” Raisa melanjutkan pekerjaannya yang belum rampung.
Bi Imas masih mematung sambil menatap Raisa dengan takjub. Benar-benar perempuan rendah hati, batinnya. Suara dari penggorengan membuatnya terbangun dari lamunan, lekas perempuan paruh baya itu berbalik badan dan memagaduk-ndaduk isi kuali.
Malam berlalu. Azan shubuh berkumandang. Berseru agar orang-orang yang masih terlelap lekas bangun untuk menunaikan kewajiban. Mengajak untuk bergegas menyambut kemenangan.“Mas ....” Raisa yang sudah siap dengan pakaian salatnya menggoyang pelan tubuh Kun. Namun, beberapa kali Raisa mencoba membangunkan suaminya, pria itu hanya bergumam tidak jelas sembari merapatkan selimut. Setiap hari Raisa harus membangunkan Kun untuk shalat subuh, tak jarang Kun malah mengumpatnya karena kesal.Raisa menghela napas pelan. Ia turun dari ranjang, melangkah menuju sajadah yang sudah terhampar. Melakukan salat sunah Fajar. Setelah itu barulah ia akan mencoba membangunkan Kun lagi.Beberapa menit berlalu. Salat sunnah Fajar telah selesai Raisa kerjakan. Perempuan itu kembali untuk membangunkan Kun yang masih bergelung di bawah selimut hangatnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk membangunkan Kun, takut jika dia membentaknya lagi seperti tempo hari. N
Betapa kagumnya Sanjaya pada Raisa yang setiap pagi selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Pasti itu turunan dari Widia. Namun, akhir-akhir ini Sanjaya merasakan ada yang aneh pada perempuan yang telah menjadi menantunya itu. Meskipun Raisa memang jarang berbicara dengannya, tapi jelas sekali dari matanya tergambar kesedihan. Ada apa? Apa sedang terjadi sesuatu dengannya dan Kun? “Raisa ....” Raisa sedikit terkejut mendengar suara Sanjaya yang tidak diketahui sejak kapan berada di belakangnya. Sontak dia menoleh menuju sumber suara, menghentikan pekerjaan mencuci piringnya. “Iya, Pa?” tanya Raisa pada laki-laki yang berdiri dengan bantuan kurk. “Em, Kun ke mana?” Sebenarnya Sanjaya sudah tahu Kun sedang mengantar Delila pulang. Delila mendapatkan alasan pas untuk berhenti menjadi caregiver-nya, karena sedang masa pemulihan serta memerlukan istirahat cukup. Apalagi, katanya rumah tangga perempuan itu sedang mengalami masalah. “Mengan
Kun benar-benar kelimpungan saat akan mengambil berkas penting di dalam tasnya tapi tidak menemukannya. Bagaimana bisa ia sampai lupa untuk memasukkan berkas itu?Hari ini adalah Raker (Rapat Kerja) Kepala Desa, Camat, serta BPD (Badan Permusyawatan Daerah) sekabupaten. Dan berkas itu adalah syarat wajib yang harus di bawa olehnya. Acara akan dimulai beberapa menit lagi, tidak mungkin Kun harus pulang untuk mengambilnya.Kun menyugar rambutnya kasar. Satu-satunya jalan adalah meminta orang rumahnya untuk mengantarkan berkas itu, meski ia tahu berkas itu tetap akan terlambat sampai padanya.Kun mencoba menghubungi Raisa, tapi berkali-kali tidak diangkat oleh perempuan itu. Membuatnya mengumpat berkali-kali dalam hati.“Ayolah! Di mana kamu, Raisa?” gumamnya dengan gigi geraham bergemertuk. Mencoba kembali menghubungi nomor Raisa. Akan tetapi panggilannya hanya berakhir begitu saja sebagaimana sebelumnya.“Pak, acara akan segera
"Mas, kamu nginap di sini, kan?" tanya Delila.Semburat jingga sudah mulai menjalar di kaki langit ufuk barat. Delila sejak tadi menelepon Kun agar mengunjungi dirinya di rumah barunya. Perempuan itu lagi-lagi berkata bahwa dia sangat takut sendirian di sana.Kun menghela napas panjang mendengar pertanyaan Delila. Apa boleh buat? Terpaksa dia harus menginap lagi bersama Delila. Mengesampingkan keiinginannya untuk pulang ke rumah asalnya. Bukan untuk menemui Raisa, tapi takut diomeli oleh sang papa, Sanjaya."Ya." Kun menjawab malas. Lalu merogoh ponsel di sakunya dan mulai mencari sebuah kontak.Ketika kontak tersebut ketemu, dengan hati merutuk, Kun segera memanggilnya."Halo, Tuan," sapa seorang laki-laki di seberang sana."Kamu masih ingin bekerja denganku, hah?" umpat Kun."Maksudnya, Tuan?""Kenapa belum juga dapat pembantu yang saya perintahkan!" pekik Kun.Sudah tiga hari Kun memerintahkan anak buahnya untuk
Raisa masuk ke kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut pada Kun yang tengah bergoler dengan mata terpatri pada layar ponsel di tangan. Sekilas Kun melirik Raisa, tanpa membalas senyuman.Mendapati Kun semakin bersikap dingin, Raisa menelan ludah. Lalu perlahan menghampiri sang suami."Mas mau langsung tidur atau mau aku pijitin?" tanya Raisa."Tidak perlu," jawab Kun tanpa melihat sang istri.Lagi, Raisa menyunggingkan senyum lembut meski sadar perhatiannya tidak akan mendapat balasan apa-apa selain tatapan dingin.Sudah pukul sepuluh malam, Raisa harus segera tidur. Atau dirinya akan kesiangan. Besok pagi-pagi dia harus memasak untuk sarapan dan bekal Kun. Bi Imas sedang pulang kampung karena anaknya sedang sakit.Raisa merebahkan tubuh di samping Kun, berjarak dua jengkal. Dada itu kembali berdebar. Rasa di mana hati Raisa direngkuh nyenyat saat menyadari bahwa dirinya dan Kun seperti orang asing. Bukan seperti sepasang suami istri.
"Pa, Kun tidak bohong, Pa," elak Kun sambil mengibaskan tangan di udara."Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu dari ayahmu kalau kamu tidak menginap di sana!" bentak Sanjaya dengan bibir gemetar menahan amarah.Kun terdiam begitu mendengar kalimat Sanjaya. Benar, dirinya tidak menginap di rumah ayahnya di kampung. Akan tetapi, dia menghabiskan malam di rumah Delila, sang istri siri.Sementara, di tempatnya berdiri, Raisa kembali harus menahan perih. Pikiran-pikiran negatif perlahan tumbuh berjejal memenuhi kepala."Pa, maaf. Kun memang tidak menginap di rumah Ayah. Kun menginap di rumah teman," ucap Kun pelan.Belum sempat Sanjaya mengeluarkan suara lagi, terdengar seseorang melangkah mendekati keduanya. Raisa tersenyum sambil menimang sebuah paper bag berisi bekal Kun yang sudah disiapkannya."Mas, kamu lupa membawa bekal." Raisa berkata lembut dan menyerahkan bekal di tangannya.Kun berusaha tersenyum pada Raisa, lalu m
"Kamu hamil?" tanya Sanjaya dengan gurat semringah. Senyumnya terkembang lebar.Mendapatkan tebakan sang mertua Raisa buru-buru membulatkan mata. Ini adalah kekeliruan. Raisa seketika merasa dilema. Bingung hendak menjelaskan apa. Semua jawaban akan membuat Sanjaya kecewa.Tidak mungkin Raisa mengiyakan pertanyaan Sanjaya, tapi dia juga tak mungkin mengatakan pada sang mertua jika dirinya mengidap penyakit itu.Raisa membeku dengan pikiran berkecamuk ketika sebuah notifikasi berbunyi. Ojek online pesanannya sudah berada di depan."Pa, aku pamit. Sudah ditunggu sama ojeknya," ucap Raisa sambil mendekat dengan mengukurkan tangan."Kamu naik ojek?" Sanjaya menaikkan alis."Iya, Pa."Pria setengah baya itu berdecak. "Seharusnya kamu diantar oleh Kun!""Tidak apa-apa, Pa. Kalau begitu aku berangkat," ujar Raisa lalu berderap pergi."Hati-hati!" Sanjaya mengingatkan.Sambil melangkah, Raisa menoleh dengan senyum tersung
"Assalamualikum." Raisa berderap menuju sang bapak dengan senyum lembut. "Waalaikum salam. Ada apa, Nduk? Apa yang terjadi?" tanya Sulaiman dengan wajah heran bercampur cemas. Raisa mengernyit melihat Sulaiman. Duh, Bapak pasti khawatir karena Raisa ke rumah sendirian, batin Raisa. Raisa kembali tersenyum. Wajahnya semringah, menunjukkan bahwa tidak ada yang terjadi dengan rumah tangganya. "Raisa kebetulan ke kantor desa antar hape Mas Kun, Pak. Jadi, ya mampir ke sini," jelas Raisa. Sulaiman akhirnya bisa tersenyum. Lalu mengajak Raisa masuk. Rasa damai seketika membasuh hati Raisa. Penat dan letih dengan kehidupan rumah tangganya, seketika lindap. Seandainya bisa, Raisa ingin kembali ke masa di mana dirinya masih lajang, ingin berlama-lama menikmati aroma ketenangan ini. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada kecewa. Tidak ada ... Kun. "Nesha sama Zidan di mana, Pak?" Raisa bertanya sambil berjalan. Matanya mengedar p
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi